Kubilai Khan dan Putri Tumapel

“Kalau sudah kalah raja di Daha, saya akan memberikan seorang putri dari Tumapel yang cantik tiada bandingan di Pulau Jawa, itulah yang akan saya katakan kepada Raja Tatar sebagai alat memperdayakan Raja Tatar.”
Begitu ucapan Aria Wiraraja, seorang adipati di Madura, dalam Pararaton yang ditulis pada abad 17. Berbagai sumber naskah Jawa menyebutnya sebagai sahabat bangsa Tatar, sebutan sumber Jawa untuk Mongol. Kira-kira seperti itu sumber naskah Jawa menjelaskan sebab musabab Majapahit kemudian melawan sekutunya sendiri, bangsa Tatar. Putri raja menjadi iming-iming kepada Raja Tatar agar mau membantu melibas sang pengkhianat, Jayakatwang.
Berbeda dengan sumber Tiongkok, seperti catatan Yuan Shi dan catatan para perwira Mongol, yang menyatakan kedatangannya ke Jawa untuk menghukum Kertanagara yang melukai utusan Mongol, Meng Qi. Sedangkan sumber-sumber Jawa tak menyebut perihal Meng Qi atau wajahnya yang dilukai.
“Mungkin beginilah bagaimana orang Jawa dari masa ke masa memahami dan mengingat hubungan utusan dan upeti Jawa ke Tiongkok,” tulis David Bade, pakar perpustakaan, dalam Of Palm Wine, Women and War: The Mongolian Naval Expedition to Java in the 13th Century.
Pararaton mengisahkan ketika akan menggempur Jayakatwang, pendiri Majapahit Raden Wijaya meminta nasihat Aria Wiraraja. Wiraraja akan meminta bantuan Raja Tatar dengan menawarkan putri Tumapel sebagai imbalannya. Padahal, menurut Pararaton, putri Kertanagara itu telah dinikahi oleh Wijaya.
Akhirnya, ketika ditagih janjinya oleh Tatar, Wiraraja mencari-cari alasan. Ketika tiba saatnya menyerahkan sang putri, datanglah orang Tatar ke Jawa. Mereka tak bersenjata, karena dikibuli Wiraraja kalau sang putri akan ketakutan dan bunuh diri jika melihat tentara bersenjata. Tentara Tatar tentu takut kena marah rajanya jika gagal membawa sang putri. Alih-alih membawa pulang putri, mereka justru tak berkutik ketika diserang pasukan Majapahit. Habis dan binasalah orang-orang Tatar.
Kidung Rangga Lawe tak jauh berbeda ketika menuturkan soal putri yang dijanjikan kepada Raja Tatar. Sementara, sedikit berbeda dengan itu, Kidung Harsawijaya menuturkan, tentara Tatar berseteru dengan pasukan Majapahit, karena Harsawijaya (Wijaya) dianggap ingkar janji. Dia gagal menyerahkan putri Jayakatwang kepada Raja Tatar. Sang putri bunuh diri lebih dulu bersama penghuni keputren ketika mengetahui Jayakatwang moksa dalam perang.
“Aria Wiraraja menjanjikan hadiahnya putri raja. Ini tafsiran belakangan sekali,” ujar Agus Aris Munandar, arkeolog Universitas Indonesia, ketika ditemui di kampus Fakultas Ilmu Budaya UI, Depok, Jawa Barat.
Menurut Agus peristiwa sebenarnya tak ada kaitan dengan para putri. Wijaya memerangi balik pasukan Mongol lebih karena Wijaya merasa Mongol sudah terlalu lama di Jawa. Sang raja Majapahit itu merasa tak nyaman.
“Jangan lupa juga Harsawijaya digubah belakangan sekali. Oleh karena itu dalam pertempuran sudah mengenakan mesiu. Mungkin digubah abad 19 di Bali. Paling tua abad 18,” kata Agus. Sedangkan peristiwa Mongol terjadi pada abad 13, masa peralihan kerajaan Singhasari ke Majapahit.
Sementara itu, David Bade menjelaskan, selama memerintah Khubilai Khan juga mendapatkan pasangan dari negara lain. Yuan Shi mencatat negara-negara lain biasanya mengirimkan anggota keluarga kerajaan untuk menunjukkan pengakuan atas kekuasaan Yuan.
Namun, Kertanagara menolak mengirimkan anggota keluarganya meski berulangkali diminta. “Apakah itu yang dimaksud teks Jawa soal perintah Mongol agar mengirimkan anggota kerajaan Singhasari ke Yuan? Mungkin, karena Kertanagara hanya punya anak perempuan, dalam teks Jawa diterjemahkan demikian,” catat David.
Menurut David, arti keberadaan putri-putri raja dalam sumber Jawa tak kalah penting daripada takdir Jawa sendiri. Ketiadaan mereka dalam sumber Tiongkok bukan berarti mereka tidak benar-benar ada. Pasalnya dalam sejarah, Kertanagara memang memiliki empat putri yang semuanya menikah dengan Wijaya.
Mengapa sumber Tiongkok tak menyebut soal putri yang menjadi iming-iming dari Wiraraja untuk Raja Tatar? Sumber Cina begitu serius dan faktual sebagaimana disebut W.P. Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Catatan sejarah Tionghoa begitu kronologis, lengkap dengan data nama, tanggal, dan kejadiannya. Namun, itu hanyalah kisah soal pasukan perang yang datang lalu pergi dan tak kembali lagi. Sumber Tiongkok lebih menekankan pada penolakan Jawa terhadap Meng Qi karena berdampak pada Mongol. Putri-putri itu tak ada dalam tujuan dan rencana Mongol, baik dalam militer maupun kehidupan mereka setelah kembali dari Jawa.
Sebaliknya sumber naskah Jawa merasa tidak perlu mengingat Meng Qi. Sedangkan penyerahan seorang putri punya arti yang berbeda bagi Jawa: menyerahkan putri sama dengan menyerahkan seluruh negara.
Cinta di atas Singgasana
Bagi orang Jawa, otoritas kerajaan tidak hanya di tangan raja. Permaisuri dan raja sama-sama menjadi pusat dari otoritas itu. David melihat, dalam kisah-kisah Jawa, raja yang mendapatkan cinta dari permaisuri juga akan mendapatkan wewenang untuk berkuasa. Dalam hal ini, Wijaya dikisahkan mendapatkan cinta dari para putri Kertanagara. Sementara kedua putri itu tegas menolak cinta dari Jayakatwang dan Raja Tatar.
“Bukan dengan memiliki seorang perempuan raja mendapatkan legitimasinya, melainkan cinta satu sama lain yang mereka miliki. Ini hal penting untuk bisa memahami bagaimana otoritas politik era Majapahit bekerja,” kata David.
Bagi orang Jawa, kisah tentang Wijaya dan para putri Tumapel yang saling mencintai menjelaskan betapa megah dan terberkahinya pemerintahan Majapahit. Kerajaan itu diperintah atas nama cinta.
“Bagi sumber Tiongkok, utusan kerajaan mewujudkan sebuah otoritas kerajaan. Sangat berbeda dengan pola pikir yang diwujudkan dalam sumber Jawa. Malah dalam cerita-cerita Jawa utusan selalu dikisahkan sebagai seseorang yang membawa intrik, pengkhianatan, dan penipuan,” jelas David.
Kedua sumber itu sama-sama sedang membicarakan usaha kedua pihak untuk mendapat pengakuan atas Jawa. Perbedaannya, bagi Mongol masalah ketika kekuasaannya tak diakui dengan tidak memberikan respons semestinya kepada Meng Qi. Sedangkan bagi Jawa, Meng Qi tak punya otoritas apapun dan yang terpenting adalah nasib sang putri raja.
“Jika Khubilai Khan ingin diakui Jawa, maka yang dia butuhkan adalah cinta dari sang putri,” tulis David. “Makna yang lebih dalam dari kisah ini adalah para putri tak hanya melambangkan otoritas. Mereka menciptakan narasi soal penyerahan cinta sebagai kekuatan. Itu diserahkan pada Wijaya, bukan pada Raja Tatar.” (kk/historia)
Penulis: Risa Herdahita Putri

No comments: