Tinjauan Sejarah, Politik Etnis Cina di Indonesia Bagian 2

Atas peristiwa itu, Soe Hok Djien (Arief Budiman) secara kekeluargaan meminta maaf pada Oei Tjoe Tat, kemudian kasus ditutup. Soe Hok Gie pada era Orde Baru mulai melakukan otokritik terhadap ormas mahasiswa yang tokohnya menjadi anggota DPR dengan mengirim BH. Dia juga melakukan koreksi terhadap pemerintah atas pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) terhadap eks PKI yang banyak dipenjarakan tanpa prosedur peradilan.
Soe Hok Gie berjuang melalui radio ARH (UI) yang populer saat itu, di antaranya kritik terhadap Pertamina. Namun dia berusia pendek, pada tahun 1969 dia meninggal di gunung Semeru ketika melakukan hobinya mendaki gunung, Soe Hok Gie juga pendiri Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Indonesia (Mapala UI).
 

Berikutnya, sang kakak Arief Budiman dan Rahman Tolleng yang dikenal sebagai tokoh Sosialis Kanan seperti Adi Sasono, Suripto Djoko Said, Sritua Arief (Sosialis Islam). Aksi fenomenalnya bersama W.S. Rendra pada tahun 1971 adalah menolak pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Hal yang membuat marah Soeharto karena itu ide dari istrinya, Tien Soeharto.
Karirnya sebagai dosen berlanjut di UKSW (Universitas Kristen Satya Wacana) Salatiga sampai memperoleh doktor Sosiologi Politik. Bakat kritiknya berakibat terjadi keributan di internal UKSW sehingga bersama beberapa kolega dia keluar dari UKSW dan mengajar di Perguruan Tinggi ternama di Australia sampai memperoleh gelar profesor. Arief Budiman adalah ideolog, dengan pemikirannya melalui tulisan, ceramah, dan advokasi gerakan mahasiswa. Bisa dikatakan bahwa dia adalah salah satu tokoh yang menjadi narasumber utama gerakan mahasiswa 1980-an. Di usia senjanya dia tetap kritis, dan disegani di Indonesia maupun Australia. Di usia senja dia mengidap Alzheimer, sebuah penyakit syaraf yang membuatnya lupa ingatan.
Pejuang HAM etnis Cina lain yang legendaris adalah Yap Thiam Hien, dia mendirikan Lembaga Hukum Nobono (tidak berbayar). Bersama Adnan Buyung Nasution, Ali Sadikin, Haryono Tjitrasubono, dan HC Princen yang dikenal dengan LBHI (Lembaga Bantuan Hukum Indonesia). Ahli Hukum tamatan Universitas Leiden Belanda ini menjadi pionir Bantuan Hukum Tanpa Bayar.
 
Tahun 1970 dia mendirikan Law Firm dan tahun 1954-1960 mendirikan Baperki. Dia berbeda pandangan dengan Oei Tjoe Tat tentang Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme) Bung Karno. Dia juga pendiri dan menjadi Ketua Dewan Pendidikan Gereja Indonesia (1950 – 1957). Dia menjadi pembela Soebandrio, Ketua BPI – Waperdam yang dituduh Komunis di sidang Mahmihub 1966.
Sewaktu Malari (Malapetaka Limabelas Januari) 1974, Yap Thiam Hien bersama Adnan Buyung Nasution dan Hariman Siregar cs. pernah ditahan karena bersahabat dan sama-sama mendirikan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) tahun 1970. Di kalangan internasional, dia juga merupakan anggota Commission of Jurist (Komisi Ahli Hukum). Yap Thiam Hien tutup usia di Belgia tahun 1989. Atas jasa-jasanya, penghargaan Peradin tentang HAM dinamakan Yap Thiam Hien Awards.
Amandemen UUD 1945
Reformasi ditandai dengan kejatuhan rezim Soeharto, juga bersamaan dengan terjadinya kerusuhan Mei 1998 akibat currency war (perang nilai mata uang asing), di mana rupiah tenggelam dari USD 1,- yang semula = Rp 2.500,- menjadi Rp 15.000,-. Masyarakat panik sehingga terjadi rush yang bermula terhadap BCA (Bank Central Asia) dan berujung kerusuhan rasis terhadap etnis Cina.
Reformasi juga ditandai dengan pemaksaan IMF dan Bank Dunia mengenai BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) sebesar Rp 670 triliun dengan syarat 50 butir harus ditandatangani oleh Presiden Soeharto dan dilanjutkan presiden era Reformasi. Celakanya, penerima BLBI dari bank-bank swasta mangkir dari hukum dan mayoritas adalah etnis Cina, mereka kabur ke luar negeri. Reformasi justru memberi kemudahan terhadap etnis Cina dengan Instruksi Presiden (Inpres) tahun 1998 era presiden Habibie tentang pelarangan penggunaan istilah “Pribumi dan Non-pribumi”, karena trauma peristiwa Mei 1998.
Gus Dur (Abdurahman Wahid) pada tahun 2000 memberi angin segar tentang kebhinnekaan dengan memperbolehkan etnis Cina merayakan Imlek. Setelah itu saat perayaan Imlek, mal-mal di kota besar berwarna merah diramaikan tarian Barongsai. Tidak heran, jika Gus Dur sangat dicintai oleh etnis Cina atas jasa-jasanya.
Pada tahun 2002, di era Megawati Soekarnoputri, dilakukan amandemen ketiga tentang Pasal 6 ayat 1 tentang syarat untuk menjadi Presiden Republik Indonesia, dari kata-kata Indonesia asli (pribumi) menjadi: “Calon Presiden dan Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya, dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban Presiden dan Wakil Presiden”.
 
Jelas, semenjak itu tidak ada keharusan orang Indonesia asli menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden.
Diyakini, hal ini-lah yang membuat kepercayaan diri Ahok mendampingi Joko Widodo pada Pilgub DKI Jakarta 2012. Dengan dukungan China’s Overseas, Ahok berkeyakinan bisa menjadi pemimpin politik dan berspekulasi untuk bersama Joko Widodo menjadi Capres dan Cawapres 2019.
Semua sejalan dengan pertemuan besar China’s Overseas yang diinisiasi oleh Lee Kuan Yew di Singapura tahun 1991 atau di tahun 1993 dan diakomodir secara resmi oleh pemerintah Cina dengan kembali melakukan pertemuan Beijing, dan kita diwakili puluhan konglomerat yang menjadi China’s Overseas Group. Di antaranya disepakati untuk ekspansi lahan dengan konsep reklamasi, Ciputra mengambil inisiatif dengan mereklamasi yang kita sebut dengan Pantai Indah Kapuk (PIK). Lalu diikuti oleh Grup Podomoro dengan Pantai Mutiara. Hal ini karena disparitas harga tanah antara Jakarta dengan negara-negara ASEAN.
Era Joko Widodo dan Ahok menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur (2010) ditandai dengan reklamasi 17 pulau di Pantai Utara yang menjadi pro kontra di tengah publik, kemudian merembet ke Pemerintahan Presiden Joko Widodo (2014), dan sekarang ke Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Wakil Gubernur Sandiaga Uno (2017).
Ahok sebagai pionir kepemimpinan etnis Cina disebut-sebut sebagai Lee Kuan Yew muda yang dianggap berhasil memerdekakan Singapura dari Malaysia, merupakan pahlawan etnis Cina di Singapura. Sementara tokoh nasional beretnis Cina juga sudah banyak, seperti Setya Novanto (Ketua Umum Golkar dan Ketua DPR-RI), Marie Elka Pangestu (Menteri Perdagangan RI era Susilo Bambang Yudhoyono), Thomas Lembong (Kepala BKPM), Hari Tanoesudibjo (pendiri Partai Perindo), Rusdi Kirana (Wantimpres, Dubes RI di Malaysia), Jan Darmadi (pendiri Partai Nasdem, Wantimpres), Kwik Kian Gie (Menko Perekonomian era Megawati Soekarnoputri), Amir Syamsuddin (Menkumham era SBY 2009-2014), Ignasius Jonan (Menteri Pehubungan/ESDM era Joko Widodo) dan Enggartiasto Lukito (Menteri Perdagangan era Joko Widodo dan juga pendiri Partai Nasdem).
Khusus di pemerintahan Joko Widodo yang orientasinya lebih condong ke Cina dengan pembangunan infrastruktur dalam Skema OBOR (One Belt One Road), sayangnya, juga tidak dimanfaatkan optimal untuk kepentingan bangsa Indonesia.
Sampai saat ini, baru USD 9 miliar investasi Cina untuk pemerintah Indonesia, padahal negara-negara Asia lainnya sudah di atas USD 15 miliar. Sementara, biaya politik sangat besar karena AS sebagai partner strategis di era Orde Baru hingga era SBY merasa ditinggalkan, apalagi setelah kasus Freeport belum juga ada titik temu.
Ibaratnya, pemerintahan Joko Widodo sudah terlanjur dicap berorientasi Cina tapi belum bisa memanfaatkannya secara optimal, seperti istilah: “belum makan sudah membayar”.
Pertanyaannya, apakah di saat likuiditas APBN yang kering saat ini karena defisit anggaran dan tidak tercapainya pemasukan dari pajak, Cina akan membantu sebagai “Dewa Penolong” atau sebagai juragan baru?[kl/ts]

No comments: