Kisah Hidup Suharto: Penak Jamanku Too? (Tamat)

 

Pada 12 Maret 1967, Jenderal Soeharto dilantik sebagai Presiden RI ke-2. Tiga bulan kemudian, dia membentuk Tim Ahli Ekonomi Kepresidenan yang terdiri dari Prof Dr. Widjojo Nitisastro, Prof. Dr. Ali Wardhana, Prof Dr. Moh. Sadli, Prof Dr. Soemitro Djojohadikusumo, Prof Dr. Subroto, Dr. Emil Salim, Drs. Frans Seda, dan Drs. Radius Prawiro. Seluruhnya pro kapitalisme.
Nopember 1967, Suharto mengirim tim ekonomi ini ke Swiss menemui para CEO Yahudi Internasional. Lahirlah UU PMA 1967 yang sangat menguntungkan imperialis Barat. Prinsip kemandirian ekonomi Indonesia yang dijaga mati-matian Bung Karno, oleh Jenderal Suharto dihabisi dengan menjadikan Indonesia sebagai negara yang sangat tergantung pada Barat sebagai kekuatan kapitalis dunia.
“Indonesia Baru” yang lebih pro-kapitalisme sesungguhnya telah dirancang sejak tahun-tahun 1950-an. David Ransom dalam artikelnya yang populer berjudul “Mafia Berkeley dan Pembunuhan Massal di Indonesia: Kuda Troya Baru dari Universitas-Universitas AS Masuk ke Indonesia” (Ramparts, 1970) memaparkan jika AS menggunakan dua strategi untuk menaklukkan Indonesia, tentu saja dengan menyingkirkan Bung Karno. Pertama, membangun satu kelompok intelektuil yang berpikiran Barat. Dan kedua, membangun satu sel dalam tubuh ketentaraan yang siap bekerjasama dengan AS.
Yang pertama didalangi oleh berbagai yayasan beasiswa seperti Ford Foundation dan Rockeffeler Foundation, juga berbagai universitas ternama AS seperti Berkeley, Harvard, Cornell, dan juga MIT. David Ransom menulis, dua tokoh Partai Sosialis Indonesia (PSI), sebuah partai kecil yang berhaluan sosialis-kanan, yakni Soedjatmoko dan Sumitro Djojohadikusumo menjadi ujung tombak pembentukan jaringan intelektuil pro-Barat di Indonesia. Mereka, demikian Ransom, dibina oleh AS sejak akhir tahun 1949-an.
Sedang tugas kedua dilimpahkan kepada CIA. Salah satu agennya bernama Guy Pauker yang bergabung dengan RAND Corporation mendekati sejumlah perwira tinggi lewat salah seorang yang dikatakan berhasil direkrut CIA, yakni Deputi Dan Seskoad Kol. Soewarto. Dan Intel Achmad Soekendro juga dikenal dekat dengan CIA. Lewat orang inilah, demikian Ransom, komplotan AS, mendekati militer. Suharto adalah murid dari Soewarto di Seskoad.
Di Seskoad inilah para intelektuil binaan AS diberi kesempatan mengajar para perwira. Terbentuklah jalinan kerjasama antara sipil-militer yang pro-AS. Paska tragedi 1965 dan pembantaian rakyat Indonesia, yang dituduh komunis, dan kelompok ini mulai membangun ‘Indonesia Baru’. Para doktor ekonomi yang mendapat binaan dari Ford kembali ke Indonesia dan segera bergabung dengan kelompok ini, di antara Emil Salim.
Jenderal Suharto membentuk ­Trium-Virat (pemerintahan bersama tiga kaki) dengan Adam Malik dan Sultan Hamengkubuwono IX. Ransom menulis, “Pada 12 April 1967, Sultan mengumumkan satu pernyataan politik yang amat penting yakni garis besar program ekonomi rejim baru itu yang menegaskan mereka akan membawa Indonesia kembali ke pangkuan Imperialis. Kebijakan tersebut ditulis oleh Widjojo dan Sadli.”
 
Ransom melanjutkan, “Dalam merinci lebih lanjut program ekonomi yang baru saja di gariskan Sultan, para teknokrat dibimbing oleh AS. Saat Widjojo kebingungan menyusun program stabilisasi ekonomi, AID mendatangkan David Cole, ekonom Harvard yang baru saja membuat regulasi perbankan di Korea Selatan untuk membantu Widjojo. Sadli juga sama, meski sudah doktor, tapi masih memerlukan “bimbingan”. Menurut seorang pegawai Kedubes AS, “Sadli benar-benar tidak tahu bagaimana seharusnya membuat suatu regulasi Penanaman Modal Asing. Dia harus mendapatkan banyak dari Kedutaan Besar Amerika Serikat.
Ini merupakan tahap awal dari program Rancangan Pembangunan Lima Tahunan (Repelita) Suharto, yang disusun oleh para ekonom Indonesia didikan AS, yang masih secara langsung dimbing oleh para ekonom AS sendiri dengan kerjasama dari berbagai yayasan yang ada.
Juni 1968, Jenderal Suharto secara diam-diam dan mendadak mengadakan reuni dengan orang-orang binaan Ford, yang dikenal sebagai “Mafia Berkeley” (untuk merancangkan susunan Kabinet Pembangunan dan badan-badan penting tingkat tinggi lainnya): sebagai Menteri Perdagangan ditunjuk Dekan FEUI Sumitro Djojohadikusumo (Doctor of Philosophy dari Rotterdam), Ketua BPPN ditunjuk Widjojo Nitisastro (Doctor of Philosophy Berkeley, 1961), Wakil Ketua BPN ditunjuk Emil Salim (Doctor of Philosophy, Berkeley, 1964 ), Dirjen Pemasaran dan Perdagangan ditunjuk Subroto (Doctor of Philosophy dari Harvard, 1964), Menteri Keuangan ditunjuk Ali Wardhana (Doctor of Philosophy, Berkeley, 1962), Ketua Team PMA Moh. Sadli (Master of Science, MIT, 1956), Sekjen Departemen Perindustrian ditunjuk Barli Halim (MBA Berkeley, 1959), sedang Sudjatmoko, penasehat Adam Malik, diangkat jadi Duta Besar di Washington, posisi kunci poros Jakarta-Washington.
Tim ekonomi “Indonesia Baru” ini bekeja dengan arahan langsung dari Tim Studi Pembangunan Harvard (Development Advisory Service, DAS) yang dibiayai Ford Foundation. “Kita bekerja di belakang layar,” aku Wakil Direktur DAS Lister Gordon. AS segera memback-up penguasa baru ini dengan segenap daya sehingga stabilitas ekonomi Indonesia yang sengaja dirusak oleh AS pada masa sebelum 1965 bisa sedikit demi sedikit dipulihkan.
 
Mereka inilah yang berada dibelakang Repelita yang mulai dijalankan pada awal 1969, dengan mengutamakan penanaman modal asing dan swasembada hasil pertanian. Dalam banyak kasus, pejabat birokrasi pusat mengandalkan pejabat militer di daerah-daerah untuk mengawasi kelancaran program Ford ini.
Mereka bekerjasama dengan para tokoh daerah yang terdiri dari para tuan tanah dan pejabat administratif. Terbentuklah kelompok baru di daerah-daerah yang bekerja untuk memperkaya diri dan keluarganya. Mereka, kelompok pusat dan kelompok daerah, bersimbiosis-mutualisme. Mereka juga menindas para petani yang bekerja di lapangan.
Arah pembangunan (Repelita) didesain sesuai dengan keinginan Washington dengan mengutamakan eksploitasi segenap kekayaan alam bumi Indonesia yang dikeruk habis-habisan dan diangkut ke luar guna memperkaya negeri-negeri Barat.
Inti pergantian kekuasaan dari Bung Karno ke Jenderal Besar Suharto adalah berubahnya prinsip pembangunan ekonomi Indonesia, dari kemandirian menjadi ketergantungan. April 1966 Suharto kembali membawa Indonesia bergabung dengan PBB. Setelah itu, Mei 1966, Adam Malik mengumumkan jika Indonesia kembali menggandeng IMF. Padahal Bung Karno pernah mengusir mereka dengan kalimatnya yang terkenal: “Go to hell with your aid!”
Untuk menjaga stabilitas penjarahan kekayaan negeri ini, maka Barat merancang Repelita. Tiga perempat anggaran Repelita I (1969-1974) berasal dari utang luar negeri. “Jumlahnya membengkak hingga US$ 877 juta pada akhir periode. Pada 1972, utang asing baru yang diperoleh sejak tahun 1966 sudah melebihi pengeluaran saat Soekarno berkuasa.” (M.C. Ricklefs; Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004; Sept 2007).
Dalam hitungan bulan setelah berkuasa, kecenderungan pemerintahan baru ini untuk memperkaya diri dan keluarganya kian menggila. Rakyat yang miskin bertambah miskin, sedang para pejabat walau sering menyuruh rakyat agar hidup sederhana, namun kehidupan mereka sendiri kian hari kian mewah. Bulan madu antara Suharto dengan para mahasiswa yang dulu mendukungnya dengan cepat pudar.
Mahasiswa melihat penguasa baru ini pun tidak beres. Militer dipelihara dan digunakan sebagai tameng penjaga status-quo. Kekuatan politik rakyat dibabat habis dengan dibonsainya partai-partai politik hingga hanya ada tiga: Golkar, PPP, dan PDI. “Pada Februari 1970, pemerintah mengumumkan semua pegawai negeri harus setia kepada pemerintah. Mereka tidak diizinan bergabung dengan partai politik lain kecuali Golkar,” demikian Ricklefs.
 
Unjuk rasa mahasiswa yang dilakukan di depan Kantor Pangdam Siliwangi dan juga Kantor Gubernur Jawa Barat, 9 Oktober 1970, dengan keras mengecam kelakuan tentara yang kian hari kian dianggap repressif. Delapan tuntutan kala itu disampaikan: Kebalkah ABRI terhadap hukum! Mengapa pakaian seragam diangap lebih mampu? Apakah seragam sama dengan karcis kereta-api, bioskop, bus, opelet? Kapan ABRI berubah kelakuan? Siapa berani tertibkan ABRI? Kapan ada jaminan hukum bagi rakyat? Sudah merdekakah kita dari kesewenang-wenangan hukum?” (Francois Raillon; Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia 1966-1974; Des 1985).
Francis Raillon menulis, “Sepanjang 1972-1973 di sekitar Suharto terjadi rebutan pengaruh antara ‘kelompok Amerika’ melawan ‘kelompok Jepang’. Yang pertama terdiri dari para menteri teknokrat dan sejumlah Jenderal, Pangkopkamtib Jend. Soemitro salah satunya. Kelompok kedua, dipimpin Aspri Presiden, Jend. Ali Moertopo, dan Jend. Soedjono Hoemardhani.”
Suharto memang seorang pemimpin yang sangat lihai. Dia memanfaatkan semua orang yang berada di sekelilingnya guna memperkuat posisinya sendiri. Ketika menumbangkan Bung Karno, Suharto menggalang kekuatan militer, teknokrat pro-kapitalisme, dan ormas keagamaan, terutama umat Islam, untuk menghancurkan komunisme. Namun setelah berkuasa, umat Islam ditinggalkan. Suharto malah merangkul kekuatan salibis faksi Pater Beek SJ dan juga CSIS di mana Ali Moertopo menjadi sesepuhnya, dan kemudian di era 1980-an akan muncul tokoh sentral Islamophobia, murid Ali Moertopo, bernama Jenderal Leonardus Benny Moerdhani.
Dengan dukungan penuh terutama dari militer—tentu ada harga yang harus dibayarkan oleh Suharto, yakni membagi kue KKN kepada para perwiranya—maka kekuatan sipil tidak ada artinya. Siapa pun yang berseberangan dengannya, maka langsung dicap sebagai Anti Pancasila. Selama periode 1970-awal 1980-an, tidak ada kekuatan sipil yang berarti yang mampu menentang Suharto. Bayang-bayang pembunuhan massal yang dilakukan tentaranya Suharto pada akhir 1965 sampai awal 1966 menciptakan teror tersendiri di dalam benak rakyatnya.
Nations and Character Building yang diperjuangkan para pendiri republik ini dalam sekejap dihancurkan oleh Suharto, dan digantikan dengan Exploitation de L’homee par L’homee, eksploitasi yang dilakukan kubu penguasa terhadap rakyat kecil. Patut digaris-bawahi jika eksploitasi ini terus dilakukan oleh para elit pemerintah dan juga elit parpol sampai hari ini. Tak aneh jika sekarang ada yang berterus terang jika Suharto adalah gurunya.
 
Catatan hitam tentang Suharto tidak berhenti sampai disini. Dalam penegakan Hak Asasi manusia (HAM) misalnya, rezim Orde Baru di tahun 1980-an sangat dikenal di luar negeri sebagai rezim fasis-militeristis, sebagaimana Jerman di bawah Hitler, Italia di bawah Mussolini, Kamboja di bawah Polpot, dan Chile di bawah Jenderal Augusto Pinochet. Ini ditegaskan Indonesianis asal Perancis, Francois Raillon. Bahkan M.C.
Ricklefs, sejarawan Australia, menyatakan jika penegakan HAM-nya rezim Suharto jauh lebih buruk ketimbang penguasa jajahan Belanda. “Orde Baru lebih banyak melakukan hukuman itu ketimbang pemerintah jajahan Belanda. Orde Baru mengizinkan penyiksaan terhadap narapidana politiknya. Sentralisasi kekuasaan ekonomi, politik, administrasi, dan militer di tangan segelintir elit dalam pemerintahan Suharto juga lebih besar ketimbang dalam masa pemerintahan Belanda,” tegas Ricklefs yang bertahun-tahun menelusuri sejarah bangsa ini sejak zaman masuknya Islam.
Dalam tulisan selanjutnya, beda judul namun masih satu kesatuan, akan dipaparkan satu-persatu “prestasi” rezim Suharto dalam penegakan hak asasi manusia, terutama yang menyangkut umat Islam, hubungan haramnya dengan Zionis-Israel, dan banyak lagi yang lainnya.(Jk)

No comments: