Kami Hanyalah Para Buruh

mesir zaman dulu
UNTUK sejenak, Imam Hasan Al-Bana menghentikan aktivitasnya. Ada beberapa orang yang ingin bertemu dengannya. Dengan bijak dan penuh sabar, beliau segera meninggalkan aktivitasnya. Ia sudah hafal betul, bahwa waktunya memang telah makin banyak tersita oleh orang-orang yang ingin bertemu dengannya. Ia banyak mendapati bahwa orang-orang yang ingin menemuinya tidak jarang adalah orang-orang yang baru pertama kali ia lihat dan ia belum mengenalnya sama sekali.
Imam Syahid memang telah menyediakan diri untuk segala kondisi dan medan dakwah yang tengah dilajunya. Ia berusaha menggauli setiap orang sesuai tata krama orang itu sendiri. Imam syahid beusaha menjalin komunikasi secara wajar, dengan penuh kesantunan sehingga siapapun bersikap hormat kepadanya.
Ada enam orang dilihatnya di luar. Kediaman Imam Syahid memang tak pernah sepi. Padahal di daerah itu—Ismailiyah, Imam Syahid baru menghabiskan satu tahun saja.
“Silakan masuk….” ujar Imam Syahid mempersilakan orang-orang itu.
Orang-orang itu berjumlah enam dan mereka tampak malu-malu. Mereka sudah banyak mendengar banyak dari orang-orang tentang lelaki penuh teduh di hadapan mereka itu.
“Kami ada maksud dengan silaturahmi kami ini…”
Imam Syahid hanya mendengarkan. Wajahnya masih senantiasa menyiratkan ketenangan.
“Kami hanyalah para buruh. Saya adalah seorang tukang kayu—nama saya Hafidz Abdul Hamid…” ujar salah seorang kemudian memperkenalkan diri. Kemudian disusul oleh teman-temannya yang lain yang kemudian Imam Syahid ketahui bernama Ahmad Al-Hushary yang berprofesi sebagai tukang potong rambut, Fuad Ibrahim yang mencari penghidupan sebagai tukang setrika, Imael Izz seorang tukang kebun, dan Zaki Al-Maghriby yang berprofesi sebagai penyewa dan montir sepeda. Terakhir yaitu Abdurahman Hasbullah, yang berprofesi sebagai sopir.
“Ya ada apakah?” tanya Imam Syahid. Senyum tidak lepas dari bibirnya. Maka benarlah apa yang dikatakan oleh banyak orang tentang orang ini. Enam orang itu mendengar bahwa Imam Syahid telah bertemu dengan orang-orang besar di daerah itu, bahkan seantero Mesir. Tapi tidak terlihat perlakuannya berbeda kepada mereka yang hanya para buruh kecil saja.
“Telah lama kami mendengar tentang Anda. Mungkin dalam waktu satu tahun terakhir ini sejak Anda menetap di daerah ini.”
“Ya…?” Imam Syahid menunggu.
“Kami tertarik pada kepribadian dan terkesan pada pola-pola dakwah Anda. Jika Anda tidak keberatan, kami ingin menggabungkan diri dengan Anda. Kami harap Anda tidak sungkan untuk membina kami…”
Hasan Al-Bana tercenung. Dipandanginya keenam orang di hadapannya. Ia mengerti betul perkataan mereka. Ia sering kali menghabiskan waktunya bergabung dengan orang-orang jenis mereka di kedai-kedai kopi. Imam Syahid meyakini bahwa kebanyakan orang yang berada di kedai kopi siap mendengarkan nasihat dari pihak lain, termasuk dari kalangan aktivis medjid.
Dari seringnya ia bergabung dengan mereka di kedai-kedai kopi itu, Imam Syahid langsung mengetahui apa gerangan yang dibutuhkann oleh orang-orang kecil itu.
Cara menyampaikan dakwah Imam Syahid terbilang unik. Ia menyampaikan sesuatu yang jangan sampai melukai perasaan para pengunjung dan pemilik kedai. Dan untuk orang-orang seperti mereka, Imam Syahid mengerti keadaan mereka. Tapi ia belum pernah sekalipun didatangi oleh mereka dan kemudian secara terang-terangan diminta untuk menjadi pembina mereka.
Dengan segala senang hati, Imam Hasan menyambut niat baik mereka itu. Akhirnya mereka memang menetap bersama Imam Hasan.
Seiring berlalunya waktu, keenam orang itu makin terbina oleh Imam Hasan. Mereka masih tetap menjalani kehidupannya seperti dulu. Tidak ada yang berubah dengan sumber kehidupan para ikhwan baru itu. A-Hushary masih berprofesi sebagai tukang potong rmbut, dan rekan-rekanya yang lain juga sama setia dengan pekerjaannya.
Suatu waktu, mereka menawarkan sebagian kekayaan mereka untuk kepentingan dakwah. Imam Syahid terharu. Ia betapa sangat menyadari dan mengagumi sahabat-sahabatnya itu. Dengan hanya penghasilan yang tidak seberapa, mereka berani mengorbankan kekayaan mereka. Nyata benar, bahwa orang kecilpun tak bisa dianggap remeh dalam perjalanan dakwah. Apalagi jika seperti mereka. mungkin lumrah jka orang kaya memberikan bantuan hartanya untuk dakwah, tapi jika itu orang-orang seperti sahabatnya itu, itu adalah sesuatu yang luar biasa.
Imam Hasan kemudian mengusulkan nama “Ikhwanul Muslimin” bagi kelompok mereka. Alasan pemilihan nama itu karena tujuan mereka bersatu padu dalam sebuah persaudaraan tersebut semata-mata mengabdi pada Islam. Jadi sangat tepat jika kelompok tersebut diberi nama “Persaudaraan Islam”—atau Ikhwanul Muslimin tadi.
Hasil dari pengumpulan sumbangan itu, mereka menyewa sebuah paviliun yang sangat sederhana. Paviliun ini di kemudian hari dijadikan sebagai markas, dan Imam Syahid menamakan tempat ini sebagai “Sekolah Penempaan”. Dari tempat inilah kemudian Imam Syahid mulai merancang dan menerapkan sebuah sistem pendidikan pertama dalam sejarah gerakan Ikhwan. Secara ringkas, bentuk-bentuk pengajaran yang mereka lakukan adalah membaca dan menghafal Alquran, memahami dan menghafal hadist Nabi, latihan berpidato, serta latihan mengajar.
Selang bebepa waktu kemudian, kelompok tersebut berjumlah menjadi tujuh puluh orang. Namun walau begitu Imam Syahid dan sahabatnya masih tetap menekuni dakwahnya. Imam Syahid tetap pergi ke kedai-kedai kopi. Ia selalu mempercayai dan yakin, dakwah Islam haruslah menyentuh setiap golongan. Dan Imam Syahid dengan kondisinya yang sangat sibuk untuk berbagai kegiatan, telah membuktikan bahwa kalangan bawah harus mendapat prioritas dakwah juga. []

No comments: