Perjuangan Teungku Tapa Bak Legenda Malem Diwa

Perjuangan Teungku Tapa Bak Legenda Malem Diwa
Belanda membantai penduduk Kuta Reh setelah kesal tidak berhasil menangkap Teungku Tapa dan pengikutnya | Foto: repro Masyarakat mengibaratkannya seperti Malem Diwa, pahlawan mitologi Aceh di zaman purba. “Dia merupakan tahanan di Aceh yang terpandang seperti wali dan seperti anak raja (pangeran).” Demikian judul berita seseorang yang melakap namanya sebagai Pembantu Betawi, KMPB (S. Ta’iat) dalam surat kabar Pewarta Deli pada 21 Nopember 1914 silam. Pernyataan tersebut merujuk kepada sosok pejuang Aceh yang di kemudian hari dijuluki Teungku Tapa.
Masih bersandar pada tulisan tersebut, Pembantu Betawi memulai karangannya dengan mengulas secara panjang lebar kisah kematian Teungku Tapa di Keureuto (tertulis Kerti). Saat dirinya gugur, sehelai bendera beraksara Arab menutup jasadnya. Dia memakai pakaian sutera layaknya seorang hulubalang yang gagah perkasa dan mati di medan pertempuran.
“...Tetapi di antara pembaca tentu banyak yang tiada mengetahui siapa Teungku Tapa itu. Orang-orang Aceh yang kebanyakan memandang dan membenarkan bahasa ialah Sutan Malim Dewa, seorang anak raja yang sangat termashur pada zaman purbakala, dari karena gagah beraninya dan kesaktiannya, sebagaimana menurut riwayat orang-orang Aceh," tulisnya seperti dikutip oleh H. Mohammad Said dalam bukunya Aceh Sepanjang Abad Jilid II.
Kekaguman Pembantu Betawi terhadap Teungku Tapa sangat beralasan. Apalagi ketokohan Teungku Tapa bagi masyarakat Aceh dianggap setara dengan peran Teungku Nyak Makam, salah satu panglima perang Kerajaan Aceh Darussalam. Keikutsertaannya dalam perang melawan penjajahan di Aceh telah merepotkan Belanda yang ingin menguasai Simpang Ulim (Aceh Timur sekarang).
Berdasarkan tulisannya tersebut, diketahui Teungku Tapa merupakan keturunan Melayu dari orang kebanyakan. Dia petani. Namanya Abdullah Pakih. “Negerinya di kampung Tilatang dekat Bukit Tinggi (Padang Darat)."
Saat itu, Sumatera Barat dilanda peperangan melawan Belanda. Salah satu pejuang tersebut di antaranya yaitu Abdullah Pakih. Meredam perlawanan rakyat Padang, Belanda menangkap Abdullah Pakih yang diketahui terlibat dalam pemberontakan. Dia dihukum selama 20 tahun penjara dan dibuang ke Aceh.
Abdullah Pakih berhasil kabur dari tahanan Belanda, tak lama setelah dirinya berada di Aceh. Kemampuannya meramu obat dan mampu membuat ajimat membuat pasukan Aceh menerima Abdullah Pakih sebagai bagian dari prajurit yang berpusat di Keumala, Pidie.
Setelah dirinya mendapat tempat di struktur militer pasukan Aceh, Sultan kemudian mengutusnya untuk mengutip biaya perang kepada raja-raja Aceh di sepanjang pantai utara dan timur. Namun kedekatannya dengan petinggi kerajaan membuat Abdullah Pakih terlibat pertikaian dengan seorang tokoh dari istana Keumala.
Pertikaian tersebut berakhir dengan duel. Abdullah Pakih berhasil membunuh lawannya dalam perkelahian dan menjadikannya sebagai buronan istana. Setelah konflik tersebut, Abdullah Pakih memilih tempat tinggal baru di Gayo yang jauh dari kekuasaan sultan. Di Bulu Biang, Gayo, Abdullah Pakih kemudian menjauhkan diri dari urusan duniawi (bertapa).
Lama kelamaan, Abdullah Pakih dihormati oleh warga sekitar karena dianggap keramat. Bahkan dirinya dijuluki sebagai Teungku Tapa oleh mereka. Saat itu, Biang dipimpin oleh Teungku Husein yang dianggap zalim oleh penduduknya. Penduduk yang gerah dengan kepemimpinannya meminta bantuan Teungku Tapa. Dari pemberontakan tersebut, Teungku Husein terbunuh. Sejak itu, Teungku Tapa menjadi panutan penduduk Gayo.
Masyarakat kemudian menyejajarkan ketokohan Teungku Tapa dengan sosok Malim Diwa, seorang pahlawan dalam mitologi Aceh. Hal tersebut disebabkan peranan Teungku Tapa yang memerangi Belanda.
Keikutsertaan Teungku Tapa dalam perang di Aceh telah banyak merugikan Belanda. Akhirnya, Jenderal Belanda di Banda Aceh mengutus pasukannya di bawah komando Jendral J.B. van Heutsz ke Idi pada 6 Juli 1898 hingga 24 Juli 1898. Sandi operasi tersebut adalah Het bedwingen van Teungkoe Tapa beweging (Memukul gerakan Teungku Tapa).
"Teungkoe Tapa, de bedriegelijke herrijzen Malim Dewa, de z.g. onkwetsbare held uit de Atjehsche hikayat, had zich een enorme aanhang weten te verschaffen door den heiligen oorlog te prediken." Demikian catatan resmi militer Belanda menyebut ketokohan Teungku Tapa yang sangat membahayakan kedudukannya di Aceh.
Saat itu, Abdullah Pakih alias Teungku Tapa disebut-sebut oleh rakyat sebagai jelmaan Malim Dewa yang mempunyai kesaktian dan mampu mengalahkan Belanda. Dirinya muncul sebagai pahlawan bagi masyarakat Aceh. Untuk mengantisipasi Teungku Tapa, Belanda kemudian mengutus pahlawan perangnya, van Heutsz dalam ekspedisi Idi. Bagi Belanda, membunuh Teungku Tapa lebih penting dibandingkan mengatasi perlawanan Panglima Polem dan Teuku Umar.
Berdasarkan referensi lainnya sejarah perang Aceh menyebutkan, Teungku Tapa berasal dari daerah Telong Redelong Tue yang berjarak kira-kira 25 kilometer dari Takengon Gayo Lut. Dalam perjuangannya, Teungku Tapa dibantu oleh Pang Pren dari Munte Kala kampung Kung Pegasing, dan Pang Ramung dari Kebayakan.
Pang Pren dan Pang Ramung sering berada di Aceh Timur dan Aceh Utara bersama Tengku Tapa. Pang Pren ditugaskan oleh Tengku Tapa di daerah Bebesan-Pegasing, sementara Pang Ramung mendapat tugas memimpin daerah Bukit kebayakan di Gayo Lut.
Pasukan Tengku Tapa merupakan gabungan antara pasukan dari Dataran Tinggi Gayo dan pasukan dari Aceh. Mereka beroperasi di sekitar Aceh Timur dan Aceh Utara sekitar tahun 1898 dan 1900.
Pasukan ini dikenal sangat tangguh, berani dan fanatik oleh pasukan Belanda. Namun, karena pasukan Van Heutsz yang sangat besar dalam jumlah dan persenjataannya membuat pasukan Panglima Tengku Tapa harus mengundurkan diri ke Dataran Tinggi Gayo yang berjarak kira-kira 40 sampai 50 kilometer dari Idi.
Snouck Hurgronje yang menulis tentang Aceh menyebutkan bahwa Panglima Tengku Tapa adalah “orang ajaib” atau “orang keramat” yang dalam istilahnya sendiri menyebut wonder man yang berasal dari Gayo Telong. Menurut Snouck, Tengku Tapa sangat banyak pengikutnya pada tahun 1898 hingga tahun 1900, terutama di daerah Aceh Timur dan daerah Pasee, Aceh Utara.
Menurut Snouck, awalnya Tengku Tapa merupakan seorang pecandu dan penjudi. Dia kemudian mendapat ilham setelah bertapa selama tujuh tahun di Gunung Geureudong dekat Telong, Takengon. Sekembalinya dari pertapaan, dia insyaf dan memiliki kekuatan ghaib.
Perubahannya secara fisik sangat kentara sehingga ia tidak dikenali lagi oleh seorangpun. Demi berbakti dalam perang sabil atau perang suci melawan Belanda, ia lebih memilih berjuang di wilayah pesisir timur Aceh karena berpikir akan mendapat pengikut yang lebih banyak dibandingkan bila berjuang di daerahnya sendiri.
Hal ini mengakibatkan ia tampil dalam peperangan di pesisir timur Aceh bersama-sama dengan para pengikutnya. Belanda yang mengutus van Heutsz dengan pasukan artilerinya sama sekali tidak mematahkan semangat Teungku Tapa. Bersama pengikutnya, Teungku Tapa menyerang pasukan meriam dan infanteri Van Heutsz, sehingga banyak di antara mereka yang menjadi syahid. Pasukan Van Heutsz memperoleh kemenangan dalam serbuan itu, dan mereka terus mengejar sisa-sisa pasukan Tengku Tapa hingga ke Seuneubok.
Setelah diburu sekian lama, Tengku Tapa tetap melakukan perlawanan bersama pengikut-pengikutnya yang terdiri dari orang-orang Gayo dan orang-orang Aceh. Dia syahid di daerah Pasee (Aceh Utara) pada tahun 1900.[]
Referensi:
Aceh Sepanjang Abad Jilid II karangan H. Mohammad Said.
Teuku Umar dan Tjut Nja Din Sepasang Pahlawan Perang Atjeh karangan Hazil.
Het Gajoland en zijne bewoners, Batavia: Pemerintah Hindia Belanda karangan C. Snouck Hurgronje.

No comments: