Cerita Dua Tawanan Perang Jepang Soal Makan dan Mandi di Kamp

Kala Hindia Belanda tamat, warga Belanda dan sebagian Tionghoa menjumpai hari-hari yang tak lagi sama. Simak penuturan dua penyintas kamp tawanan Jepang selama 1942-45.
jepang,belanda,hindia belanda,tawanan perangTiga tawanan perang asal Australia sedang memasak nasi goreng di atas arang membara. Mereka menghuni kamp tawanan di Jakarta. Tampaknya penjagaan mulai longgar karena foto ini diambil pada September 1945, beberapa minggu setelah Jepang menyerah kepada Sekutu. (Lieutenant R. J. Buchanan/Australian War Memorial)
“Makanan di Boekit-Doeri, biarpoen tida lezat, ada tjoekoep,” tulis Nio Joe Lan dalam buku hariannya.  Lelaki itu seorang jurnalis, yang bersama para tokoh Tionghoa lainnya, ditangkap oleh Jepang pada April 1942. Kala 'diciduk' dia berusia 38 tahun.

Pada bulan-bulan awal, mereka mendapatkan makanan yang cukup. Sarapan nasi dengan atau tanpa garam, satu mangkuk penuh kopi. Jelang siang mereka menyantap nasi, tempe, sup daging kerbau, sambal, dan kadang sebuah pisang. Kemudian, sore harinya teh dan nasi lengkap dengan sepotong daging kari atau goreng, sup, dan sambal. Cukup mewah untuk seorang tawanan.

Namun, jelang kekalahan Jepang, mereka dipindah ke Serang dan Cimahi. Mereka pun tak lagi menyantap santapan mengenyangkan lantaran Jepang mengerem pasokan bahan makanan ke kamp. Lantaran sulitnya bahan makanan, Nio berkisah, pemimpin kamp Cimahi terpaksa pernah membeli satu babi hutan, kemudian dimasak untuk dinikmati seluruh kamp.

“Satoe celeng boeat kira-kira 10.000 orang—bisa dimengarti bagian tiap-tiap orang paling banjak tjoema satoe-doea irisan ketjil sadja,” ungkap Nio. Daging kerbau kian lama kian sulit diperoleh sehingga sup kadang tidak berdaging lagi. Meskipun sayuran dan bumbu dari luar kian menjarang, para tawanan masih memanen hasil sayur-mayur dari pekarangan kamp tawanan. Juga, dapur pabrik roti yang menggunakan air kencing sebagai bahan biangnya!

Singkat kata, makanan yang mereka dapatkan di kamp menurutnya, “Tida tjoekoep banjak buat membikin kenjang, tida tjoekoep sedikit boeat membikin mati.”
jepang,belanda,hindia belanda,tawanan perangSeorang perempuan Eropa sedang memasak dengan cara primitif di lingkungan yang tidak sehat. Keadaan ini banyak dijumpai di berbagai kamp tawanan perang Jepang. (Australian War Memorial)
Nio menulis secara saksama mengenai pengalamannya hidup di kamp tawanan Jepang. Kemudian pada 1946 dia  menerbitkannya dengan judul Dalem Tawanan Djepang (Boekit Doeri-Serang-Tjimahi): Penoetoeran Pengidoepan Interneeran Pada Djeman Pendoedoekan Djepang. Sementara itu sebuah buku serupa ditulis oleh Rita la Fontaine de Clercq Zubli berjudul Disguised, yang terbit pertama kali di London pada 2007.

Kala menjadi tawanan Jepang, Rita merupakan gadis berusia 12 tahun yang tengah menyamar sebagai anak lelaki. Penyamaran itu telah menyelamatkan nasibnya: lepas dari perekrutan jugun ianfu—perempuan pemuas seks para serdadu Jepang.

Para tawanan perang, menurut Rita, keluarganya menerima ransum berupa gula, biji jagung, minyak, kopi, teh, garam, dan merica. Mereka hidup bersama 700 perempuan dan anak-anak dari berbagai kebangsaan. “Biji jagung itu tidak layak dimakan manusia. Sebelum bisa dimasak, harus ditumbuk menjadi tepung atau direndam semalaman agar lembut,” ungkapnya. “Minyak gorengnya paling aneh, berupa benda padat yang tebal berwarna jingga, mirip margarin dicampur saus tomat.”

Tawanan lelaki dan tawanan perempuan ditempatkan di kamp terpisah. Mereka menghadapi kebiasaan hidup yang berubah drastis. Seperti soal makanan, mandi pun menjadi persoalan, baik bagi perempuan maupun laki-laki sekalipun. Jalan termudah untuk menyesuaikan kehidupan kamp adalah, ungkap Rita, dengan menyesuaikan diri dengan aturan-aturan baru.
jepang,belanda,hindia belanda,tawanan perang,mandiSuasana mandi dalam kamp tawanan perang Jepang di Kampong Makassar, Jakarta. Kamp ini khusus dihuni perempuan dan anak-anak. (Tropenmuseum/Wikimedia commons)
Para perempuan menggunakan kain sarung untuk mandi di sumur. Satu tangan memegangi sarung, sementara tangan lainnya mengguyur air dengan gayung. Ketika menyabuni badan, tepian sarung digigit, sementara dua tangan bekerja di dalam sarung. “Sulit sekali menggunakan sarung sebagai penutup tubuh,” ungkap Rita. “Aku merasa seperti tukang sulap saja.”

Namun, Nio mempunyai kisah sendiri soal acara mandi di kamp. “Boeat mandi bermoela banjak orang moendoer-madjoe. Bisa dimengarti,” tulisnya. “Kita moesti mandi berbareng sama banjak orang dengen... terlandjang!” Mereka yang tidak suka mandi dengan cara ini, ungkap Nio, bisa mandi bercelana. “Dan ini soesah dilakoeken sebab kita tida ada poenja tjelana laen boeat gantinja itoe!”

Meskipun Nio dan Rita terpaut usia dan lokasi kamp yang jauh, keduanya mengalami suatu masa yang menorehkan kenangan nan tak lekang. Masa itu telah menjungkirbalikkan kehidupan mereka di sebuah kawasan asing bak hidup di dunia lain.
(Mahandis Y. Thamrin)

No comments: