Sunni-Syi’ah: Warisan Sejarah yang Memperkaya

Seketika Nabi Muhammad saw. wafat, kaum Ansar segera menyibukkan diri untuk menjadi pewaris tahta politik Muhammad. Saqifah Bani Saidah menjadi tempat mereka bertengkar demi kekuasaan, tanpa mempedulikan jasad suci Nabi yang berbaring tak bernyawa lagi. Mengetahui sahabat Anshar mengadakan pertemuan untuk mengambil alih tampuk kekuasaan, segera Abu Bakar, Umar bin Khattab dan beberapa orang muhajirin datang ke tempat itu. Perseteruan politik anatara Anshar dan Muhajirin  di tempat itu nyaris terjadi peperangan, seandainya Umar bin Khattab yang ditakuti tidak segera membaiat Abu Bakar. Sikap Umar bin Khattab kemudian diikuti oleh sahabat-sahabat Nabi yang lain, walaupun tidak semua sahabat. Mereka melaksanakan sumpah setia, mengakui kepemimpinan Abu Bakar untuk menjadi pengganti Nabi(khalifah rasul).
Kira-kira lima ratus meter dari balairung itu, jasad Nabi sedang terbujur kaku. Hanya ahli bait Nabi yang menunggui dan mengurus jenazah suci itu. Para sahabat yang berunding di balairung milik orang Anshar tersebut tidak pernah memikirkan Nabi dan keluarga Nabi. Ali ra. yang memiliki hubungan paling dekat dengan Nabi, bahkan pernah mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan Nabi dari kejaran kaum Quraisy, ketika itu dilupakan. Selama tiga hari dua malam Ali dan keluarga menunggu jasad Nabi yang tidak bernyawa. Sementara para sahabat Nabi yang lain bertikai di Saqifah Bani Saidah untuk mendapatkan kekuasaan duniawi. Setelah persoalan politik yang dipertikaikan selesai, barulah jenazah suci Nabi dimakamkan. Namun demikian, Ali ra. dan beberapa orang sahabat Nabi tidak mahu berbai’at dengan kepemimpinan Abu Bakar sampai wafat isterinya, Fatimah.
Tulisan di atas bersumber dari kitab-kitab yang terpercaya dari kalangan Sunni. Secara kasat mata, benih perpecahan antara Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib nampak jelas. Para pengikiutnya di belakang hari semakin memperlebar jurang keretakan antara Ahlil Bait dan kelompok mayoritas. Penulis sengaja tidak ingin menampilkan penafsiran para ahli terhadap dokumen sejarah yang awal tersebut dan juga tidak ingin menafsirkan. Karena tafsir terhadap teks tidak bisa terlepas dari subyektifitas penafsirnya. Dari teks yang sama akan muncul banyak pendapat yang bersifat tafsir dan setiap pendapat akan menyuarakan kebenaran yang bersifat subyektif. Lebih tepatnya teks dijadikan alat pembenar terhadap pendapat tertentu yang diyakini oleh penafsir.
Teks di atas merupakan dokumen tertulis yang paling awal sampai kepada kita hari ini. Untuk menelusuri dan meneliti agar diperoleh otentisitas teks dan suasana kebatinan yang tepat agar kita dapat memilih penafsiran yang tepat adalah sangat sulit. Penelitian dan penelusuran yang akan dilakukan tetap juga harus melalui kitab-kitab standard yang sudah ditentukan oleh para pakar. Kitab-kitab standard yang hari ini kita temui semuanya sudah terkotak-kotak mengikut sekte para penulisnya. Dan penulis cenderung memberi pembelaan kepada sekte yang diikuti, meskipun tidak seluruhnya. Maka untuk menghakimi sekte-sekte yang ada dalam islam tidak pernah menyelesaikan masaalah. Karena ukuran yang dijadikan patokan untuk menilai (tafsir atau syarah) yang standard di kalangan umat islam berbeda-beda sesuai dengan sekte yang ada.
Ketika kitab standard sunni dijadikan patokan untuk membaca kitab-kitab syi’ah, maka pastilah akan didapati banyak kesalahan. Begitu juga sebaliknya, ketika kitab standard syi’ah dijadikan ukuran untuk membaca kitab-kitab sunni juga akan ditemui banyak kesalahan. Akibatnya dua kelompok ini di mana-mana saling menghakimi dan tidak mahu berlapang dada menerima perbedaan. Itulah warisan sejarah kelam umat islam yang sampai hari ini dijadikan pegangan oleh elit yang berkuasa.
Bisakah umat islam menjadi pemaaf atas kesalahan sejarah masa lalu itu? Bukankah kita menjadi sunni karena terlahir di keluarga sunni dan bergaul di lingkungan masyarakat yang serba sunni. Seperti juga kita menjadi syi’ah karena terlahir di keluarga sy’ah dan bergaul di lingkungan syi’ah? Walaupun ada juga yang menjadi sunni atau syi’ah karena pencarian dan penggembaraan intelektual sehingga menemukan otentisitas penafsiran yang diyakini benar dan menjadi orientasi keimanannya.
Bagaimanapun cara kita memperoleh keimanan yang kita yakini benar sehingga kita beramal dengan yang kita yakini dan imani, tetap saja menyisakan ruang kebenaran terhadap yang lain. Karenanya, alangkah indahnya pada saat yang sama kita juga menghargai keimanan dan keyakinan orang lain yang berbeda dengan kita, karena mereka mengamalkan keyakinan sesuai dengan keimanan yang benar menurut mereka. Keimanan dan keyakinan mereka adalah benar menurut mereka, sebagaimana kita membenarkan keimanan dan keyakinan kita juga.
Syi’ah dan sunni di sini hanya sebagai contoh. Terhadap keimanan dan kepercayaan lain juga berlaku aturan yang sama. Karena setiap keimanan dan kepercayaan pastilah didasari oleh kebenaran yang diyakini dan dipercayai oleh penganutnya. Hargailah ukuran kebenaran yang dijadikan pegangan oleh orang lain, maka orang lain akan menghormati dan menghargai kebenaran yang kita jadikan pegangan.
Salam damai

masruddin

No comments: