Menjaga Bahasa Aceh

BAHASA menunjukkan identitas suatu bangsa, dengan bahasa komunikasi dapat terjadi dan hubungan pun terjalin dengan baik. Bahasa akan punah jika sang penuturnya tidak mau lagi menggunakan bahasa tersebut. Inilah yang sekarang terjadi di kehidupan kita.

Keengganan masyarakat Aceh dalam menggunakan bahasa Aceh di khawatirkan akan hilangnya bahasa ini di permukaan bumi Aceh. Masyarakat Aceh, kususnya para remaja, saat ini lebih sering menggunakan bahasa Indonesia ketimbang bahasa Aceh sendiri, padahal mereka sama-sama mengerti bahasa Aceh.

Berbicara mengenai bahasa, ini merupakan sebuah skill yang apabila sering digunakan, maka kita akan lebih mahir menggunakannya. Namun apabila bahasa ini jarang digunakan, maka kita akan lupa satu persatu dari penggalan bahasa tersebut. Bukti nyata yang dapat kita lihat saat ini banyak penggalan bahasa Aceh yang tidak pernah kita dengar lagi atau penggunaannya diganti dengan bahasa Indonesia.

Contohnya dari sekian banyak kata yang mulai hilang seperti kata camca (sendok) sekarang sudah banyak yang langsung mengatakannya dalam bahasa Indonesia “sendok”. Demikian pula boh limo, misalnya, juga terkena pengaruh bahasa Indonesia banyak yang langsung menyebutnya dengan “boh jeruk”. Begitu juga dengan kata kakoh (jamban), dan geutangen (sepeda).

Pengaruh lainnya berupa dialek dan intonasi bahasa Aceh, banyak masyarakat Aceh sekarang yang menggunakan bahasa Aceh dalam intonasi rendah, seperti kata ureueng (orang) intonasinya lebih mendalam, banyak yang mengatakan dengan kata ureung yang intonasinya lebih dangkal. Kata keubeue (kerbau) juga demikian, dan sebagainya.

Ada juga orang yang bisa berbahasa Aceh, tapi logatnya dibuat seolah-olah tidak bisa berbahasa Aceh. Sehingga kendengarannya seperti orang luar yang baru bisa belajar bahasa Aceh atau istilahnya tilĂ´. Pengucapannya tidak kental lagi terdengar seperti orang Aceh aslinya.

 Telah berasimilasi
Aceh bukanlah masyarakat yang terdiri dari satu suku berupa Aceh saja, tapi ada sekitar 14 suku yang tersebar di Aceh. Setiap suku tersebut mempunyai bahasa sendiri yang telah berasimilasi dengan bahasa Aceh, sehingga menghasilkan bahasa baru seperti bahasa Jamee, yaitu asimilasi antara bahasa Minang dan Aceh.

Sebagian mereka yang bukan asli suku Aceh, seperti suku Gayo misalnya tidak menggunakan bahasa Aceh dalam berkomunikasi, tapi menggunakan bahasa yang di dapat dari orang tua mereka atau biasa disebut dengan bahasa Ibu. Sehingga dalam kesehariannya mereka lebih dominan menggunakan bahasa dari suku mereka ketimbang menggunakan bahasa Aceh.

Anak-anak mereka juga menggunakan bahasa tersebut, karena sebagian dari mereka ada yang tidak bisa berbahasa Aceh, jadi bahasa yang diajarkan pertama di keluarga ialah bahasa dari suku mereka.  Ketika anak-anak mereka masuk sekolah, bahasa selanjutnya yang dipelajari ialah bahasa Indonesia. Hal ini dikarenakan kurikulum sekolah mewajibkan siswa untuk bisa berbahasa Indonesia dan mata pelajaran bahasa Indonesia pun terdapat dari tingkat dasar hingga sekolah atas.

Sedangkan untuk Bahasa Aceh sangat sedikit disinggung dan bahkan terkadang pelajaran bahasa Aceh merupakan mata pelajaran muatan lokal atau istilahnya mata pelajaran tambahan. Biasanya hanya terdapat di sekolah dasar saja, sedangkan untuk sekolah lanjutan berikutnya mata pelajaran Bahasa Aceh tidak ada lagi.

Saya yang berasal dari suku Aneuk Jamee merasakan hal tersebut. Saat berada di bangku sekolah dulunya saya tidak mendapatkan pelajaran kusus membahas bahasa Aceh, baik itu cara pengucapanya maupun cara penulisannya. Lingkungan tempat tinggal saya pun juga tidak ada yang berbahasa Aceh, sehingga bahasa Aceh sangat jarang sekali di dengar atau diaplikasikan dalam berkomunikasi.

Kami yang mempunyai bahasa daerah yaitu bahasa Jamee (mirip bahasa Minang), biasanya menggunakan bahasa tersebut dalam keseharian, sedangkan bahasa Aceh sangat jarang terdengar. Akibatnya sampai sekarang saya belum bisa berbicara bahasa Aceh dengan pasih, padahal saya adalah orang Aceh tulen.

Saat saya melanjutkan kuliah ke Banda Aceh, saya berharap bisa belajar bahasa Aceh karena saya pikir bahwa mayoritas yang ada di banda Aceh menggunakan bahasa Aceh. Akan tetapi kenyataanya tidak sesuai dengan yang diharapkan, orang-orang di lingkungan tempat tinggal saya maupun di kampus semuanya menggunakan bahasa Indonesia.

Walaupun kebanyakan dari mereka bisa menggunakan bahasa Aceh, tapi tetap saja bahasa Indonesia yang digunakan. Apakah ini karena malu menggunakan bahasa Aceh atau pun ingin menunjukkan rasa nasionalismenya sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)? Kalau begini, akhirnya orang Aceh bukan lagi berbahasa Aceh, tapi sudah tergantikan dengan bahasa Indonesia.

Seiring berjalannya waktu, tampaknya minat masyarakat Aceh dalam menggunakan bahasa Aceh semakin berkurang. Perhatiannya pun untuk memelihara bahasa Aceh juga berkurang. Bahkan ketika ada orang yang berbicara bahasa Aceh dengan logat asli Aceh, atau yang disebut dengan meukeulidoe malah menjadi bahan tertawaan.

Akibatnya banyak yang malu untuk menampakkan keaslian Acehnya, sehingga muncullah “Aceh jadi-jadian”, yaitu orang yang bisa bahasa Aceh tapi logatnya telah diubah menjadi logat bahasa Indonesia. Lebih jelasnya lagi terlihat pada masyarakat di perkotaan. Bahkan sekarang lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia dibandingkan bahasa Aceh.

Para Orang tua pun tidak lagi mengajarkan bahasa Aceh kepada anak-anak mereka, sehingga anak-anak Aceh merasa asing dengan bahasa mereka sendiri. Apa jadinya Aceh ini ke depan? Lama kelaman bahasa Aceh hanya tinggal nama dan tidak ada yang tau bagaimana bahasa Aceh itu sebenarnya.

 Seharusnya bangga
Kita sebagai masyarakat Aceh harusnya berbangga hati dengan bahasa yang kita punya. Kita memang tinggal di negara Indonesia, tetapi kita mempunyai budaya dan ciri khas tersendiri di setiap daerah. Keberagaman inilah yang membuat kita terlihat semakin unik.

Sudah sepatutnya kita sebagai masyarakat Aceh menjaga dan melestarikan bahasa Aceh. Jangan malu untuk berbahasa Aceh dan kita harus mempertahankan keasliannya, karena jika bahasa tidak bisa dipertahankan, kebudayaan yang terdapat di dalamnya akan sangat mudah lenyap mengikuti alur kemajuan penggunanya.

Semoga dengan tulisan ini, kita bisa menyadari betapa pentingnya menjaga bahasa karena dengan bahasalah kita mengetahui identitas suatu bangsa. Penulis berharap kita masyarakat Aceh tidak malu lagi menggunakan bahasa Aceh dan yang belum bisa bahasa Aceh agar segera belajar termasuk saya sendiri yang sedang belajar berbahasa Aceh.

Yelli Sustarina, Mahasiswi Program Studi Ilmu Keperawatan (PSIK), Fakultas Kedokteran, Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Banda Aceh. Email: yellsaints.paris@gmail.com

No comments: