Kisah Khalifah Ramadhan (True Story)
Adalah Khalifah Ramadhon, murid tertua dari
Khalifah Solih, pendiri suluk Naqsabandiyah cabang Batu Bara. Khalifah
Ramadhon adalah sahabat karib atuk atau kakek penulis, H.Muhammad Zain.
Beliau lahir sekira tahun 1908 dan meninggal dunia waktu berusia sekira
delapan puluh tahun lebih sedikit.
Khalifah Ramadhon aslinya adalah orang dari
kampung Mayang, sebuah onder afdeling di bawah keresidenan Tapanuli. Ia
menuntut ilmu dari Tuan Khalifah Solih sejak usia 7 tahun, dan
dinyatakan lulus pada usia sekira tiga puluh tahun. Selain memahami ilmu
syariah, beliau juga telah menguasai ilmu hikmah dan ilmu karomah.
Karenanya, ia diutus sang guru untuk meluaskan ajaran Naqsabandi di
wilayah tempat asalnya.
Khalifah Ramadhon adalah sebuah sosok yang
berilmu tinggi, ramah, lemah lembut, sederhana, dan polos. Ia adalah
manusia yang jujur, benar-benar jujur.
Pernah suatu hari, sekira tahun 1941, ia akan
pulang dari rumah suluk gurunya di Batu Bara menuju rumah suluk yang
dibangunnya di Mayang. Banyaklah para murid junior yang bersedekah
kepadanya, hingga terkumpullah uang sekira lima gulden. Sebagai sopan
santun, para murid junior itu memberi uang sembari mengatakan bahwa itu
adalah untuk ongkos sado sang Khalifah.
Lima gulden waktu itu adalah sebuah jumlah uang yang cukup banyak. Cukup untuk membeli beberapa ekor kambing.
Sesampai di depan rumahnya, Khalifah Ramadhon
menyerahkan semua uang yang diperolehnya tadi kepada sais. Tentu saja
sais menjadi terkejut dan mengatakan bahwa uang itu terlalu banyak untuk
sekedar ongkos sado. Namun sang Khalifah mengatakan bahwa uang itu
adalah diamanahkan sebagai pembayar ongkos sado, bukan untuk yang lain.
Sais sado itu melongo saja mendapat rejeki nomplok, sambil
terkagum-kagum dengan kejujuran Khalifah Ramadhon.
Di hari yang lain, Khalifah Ramadhon terpeleset
jatuh ke dalam sungai Perdagangan ketika sedang berwudhu. Sungai
Perdagangan yang waktu itu sedang besar airnya, tentu saja sangat
berbahaya bagi seorang Khalifah Ramadhon yang tidak bisa berenang. Namun
anehnya, Tuan Khalifah ini bukannya tenggelam, air malah seolah
mengampunya lalu membawanya kembali ke tepian dengan selamat.
Suatu hari pada tahun 1944, Khalifah Ramadhon
tanpa perasaan bersalah berjalan kaki melewati verboden yang dipasang
tentara Nippon. Kontan saja komandan jaga pos meneriakinya agar berhenti
atau ditembak. Namun Khalifah Ramadhan yang asyik masyuk dalam
zikirnya, tak lagi mendengar teriakan garang para penjaga verboden itu.
Kesal karena peringatannya tak dihiraukan, sang komandan pos jaga lalu
mengokang senjata lalu menembakkannya ke arah Tuan Khalifah. Tetapi
senjatanya macet. Ia lalu mengambil senjata anak buahnya lalu
menembakkannya kembali ke arah Tuan Khalifah yang terus saja berjalan.
Namun senjata kedua ini kembali macet. Karena kesalnya, Daidancho
pasukan Dai Nippon ini menghentakkan popor senjatanya ke lantai, maka
terdengarlah letusan yang menyadarkan Khalifah Ramadhon. Ia berpaling,
lalu mendatangi pos jaga itu dengan langkah perlahan. Tetapi sang
komandan pos malah memintanya untuk pergi sambil menunduk-nunduk hormat.
Yang terakhir, meskipun hidup sampai berusia
lanjut, kedua sahabat di atas, Khalifah Ramadhon dan Khalifah H.Muhammad
Zain (tutup usia 90 tahun), tidak pernah menunjukkan gejala sebagai
orang jawal, atau orang tua yang akalnya kembali seperti anak-anak.
Mereka tetap terjaga kehormatannya, hingga akhir hayat.
BP
No comments:
Post a Comment