Batang yang Menyejarah

Batang menyejarah? Apa iya? Simak tulisan berikut ini. (1) Di sebuah hutan wilayah Desa Silurah, Kec. Wonotunggal (Lereng utara Peg. Dieng) ditemukan sebuah arca Ganesha dan beberapa arca di sekelilingnya yang sudah rusak. Dari hasil kajian arkeologi, ternyata arca tersebut hasil karya abad VII Masehi, yang uniknya tidak dibuat dari batu yang biasanya dijadikan bahan pembuatan patung seperti bebatuan bersumber dari Gunung Merapi, melainkan dibuat dari batu kali yang tidak saja keras namun juga berat. Jika Candi Borobudur dikerjakan oleh Gunadharma pada masa Raja Samaratungga pada permulaan abad VIII, berarti arca Ganesha di Silurah ini jauh lebih tua dari pada Candi Borobudur. Saat ini lokasi arca berada di lembah sempit di tengah areal hutan yang sulit dijangkau di tepi alur sungai kecil berbatu yang airnya jernih. Pertanyaan kita, karena arca merupakan sarana beribadah bagi masyarakat Jawa Kuno sebelum kedatangan orang-orang Hindu dan kemudian Buddha dari India, dapat dipastikan bahwa kawasan tersebut dahulunya merupakan sebuah kampung yang penghuninya sudah mengenal kebudayaan sederhana sebagaimana yang kita kenal sekarang ini. Arca digunakan sebagai sarana penyembahan, sungai untuk keperluan memasak, mandi, dan keperluan pembersihan lainnya, dan lembah merupakan areal perlindungan keamanan yang paling efektif mengingat waktu itu antar penduduk yang saling tidak mengenal mudah sekali terjadi peperangan. Jadi, dengan ditemukannya arca Ganesha di Desa Silurah tersebut menjadi Batang (seharusnya) masuk dalam Daftar Situs Purbakala Nusantara. (2) Pantai Celong, wilayah Desa Mangunsari, Kec. Banyuputih (hanya beberapa meter dari Stasiun KA Plabuhan), terdapat sebuah teluk yang menurut ukuran abad VII sangat strategis. Teluk itu tidak terlalu luas, berkedalaman sedang, terlindung oleh pebukitan pantai yang berpepohonan rapat dan lebat. Kapal-kapal yang singgah di teluk Celong akan tersembunyi dari pengamatan pihak lain yang berkepentingan. Nah, menurut sejarah tutur yang mendekati kebenaran ilmiah, di pantai itulah Syailendra (nenek moyang Balaputradewa, kelak menjadi raja Kerajaan Sriwijaya) dan pasukannya mendaratkan perahu-perahunya, selanjutnya melakukan perjalanan darat menuju Dieng (pusat pemujaan masa kerajaan Mataram Hindu dengan rajanya dari Wangsa Sanjaya). Perjalanan Syailendra itu menjadi penting karena dari keturunannyalah lahir raja-raja Wangsa Syailendra, satu diantaranya yang terkenal adalah Samaratungga, penggagas pendirian candi Buddha terbesar di dunia, Sambhara Budhara (yang kemudian terkenal dengan nama Borobudur). (3) Alas Roban. Alas Roban bukan hutan biasa, namun rumah bagi hampir semua spesies binatang tropis yang hidup di Tanah Jawa. Letaknya juga sangat strategis, di pertengahan pulau bagian utara jika ditarik garis lurus dari titik Merak (Banten) dan Banyuwangi (Jawa Timur). Pada jaman dahulu Alas Roban menjadi jalan lintas darat penting antara Bang Kulon (Banten, Jayakarta, Pasundan, Galuh, Cirebon, dan Sebayu) dan Bang Wetan (Asem Arang, Demak, Kudus, Mataram, Surabaya, dan Madura hingga Bali). Pertambahan penduduk disertai pemahaman pelestarian lingkungan yang rendah menyebabkan kawasan Alas Roban secara lambat namun pasti rusak karena penebangan kayu dan perburuan liar. Tahun 1960-an para penumpang kereta api dari arah barat (Batang, Pekalongan) yang memasuki kawasan Alas Roban mulai Stasiun KA Kuripan hingga Krengseng (Gringsing) masih takjub dengan rerimbunan pohon hutan di sepanjang sisi rel kereta api. Gemericik air laut yang menerpa sisi utara rel kereta api terdengar jelas bersiutan dengan suara dahan-dahan pohon yang digoyang angin. Dilihat dari kejauhan kereta seperti sedang menyusuri jalan di dalam goa panjang berdinding pepohonan yang lebat. Namun kini, areal tersebut sudah berubah menjadi pemukiman dan persawahan. (Bersambung) Sugito H

No comments: