Pemberontakan Sutawijaya [2]

Abstrak
Dua sejoli yang sedang dimabok cinta, sepertinya dunia itu hanya miliknya, bahaya yang mengancam pun tak dihiraukan kata pepatah “Andaka angungas sari ton wrin baya ‘ , pepatah ini ditujukan terhadap orangorang yang sedang asyik masyuk dalam bercinta, mereka lupa bahwa di kanan kirinya bahaya mengancam dirinya.
Kisah kasih di Kaputrèn Pajang
Dewi Murteningrum kemudian menggapai tangan Raden Pabelan yang memberi hormat pada sang putri Sekar Kedaton itu. Dalam aturan yang berlaku di Keraton, tak seorangpun dari luar puri yang tidak mendapatkan ijin masuk, tidak akan berani menginjakkan kaki di halaman puri kaputren. Karena bisa mendapatkan hukuman mati.
Dalam hati Raden Pabelan juga masih was-was, tetapi karena sang putri Sekar Kedaton sudah memegang tangan nya, ini sebagai pertanda mendapatkan ijin untuk masuk ke dalam kaputren.
Sang putri Sekar Kedaton mengajaknya masuk ke bangsal kaputren, karena di luar bisa diketahui oleh penjaga. Raden Pabelan berjalan di belakang tuan putri, karena masih kikuk dan juga takut salah melanggar etika  dalam keraton, tetapi sang retna justru menarik tangan kanan raden Pabelan. Keduanya berjalan seiring, sambil membicarakan awal perkenalan, sesekali ada tawa kecil (jalan cerita, dialog dipersingkat).
Kemudian memasuki kamar sang putri, dan pintu pun ditutup. Sang putri mempersilakan duduk. Raden Pabelan kemudian berkata dengan suara yang pelan; “hamba merasa berdebar-debar tuan putri, mohon ampun”. Dengan menunduk malu sang putri mempersilakan raden Pabelan untuk masuk kedalam puri kaputren.
Sang putri terobati sudah, selama ini yang dinanti-nantikan sudah ada di hadapannya. Keduanya terdiam beberapa saat, tak satu katapun keluar dari mulutnya, bingung bercampur gugup, karena baru pertama kali. Meski dalam surat menyurat, sudah berkali-kali berbicara macam-macam, namun ketika berhadapan langsung, serasa mati kutu.
Orang-orang yang ada di dalam puri kaputren sudah tidur semua, adapun sang retna Murtèningrum, karena sejak pagi sudah memberi surat pada Raden Pabelan, maka ia siap menanti kedatangannya, tidak ada rasa kantuk, bahkan badannya menjadi semakin bugar karena semangat untuk bertemu dengan orang yang didambakannya. “ boten nedya awak ulun, kamipurun sang Kusuma ayu, mirah kawula ratu Mas, kang abdi ngèstupada ingaras kusumaningrum “(bukan maksud hamba tuan putri untuk kurangajar pada tuan putri, hamba menghaturkan sembah dan ingin mencium kaki paduka).
Raden Pabelan meluncurkan rayuannya seraya mendekap pergelangan kaki sang putri dan akan mencium punggung kakinya. Tetapi sang Retna mencegah Raden Pabelan melakukan sembah layaknya seorang hamba mencium kaki sang putri Raja.
Pertemuan malam itu menjadi semakin akrab, dan Pabelan semakin berani memegang tangan tuan putri dan mencium punggung tangannya, kemudian memandangi wajah sang putri sambil bertanya “tuan putri, sekitar ini ada yang tahu apa tidak, hamba berada di dalam kaputren ini? “
Tuan putri tidak menjawab, tetapi mencubit paha raden Pabelan. Raden Pabelan dalam hal membaca pikiran wanita sudah lebih berpengalaman, melihat gelagat tuan putri yang sudah semakin berani, ini memberikan sinyal sang retna sudah menyerah.
Segera sang putri, dirangkul dan dipondong ke dalam krobongan, sambil menciumi wajah, kening, leher juga telinga. Begitulah kedua orang yang sedang dimabok cinta melepaskan kerinduannya.
Untuk sang retna dyah ayu Murtèningrum, memang belum pernah disentuh oleh seorang pria. Maka saat Raden Pabelan itu mencium pada bagian terpenting yang dapat membangkitkan libido, ia mulai merintih dan semakin tak terkendali, bagaikan harimau yang kelaparan, tanpa basa basi lagi, sang putri menyambut hangat serangan raden Pabelan.
Satu persatu penutup tubuh sang putri dilepas dari tempatnya, kini keduanya bak Adam dan Hawa yang masih di dalam Surga, datanpa slintru, padhang anrawang . Usia sang putri sudah 30 tahun, sudah matang dan dewasa, meski belum berpengalaman , tetapi training sesaat saja sudah bisa melakukan dengan sempurna.
Dalam arena pergumulan cinta sudah tidak nampak lagi batas etika. Disitulah manusia menunjukkan hak azasinya yang paling tinggi dengan kebebasan yang se bebas-bebasnya.Tidak ada aturan yang bisa menghentikannya, tidak ada sebuah perintah yang mampu membatalkan tindakannya.
Kedua orang itu sudah sama-sama memegang prisip kebebasan mutlak. Dunia seakan hilang dari pandangan matanya, agaknya yang hidup di dunia hanyalah mereka berdua. Bahkan jika ada orang lain yang memperhatikan pun tidak digubris lagi. Dunia ada di dalam genggaman tangannya.
Begitulah yang sedang melakukan ‘andon asmara’ mengadu kepandaian dan kemampuan, saling memukul dan menangkis. Sesekali mengeluarkan jurus yang dahsyat. Desahan nafas yang keluar serasa menaiki tangga sebuah gedung bertingkat sembilan. Keringat yang keluar dari pori-pori semakin deras karena mendekati puncak energi, keduanya mengeluarkan jurus pamungkasnya dan bagaikan dentuman air pasang yang menghantam pantai, byur, dan keduanya tergeletak tak berdaya.
Mata terasa penat, kepala terasa pusing berputar, deru nafas yang menggelegak menjadi berangsur-angsur mereda dan semakin halus, pandangan mata menjadi kabur, suara semakin menjauh dan menghilang. Keduanya tertidur pulas berpelukan.
Pagi harinya, keduanya sudah membersihkan dirinya, dengan wewangian khas keraton, kedua duduk bercengkerama, sambil tertawa kecil, kemudian raden Pabelan merajuk pada sang retna; “tuan putri, jika punya anak kira-kira kalau lahir laki-laki seperti aku nggantengnya “. “ sira aja gumampang, apa becik panemuné, manira dereng uninga, kang kadya ambek dika, dereng-dereng ambek sunu, wekasan ngrusak trah!“(jangan menyepelekan, apakah pendapat andika itu benar, aku belum mengetahuinya, belum-belum sudah mikir anak, tetapi akhirnya nanti merusak keturunan).
trahing larang puniku, datan karuwan ajiné, nora bisa milangana, Yen lamun ton leresa pasthi tinuku ing lampus “(tuanku jika transaksi itu tak bisa dinilai harganya, andaika tidak benarpun, pasti akan dibeli dengan nyawa).
Kemudian sang putri mencubit dadanya, kemudian lanjutnya, “ kang-ora-ora pinikir, manira korban awèha, lamun dinukan sang Katong nyuwun ngapura, korban silèh tégaa ‘(jangan berpikir yang tidak-tidak, aku tentu tidak rela meski dimarahi sang Prabu, aku mintakan pengampunan, kakang tentu aku tidak tega).
Raden Pabelan kemudian merangkul sang retna dan segera dibopong masuk kedalam kamar pinasri. Sehari semalam Sang Pabelan tidak ingat pulang kerumah, demikian sang putri tidak ingat apa yang terjadi di luar kamar. Sang putri tidak ingin keluar kamar, bagaikan orang yang sedang kelaparan, maka belum terpuaskan juga keinginannya. Bak orang makan, selalu ingin tambah, meskipun berkali-kali, namun tidak ada rasa kenyangnya.
Malam harinya sang retna mendekati Raden Pabelan; “ lah kakang, kados punapa lamun awèta mangkéné, becik kakang amantuka matur marang paman Tumenggung, acaosa ing sang prabu, anyuwuna ing manira “(kanda, betapapun kanda disini sebaiknya pulanglah dahulu, kanda minta pada Paman Tumenggung untuk memberitahu ayahanda Prabu, melamar diriku).
nadyan angger kajambara, kanjeng Sultan dhatenga dukané, kawula korban sélaka, nadyan pejah gesanga, saking kawratan sihing rum , tan ajrih kawula pejah “(meski hamba ini ketahuan kanjeng Sultan dan mendapatkan amarahnya, semuanya aku terima, tidak akan berkilah, karena demi cintaku dinda, aku tidak takut mati).
kakang sampun lami-lami andika ing puri, Manawi wonten kang anon , nadyan kathah kang uninga, Yen sang Prabu sampun lila tan kuwatir manahingsun, nanging sun wangeni sapasar nunten balia, aja lawas-lawas Bae, datan wandé kula pejah Yen pisah lawan andika “(kakang sebaiknya jangan terlalu lama disini, nanti kalau ada yang tahu, meski banyak yang tahu kalau sudah diijinkan oleh ayahanda Prabu, hatiku tidak akan khawatir lagi).
Kemudian Raden Pabelan merangkul sang putri dan menciuminya, “ pun kakang amulih Gusti, angger mangke wayah ngisa “(aku akan pulang yayi, tetapi setelah waktu isa ‘) .
kakang, wayah bakda ngisa, lah kakang dipun enggal “(kakang jangan menunggu setelah waktu Isa ‘, segeralah kakang).
Kemudian raden Pabelan bergegas meninggalkan kaputren. Kemudian segera lari mendekat Baluwerti kaputren, dan  selalu ingat akan pesan orang tuanya, cara untuk keluar dari pagar kaputren tanpa harus melompati tembok Baluwerti yang tinggi itu.
Kemudian segera membaca materanya, ilmu yang diberikan oleh Tumenggung Mayang kepada putranya, dan juga cara penggunaannya. Tetapi berkali-kali dicoba tetapi pagar Baluwarti tak bergeming. Padahal ketika masuk, tembok itu bisa terbuka, tetapi kini kebalikannya, bergeming saja tidak.
Berkali-kali Matera dibaca, tetapi berkali-kali pula tanpa hasil. Bergetar juga hati Raden Pabelan, ia merasa cemas, jangan-jangan ketahuan oleh penjaga. Kalau ini terjadi maka tamatlah riwayatnya. Katanya dalam hati; “ lamun ingsun angemasi iki wus dadi takdiring Ywang, pati kang Prayoga, ananging barenga sang putri sekaring pura “(kalau aku mati, itu sudah menjadi takdirku, tetapi aku tidak mati sendiri, harus bersama sekaring kedaton).
Raden Pabelan kemudian berlari lagi kedalam bangsal kaputren, sang retna masih belum tidur. Pabelan segera masuk kamar tidur sang putri dan mendekati. Sang retna menyapanya; “ kakang yagéné bali “(kanda mengapa kembali lagi).
dhuh gusti mirah ingwang, tan sageda tilar gusti putri pisah lan andika, tansah cumanthèl jroning nala yayi “(dinda pujaanku, aku tak bisa meninggalkanmu, hatiku telah tertambat) , tukas raden Pabelan menutupi kebohongannya.
Tangan raden Pabelan segera ditarik kedadanya, kemudian keduanya duduk bersanding sambil mengungkapkan perasaannya, sesekali tertawa riang, dan akhirnya keduanya asyik masyuk di arena lautan asmara.
Emban Soka yang berkali-kali mengetuk pintu bangsal kaputren, tetap tidak dibukakannya. Beberapa emban menjaga di depan pintu, mungkin ada sesuatu di dalam kamar sang retna, mengapa berkali-kali diketuk tidak dibuka pintu. “ Dene njeng ratu Mas apan wus tigang dina apan iya nora mijil, jro pagulingan ana swaraning jalmi “(mengapa gusti putri sudah tiga hari ini tidak keluar kamar, tetapi kami mendengar bahwa dikamar sang retna ada suara lain).
Emban satunya berbisik; “ iki kaya ana swaraning wong lanang, swarané pating kalesik, apagujengan, payo den intip “(ini seperti ada suara pria, mereka bercanda , mari kita intip).
Para emban kemudian mendekat di sebelah kanan dan kiri krobongan san Putri, dan mencari cara untuk bisa melihat apa yang sedang terjadi di dalam kaputren.
Raden Pabelan memegang kedua tangan sang putri, kedua matanya ditatap dalam-dalam, seraya berkata; “ manira anedha janji dhateng ratumas, kados pundi ing karsi, boten sandé kawenangan ing njeng Sultan, kawula den pejahi mring ramanta Sultan “(dinda pujaan hatiku, aku minta pertimbangan darimu, bagaimana kehendak diajeng nanti, karena tak ayal lagi juga akan ketahuan oleh sang Prabu, da tentu aku akan menerima hukuman mati).
Sang retna menjawab pelan; “lara pati sun bélani, korban tégaa kakang kula labuhi ‘(sakit hingga kematian yang memisahkan kita, akupun juga tidak akan sampai hati meninggalkan kanda, apapun resiko aku akan hadapi).
Para emban yang ada di luar bangsal kaputren, melihat semua kejadian itu dan juga mendengar apa yang mereka bicarakan. Sebagai pamomong para emban memiliki tugas dan kuwajiban untuk menjaga keamanan tuan putrinya, apapun yang terjadi di dalam kaputren harus dilaporkan pada sang raja, bila tidak melaporkan maka sebagai gantinya para emban akan menerima hukuman mati, termasuk seluruh keluarganya.
Para emban juga menyadari seandainya anaknya mendapat pasangan seperti raden Pabelan memang tidak akan menolaknya. Tetapi kali ini masalahnya lain, mereka kini sedang melaksanakan tugas memelihara, mengawasi asuhannya. Sehingga tidak bisa terjadi sebuah kelalaian. Apalagi ada maling aguna yang berani masuk ke dalam kaputren, ini bisa mendapat hukuman yang berat karena lalai tidak memberitahukan pada penjaga kaputren, ataupun kepada Sentana dalem.
Tanpa pikir panjang dan melakukan kordinasi terlebih dahulu dengan emban senior, emban Inya, langsung lari, menuju kedaton melaporkan kepada Sang Prabu.
[ada lanjutannya]
sumber; Babad Demak, GPH. Buminata, 1937
create; ki Sastra

Sastraadiguna

No comments: