Sejarah Kedatangan Islam di Benua Hitam
Perjumpaan pertama masyarakat benua Afrika dengan ajaran Islam dapat di telisik dari tulisan Ibnu Ishaq[1]hijrah.[2] Seorang sahabat,[3] Ja’far
bin Abi Thalib, menjelaskan sedikit ajaran Islam pada raja Negus,
penguasa kekaisaran Kristen Axum tentang persamaan ajaran Kristen
Monophysit dengan ajaran Islam, termasuk didalamnya komentar Qur’an
tentang kerasulan Yesus dan kesucian Bunda Maria yang mirip dengan
paparan Injil Yohanes, Alkitab Perjanjian Baru. tentang peristiwa [4]
Walaupun misi hijrah sebenarnya adalah usaha umat muslim pertama untuk
mencari suaka politik, -dan bersifat sementara, namun setidaknya inilah
titik awal perjumpaan Islam dengan masyarakat Afrika, lebih tepatnya
masyarakat Kristen Nestor Ethiopia,[5] di Tanjung Afrika.
Bila di wilayah
Kristen Nestor Ethiopia, Islam bertemu dengan jalan damai dan penuh
wajah toleran. Maka lain halnya dengan perjumpaan Islam di wilayah
Kristen Koptik Mesir,[6] proses penyebaran ajaran Islam di Mesir[7] terjadi setelah penaklukan militer oleh bangsa Arab yang di pimpin oleh Amr bin Ash (642 M), gubernur atau emir wilayah Palestina, di masa pemerintahan Umar bin Khattab (644 M)[8].
Islam cepat tersebar di Mesir sebagai akibat dari proses arabisasi
Afrika Utara yang juga terjadi secara bersamaan. Kondisi ini menjadi
faktor utama kaum Muslim hingga menjadi penduduk mayoritas di Mesir
Koptik pada pertengahan abad ke-10, akulturasi budaya yang sangat cepat
antara Mesir Koptik dengan kultur Arab sebagai identitas kebudayaan
baru, di kemudian hari menggantikan kebudayaan kultur Koptik dan
penggunaan bahasa Yunani Alexandrian dengan budaya dan bahasa Arab
sebagai sole vernacular[9]
(jaringan system sosial baru sebagai urat nadi kultur universal
masyarakatnya). Sekalipun demikian, pertemuan antara Islam dan Kristen
Koptik sempat terjadi dalam ruang sosiokultural, -bahkan terjadi sebelum
penaklukan Mesir oleh Amr bin Ash, yakni sesaat setelah penaklukkan
Mekkah (Fathu Makkah), Nabi menerima seorang budak wanita Koptik Mesir bernama Maria binti Syam’un al-Qibtiya al-Mishriyah[10] -yang kemudian beliau jadikan istri- dari Juraij ibn Miyna al Muqauqis,[11] gubernur kekaisaran Byzantium di Alexandria, Mesir.
Menariknya,
kemenangan pasukan Islam di Mesir Koptik justru memberikan ruang
kebebasan beragama bagi umat Kristiani, sehingga mereka dapat memanggil
kembali para patriarch Monophysit untuk memimpin mereka dalam
liturgy dan ekaristi Gerejani Iskandariah Mesir (sebelumnya ajaran
Monophysit di pandang sebagai bid’ah penyimpangan ajaran Kristiani oleh para patriarch Kristen Ortodoks Timur di Byzantium pada Konsili Kalsedon pada 451 M sebab memandang Yesus Kristus, “sebagai inkarnasi kudus Allah Putra atau Firman/Logos dari Allah Bapa, yang hanya memiliki satu sisi “personae/pribadi,”
entah itu ketuhanan sepenuhnya atau sintesis dari ketuhanan dan
kemanusiaan sepenuhnya). Amr bin Ash dan armada pasukan muslim hanya
melepaskan kendali politik Byzantium atas Mesir Koptik, pada akhirnya
kota Iskandariah justru menjadi kota dengan komunitas religius yang jauh
lebih heterogen dan lebih toleran dari pada saat kota Iskandariah
berada dalam pengawasan Byzantium.[12]
Mesir
Koptik benar-benar lepas secara politik dari kendali Byzantium tepat
saat pasukan muslim pimpinan Abdullah Ibn Sa’ad menginvasi Tunisia dari
tahun 647-648 M,[13]
dan kemudian di lanjutkan oleh jenderal muslim Uqba Ibn Nafi pada tahun
670 M, 2 tahun setelahnya (672 M) Uqbah Ibn Nafi mendirikan kota
Qairawan / Kairouan di Tunisia[14]
dan membangun Masjid Besar Qairawan atau di kenal sebagai Masjid Uqba,
salah satu dari jajaran masjid tertua di awal kedatangan Islam di
Afrika.[15]
Qairawan berperan sebagai pusat administrasi militer di kawasan Afrika
Utara setelah Damaskus di Syiria, dan membentang di sepanjang wilayah
Libya Barat, Tunisia, dan Aljazair Timur.[16]
Usaha penaklukkan Afrika Utara dilanjutkan oleh Zuheir akibat Uqba Ibn
Nafi terbunuh oleh gabungan pasukan Romawi-Berber pada pertempuran
Biskra, wilayah pesisir Tunisia Utara hari ini, pada tahun 682 M.
Oleh karena itu pada masa khalifah ke-5
era bani Umayyah, Abdul Malik Ibn Marwan pada tahun 689 M melihat
sebagian besar Afrika Utara telah ditaklukkan oleh pasukan Berber muslim
dan sepenuhnya lepas dari kontrol Bizantium, sehingga dibagilah Afrika
Utara menjadi tiga propinsi emirat yaitu; Mesir Koptik dengan ibukota
emiratnya di al-Fustat; Ifriqiya[17] atau Tunisia dengan ibukota emiratnya di Qairawan/Kairouan dengan Musa Ibn Nusayr sebagai emir,
dan Maghribi –Maroko saat ini, dengan ibukota emiratnya di Tangiers.
Kemudian, Musa Ibn Nusayr menggunakan cara persuasive dalam
memperkenalkan Islam pada bangsa Berber di Afrika Utara, ia mencoba
lebih toleran dan menghormati kebudayaan animis bangsa Berber serta
melakukan upaya diplomatic untuk meyakinkan bangsa Berber bahwa
kedatangan bangsa Arab bukan untuk menghancurkan mereka, melainkan untuk
melepaskan mereka dari cengkeraman Bizantium, seperti halnya Tunisia.
Upaya Musa Ibn Nusayr berhasil dan menyebabkan separuh populasi etnis
Berber di Afrika Utara masuk Islam, bahkan sebagian besar dari mereka
menjadi pejabat public emirat Ifriqiya di ibukota Qairawan tanpa harus
melepaskan keyakinan tradisinya. Tidak hanya itu, mayoritas armada
militer suku Berber memilih untuk bergabung dengan pasukan militer
emirat Ifriqiya, Tunisia.[18]
Kehebatan dan kepopuleran pasukan Berber di kawasan Afrika Utara dan
keunggulan mereka didepan pasukan Byzantium, menyebabkan Tariq Ibn Ziad[19]
(pemimpin kabilah Berber Zenata) dan pasukannya terus dipergunakan oleh
kekhalifahan Umayyah dalam upaya penaklukkan Al-Andalusia, Spanyol pada
tahun 711 M.
Belum pernah
ada sebelumnya penakluk suku Berber di Afrika Utara semacam Musa Ibn
Nusayr yang berupaya berasimilasi dan berakulturasi dengan adat dan
kultur animisme dinamisme mereka. Akibatnya ajaran Islam sukses
berkembang dan banyak di peluk di kawasan Libya pesisir, Afrika Utara,
dan bila tidak dengan bantuan mereka, mustahil Andalusia Spanyol dapat
bergabung dalam kekhalifahan Umayyah. Pada awalnya hanya suku-suku
Berber di pesisir Libya, Afrika Utara, yang bergabung dan memeluk ajaran
Islam, tetapi kemudian penetrasi ajaran Islam menyebar jauh hingga
pedalaman gurun Sahara.[20]
Proses masuknya
Islam ke Afrika Utara sempat terhenti pada tahun 680 M, akibat
terbunuhnya cucu Nabi, Husein Ibn Ali dalam peristiwa Karbala,[21] yang mengakibatkan pemberontakan sipil disekitar wilayah Arab dan Syiria, antara pendukung ahlul bait (kelak menjadi kelompok Syi’ah) dan pendukung status quo
dari penerus monarkhi Umayyah, Yazid Ibn Muawiyah Ibn Abu Sufyan.
Pemberontakan sipil terhadap kekhalifahan Umayyah ini mengakibatkan 4
kali pergantian khalifah dalam kurun waktu lebih kurang dari 5 tahun
antara tahun 685 M (tahun meninggalnya khalifah Muawiyah Ibn Abu Sufyan)
hingga pada tahun naiknya khalifah bani Umayyah ke-5, Abdul Malik Ibn
Marwan (Al Walid I) pada 685 M, sekalipun pemberontokan kelompok
minoritas Syi’ah belum mereda sepenuhnya hingga tahun 692 M[22] saat pemimpin ke-4 Syi’ah, Imam Ali Ibn Husein (Imam Zainal Abidin)[23] terbunuh oleh racun Hisham Ibn Abd Malik atas instruksi khalifah Al Walid I.
Terlepas dari
pergerakan Syi’ah di jantung kota kekhalifahan Umayyah, umumnya
konsensus sejarawan Eropa memandang bahwa penaklukkan Afrika Utara oleh
kekhalifahan Umar hingga kepemimpinan bani Umayyah dari tahun 647 M
hingga 709 M telah sepenuhnya mengakhiri dominasi Katholikisme di Afrika
untuk beberapa abad sesudahnya.[24] Akan tetapi, tidak semua sejarawan berpendapat demikian, justru belakangan ini muncul bukti baru tentang keadaan sosial riil
di Afrika Utara kala itu, detail nuansa keberagamaan masyarakatnya yang
lebih toleran –masih aktifnya ritus ziarah ke makam santo-santo
Katholik diluar wilayah Kartago hingga tahun 850 M; dan bukti masih
adanya komunikasi dan interaksi dengan gereja Katholik di Andalusia
Spanyol; serta adanya bukti tambahan bahwa saat Gereja Katholik Roma (Rome patriarch)
melakukan reformasi kalender Gregorian dan diadopsi oleh seluruh negara
Eropa, di saat yang sama pemeluk Kristen Monphysit di Afrika Utara
tidak menerapkan system kalender yang telah di rubah akibat tiadanya
kontak dengan keuskupan Roma (Italia), dan beberapa penyebab sosial
mengapa masyarakat Kristen Afrika beralih memeluk Islam.[25]
Selama masa
kepemimpinan khalifah ke-6 Umayyah, Umar II, emir Ifriqiya yang
selanjutnya, Ismail Ibn Abdullah, dikabarkan telah “menaklukkan” bangsa
Berber dengan memberlakukan administrasi yang cenderung longgar dan
toleran, serta akibat dari para penyebar awal ajaran Islam pada
masyarakat suku Berber, termasuk salah satu di antara mereka adalah
Abdullah Ibn Yasin yang sukses membuat ribuan bangsa Berber memeluk
Islam.[26]
Di bagian lain benua Afrika,
khususnya Tanjung Afrika, sejarah munculnya kontak perdagangan dan
intelektual antara penduduk asli daerah pesisir Somalia dengan Jazirah
Arab mungkin bisa menjelaskan sejarah pertemuan ajaran Nabi dengan
penduduk asli Somalia. Sebagaimana dipaparkan pada paragraf pertama pada
bab ini, kaum Muslim awal yang berhijrah ke kekaisaran Kristen Axum di
Ethiopia, pertama kali berlabuh di pelabuhan dekat kota pantai Zeila
yang berlokasi di bagian utara Somalia demi mencari suaka politik atau
perlindungan dari suku Quraisy. Beberapa orang dalam rombongan hijrah yang pertama tersebut diberitakan, “mendapatkan
perlindungan dan diizinkan untuk menetap di beberapa tempat sepanjang
wilayah pesisir Tanjung Afrika (Somalia Utara) untuk memperkenalkan
ajaran Islam pada penduduk setempat.”[27] Kemenangan Muslim atas suku Quraisy pada abad ke-7 dalam peristiwa Fathu Makkah
berdampak signifikan pada para pedagang dan pelaut local di wilayah
pesisir utara Somalia, -sebagaimana mereka sejak masa lalu telah menjadi
partner perdagangan bangsa Arab, logis bila kondisi ini kemudian
mempengaruhi mereka untuk memeluk Islam.
Sampai beberapa
abad selanjutnya, perdagangan di kawasan Laut Merah dan Laut
Mediterania berada di bawah pengaruh kekhalifahan Islam untuk waktu
lama. Melalui jalur perdaganlah, ajaran Islam tersebar ke Somalia
khususnya di sepanjang kota yang berada di pesisir. Dikemudian hari,
saat terjadi instabilitas politik-sosial di Jazirah Arab, terjadi
gelombang migrasi keluarga-keluarga Muslim awal (keluarga bani
Alawiyyin, para pendukung ahlul bait – pengikut Ali) ke wilayah
pesisir Somalia. Kedatangan kabilah-kabilah ini menjadi puncak katalis
kedatangan bangsa Arab, dan menjadi era percepatan penyebaran Islam di
Tanjung Utara Afrika.[28]
Pada akhir abad ke-8, (era 800-an M), sejarawan muslim Umayyah, Al
Ya’qubi menulis bahwa keluarga-keluarga Muslim memiliki tempat tinggal
tetap di sepanjang kota pelabuhan di pesisir utara Somalia.[29] Ya’qubi melanjutkan, bahwa terdapat kesultanan Adal dengan ibukotanya di Zeila, kota pelabuhan Somalia,[30]
yang menegaskan bahwa setidaknya di awal abad ke-9 M hingga abad ke-10 M
telah terdapat kesultanan Adal Islam di Somalia dengan Zeila sebagai
ibukota perbentengannya. Menurut Lewis, pemerintahan Adal di pegang oleh
dinasti local yang terdiri dari bangsa campuran Arab-Somalia, serupa
dengan pola pemerintahan kesultanan Islam Mogadishu di Benadir, wilayah
selatan Somalia. Sejarah kesultanan Adal diliputi oleh perebutan suksesi
politik dan militer dengan tetangganya kekaisaran Kristen Ethiopia[31] pada abad ke-14 M hingga abad ke-16 M atau di era penjelajahan (exploration age).[32]
Catatan Kaki
[1] Bernama asli Muhammad Ibnu Ishaq, penulis sejarah awal kenabian berjudul al-Sirat al-Nabawiyat
yang di susun pada masa Bani Umayyah. Tulisannya menjadi referensi
pertama dan tertua yang diketahui memiliki kadar objektifitas tinggi
untuk sumber otoritatif sejarah pembawa risalah Islam, Nabi Muhammad
SAW.
[2]
Peristiwa hijrah yang pertama terjadi pada tahun 614-615 M atau bulan
Rajab 7 H, dalam dua gelombang caravan yang totalnya lebih dari ribuan
orang. Gelombang pertama di pimpin oleh Utsman bin Mas’un dan sangat
sedikit, hanya berjumlah 15 orang yang terdiri dari 11 pria dan 4
wanita. Ustman ibn Affan dan Ruqayyah ikut pula dalam rombongan ini.
Peristiwa ini pula di kenal sebagai peristiwa Hujurat al-Habasyi (Migrasi
ke Habasyah/Ethiopia). Saat itu, Ethiopia di kendalikan oleh kekaisaran
Kristen Axum yang beraliran Monophysit Nestorian dan dipimpin oleh,
-menurut kronik Islam tradisional, Ashama ibn Abjar atau Raja Negus al
Najashi yang beragama Kristen. Rombongan pertama ini disambut hangat di
kekaisaran Axum dan di lindungi oleh Negus hingga mereka kembali. (lihat
Ibn Ishaq, al-Sirat al-Nabawiyat, hlm. 45)
[3] Sebutan pada kawan-kawan terdekat Nabi Muhammad SAW yang mengikuti ajaran beliau dan hidup sezaman dengan beliau.
[4] Masih merujuk pada tulisan Ibnu Ishaq, “setelah raja Negus mendengarkan pemaparan Ja’far. Ia menangis, dan berkata, “apa yang kau ceritakan tentang Yesus adalah benar dan seperti itu yang kami ketahui, tidak kurang atau pun lebih,”
kemudian raja Negus mengizinkan umat muslim yang hijrah ke kekaisaran
Axum untuk bertempat tinggal di mana saja mereka suka, di lindungi dan
bebas dari tekanan suku Quraisy yang memaksa Negus agar mereka segera di
deportasi ke Mekkah.” (Ibnu Ishaq, Ibid)
[5] Sebagai bukti, sejak sebelum era kerajaan Axum, ajaran Kristiani di bawa dan disebarkan oleh St. Lalibela (bernama lengkap Saint Gebre Mesqel Lalibela) pengikut ajaran St. Nestorius, seorang patriarch dari Konstantinopel yang kemudian juga menyebabkan lahirnya aliran schisma antitesa namun masih di pengaruhi olehnya, yakni aliran Monophisit. St. Lalibela sendiri memadukan faham dyophysitisme nestorianisme dengan ajaran euthychianisme tentang sintesis Logos dengan kemanusiaan Yesus, memandang figus historis Yesus Kristus memiliki dua sisi personae yang berbeda yaitu, Yesus yang memiliki sisi persona kemanusiaan sepenuhnya berbeda dengan Yesus yang memiliki sisi persona ketuhanan sepenuhnya. Namun ajaran nestorianisme dan euthychianisme dikategorikan sebagi bid’ah pada Konsili Ephesus pada tahun 431 M. Akan tetapi sebagian ajaran nestorianisme kemudian di golongkan sebagai cabang kateskismus keyakinan Kristiani Afrika yang unik kedalam ortodoks oriental- monophysit.
Sebagai bukti kuat adanya penyebaran ajaran Kristen Nestor di Afrika,
di dataran tinggi Kush, masih terdapat sebuah kompleks biara dan gereja
yang terbuat dari batu utuh, yakni Geraja St. Lalibela (Church of St.
Lalibela).
[6]
Di sebut Kristen Koptik Mesir, sebab bentuk katekismus atau ritus
peribadatan Kristiani di Mesir saat itu mengikuti ordo Monophisit yang
berpusat pada patriarch Alexandria/Iskandariah. Ordo ini masih dipengaruhi ajaran unitarianisme Arius dan menggabungkan sebagian ajaran Nestorius teolog yang membahas tentang skema inkarnasi logos. (Lihat Karen Armstrong, A History of God, hlm.56)
[7] Kadangkala di sebut islamisasi penduduk Koptik Mesir menurut sejarawan Eropa, diantaranya sejarawan Clive Holes, dalam Modern Arabic: structures, functions and varieties (Georgetown University Press, hlm.29)
[8] Khalifah ke-3 periode Khulafa’urrasyidun, menggantikan khalifah ke-2, Utsman Ibn Affan.
[9] Cliver Holer Modern Arabic: structures, functions, and varieties, Georgetown University Press, 2004, ISBN 978-1-58901-022-2, M1 Google Print, hlm. 29
[10]
Maria al-Qibtiyah dikenal sebagai perempuan cantik, berkulit putih
dengan rambut yang sedikit ikal. Nabi takjub pada kecantikannya itu
hingga akhirnya beliau memilih untuk menggauli Maria. Maria meninggal
pada bulan Muharram tahun 15 H. Jenazahnya di makamkan di pemakaman
Baqi’ (lihat Ibnu Katsir, al-Bidayat wa al-Nihayat, Jilid III,
hlm. 287-288). Dari hubungannya dengan Maria, Nabi memiliki anak bernama
Ibrahim yang meninggal di waktu kecil (lihat Jamal al-Banna, al-Ta’addudiyat fi Mujtama’ Islami, hlm.
341.) Bandingkan dengan Ghazali yang berpendapat perkawinan Nabi dengan
Maria hanya merupakan perjumpaan Islam dengan Kristen Koptik dalam
ranah cultural-politik (Muhammad al-Ghazali, Fiqh al-Sirat. Hlm.34)
[11]
Muqauqis, gubernur Alexandria Byzantium, tidak hanya menghadiahkan
Maria al-Qibtiya saja, tetapi juga budak wanita bernama Syirin (Nabi
menyerahkannya pada sahabat Hasan ibn Tsabit untuk diperistri), Mabur
(budak lelaki yang telah dikebiri), dan seekor bigal betina (peranakan
kuda dan keledai) bernama al-Duldul. (lihat Ibn Katsir, ibid)
[12] Lihat “Byzantine Empire - The successors of Heraclius: Islam and the Bulgars” (http:/ / www. britannica. com/ eb/ article-9239). Britannica. 2007.
[13] Lihat Jamil M. Abun-Nasr, A history of the Maghrib in the Islamic period, Cambridge University Press, 1987, hlm. 28
[14] Lihat Supratignyo, 2002, Sejarah Afrika, Jurusan Sejarah Fakultas Sastra. UM Malang. hlm. 8
[15] Lihat Linda Kay Davidson and David Martin Gitlitz, Pilgrimage : from the Ganges to Graceland : an encyclopedia, Volume 1, ABC-CLIO, 2002, hlm. 301-302 dan “Islamic world - Berbers” (http:/ / www. britannica. com/ ebc/ article-26922). Britannica. 2007.
[16] Edward Gibbon, History of the Decline and Fall of the Roman Empire, Adelaide Library. hlm. 51
[17]
Sebutan bani Umayyah atas Afrika Utara, pada saat yang sama (689 M) di
pilih Musa Ibn Nusayr sebagai emir di Tunisia, Afrika Utara, untuk
melanjutkan penaklukkan Afrika Utara, kepulauan Balearic dan Sardinia
oleh Al Walid I.
[18] Lihat Ibn Abd al-Hakam, Kitab Futuh Misr wa’l Maghrib wa’l Andalus. hlm.78-84
[19] Bernama asli Tariq bin Abd ‘Allah bin Wanamū al-Zanātī, ia
salah satu pemimpin utama dalam suku Berber Zenata, salah satu cabang
dari 4 suku utama enis Berber (Zenata, Walhas, Warfajhuma dan Nafza)
yang masuk Islam di kawasan Tripolitania, sebutan kekaisaran Byzantium
untuk daerah Libya Utara sekarang. Lihat Muhammad al-Idrisi, Kitab nuzhat al-mushtaq, Juz. 2, hlm. 17
[20] Lihat “Islamic world - Berbers” (http:/ / www. britannica. com/ ebc/ article-26922). Britannica. 2007.
[21] Peritiwa Karbala atau Maqtal al-Husayn
terjadi pada tahun 61 H (680 M) biasa dikenang umat muslim di seluruh
dunia sebagai pembantaian terkejam penguasa bani Umayyah pada anggota ahlul bait Nabi dan para sahabat Husein pada hari Ashura atau Suroan (menurut adat Islam Jawa) pada tanggal 10 bulan Muharram dalam kalender Hijriah.
[22] Ada yang berpendapat pada tahun 702 M, lihat Jafri, S.H Mohammad. “The Origin and Early Development of Shi’a Islam,”, Oxford University Press, 2002, hlm. 166
[23] Lihat Tabatabae (1979), Shi’ite Islam. Suny press hlm.203
[24]Lihat Hugh Goddard, “Christians and Muslims: from double standards to mutual understanding”, Routledge (UK), 1995 hlm. 125
[25] Diantara
sejarawan Eropa modern yang tidak sependapat tentang pandangan
tradisional Eropa atas sejarah Afrika adalah Sir Thomas Walker Arnold,
ia berpendapat, “…new scholarship has appeared
that provides more nuance and details of the conversion of the
Christian inhabitants to Islam. A Christian community is recorded in
1114 in Qal’a in central Algeria. There is also evidence of religious
pilgrimages till 850 AD to tombs of Catholic saints outside of the city
of Carthage, and evidence of religious contacts with Christians of Arab
Spain. In addition, calendar reforms adopted in Europe at this time were
disseminated amongst the indigenous Christians of Tunis, which would
have not been possible had there been an absence of contact with Rome.”
Lihat The preaching of Islam: a history of the propagation of the Muslim faith oleh Sir Thomas Walker Arnold, hlm.125-258
[26] Sir Thomas Walker Arnold, Ibid, hlm.125-258
[27] Lihat dalam artikel A Country Study: Somalia dari The Library of Congress hlm. 17
[28] Ibid. hlm. 20
[29] Encyclopedia Americana, Volume 25 (http:/ / books. google. ca/ books?id=OP5LAAAAMAAJ). Americana Corporation. 1965. hlm. 255.
[30] Lihat Encyclopedia Americana, Volume 25, ibid dan bandingkan dengan Lewis, I.M. (1955). Peoples of the Horn of Africa: Somali, Afar and Saho (http:/ / books. google. ca/ books?id=Cd0mAQAAMAAJ). International African Institute. hlm. 140.
[31] Lihat I.M. Lewis, A pastoral democracy: a study of pastoralism and politics among the Northern Somali of the Horn of Africa, (LIT Verlag Münster: 1999), hlm. 17
[32] Ibid. hlm.19
Yusufalesvaram
No comments:
Post a Comment