Abu Ja’far Al-Mansur: Pembangun Imperium Abbasiyah yang Sebenarnya
ABU Ja’far Al-Mansur adalah khalifah kedua Daulah Abbasiyah (754-775 M/137-159 H). Ia diangkat menjadi khalifah setelah saudaranya Abu Abbas al-Safah meninggal dunia pada tahun 136/754 M.
"Beliau dikenal sebagai seorang yang gagah perkasa, keras hati, kuat keimanan, bijaksana, cerdas, pemberani, teliti, disiplin, kuat beribadah dan sederhana," demikian disebut dalam buku "Teks Books, Sejarah dan Kebudayaan Islam" (IAIN Alaudin, 1981-1982).
Itu sebabnya tidak mengherankan, bila dikatakan ketika dia memikul jabatan khalifah , kekuatan Daulah Abbasiyah belum ada, tonggaknya masih goyah, kekuasaannya masih terancam. Akan tetapi setelah beliau memerintah selama 22 tahun, dia meninggalkan Daulah Abbasiyah dalam keadaan kokoh, mantap, megah dan agung serta memesona.
Itulah sebabnya di atas keberhasilan beliau membangun Daulah Abbasiyah dia disebut sebagai seorang pembangun Imperium Abbasiyah yang sebenarnya.
Abu Ja’far digelar dengan al-Mansur, artinya: yang memperoleh pertolongan Allah SWT karena dia selalu menang dalam menghadapi berbagai peperangan, baik ke dalam menghadapi pemberontak, maupun ke luar mengatasi serangan Byzantium.
Joesoef So’yb dalam bukunya berjudul "Sejarah Daulah Abbasiyah" (Jakarta: Bulan Bintang, 1977) memaparkan Abu Jafar al-Mansur mempunyai sikap yang mengagumkan, yaitu hidupnya yang sederhana. Jika kesederhanaannya tampak pada sepuluh tahun dari awal pemerintahannya yang disibukkan dengan perjuangan mengamankan dan menstabilkan pemerintahan, dapat dimaklumi.
Akan tetapi sekalipun beliau telah berhasil membangun Imperium Daulah Abbasiyah menjadi megah dan agung, tetapi dia tetap pada sikap sederhananya, hal ini merupakan sesuatu hal yang luar biasa.
"Dia mampu mempertahankan sikap sederhananya sekalipun dikelilingi oleh kemegahan dan keagungan," tulis Joesoef So'yb.
Langkah pertama yang dilakukan khalifah al-Mansur setelah diangkat menjadi khalifah adalah menciptakan stabilitas pemerintahannya. Sebab di atas pemerintahan yang stabil lah pembangunan dapat dilaksanakan. Untuk terciptanya stabilitas tersebut beliau menghadapi pemberontakan-pemberontakan dan kerusuhan-kerusuhan.
Pemberontakan Abdullah bin Ali
Salah satu pemberontakan itu adalah pemberontakan Abdullah bin Ali dan Shaleh bin Ali. Yusuf Rahman dalam bukunya berjudul "Sejarah Kebudayaan Islam" (Pekanbaru: IAIN Susqa, 1987) menceritakan pada waktu gerakan menumbangkan Daulah Umayyah digalakkan, Abdullah bin Ali dan Shaleh bin Ali diperintahkan Abu Abbas untuk menghadapi perlawanan khalifah Marwan II (khalifah terakhir Daulah Umayyah) yang sedang menuju ke Kufah bersama tentaranya yang berjumlah 120.000 orang.
Kedua pasukan itu bertemu dipinggir sungai Zab, anak sungai Tigris. Pasukan Abdullah bin Ali dan dibantu Shaleh bin Ali dapat menangkap dan membunuh Marwan II yang melarikan diri ke Mesir.228
Abu Abbas telah berjanji bahwa siapa yang mampu mematahkan perlawanan khalifah Marwan II, akan diangkat manjadi khalifah sepeninggalnya. Atas dasar janji itu, Abdullah bin Ali dan Shaleh bin Ali melakukan perlawanan membunuh Marwan II.
Namun kini janji itu dikhianati oleh Abu Abbas. Memang diakui bahwa andil Abdullah bin Ali dan Shaleh bin Ali dalam gerakan mendirikan Daulah Abbasiyah sangat besar, dibandingkan dengan Abu Ja’far al-Mansur yang mempunyai tugas memadamkan pemberontakan di Kufah.
Pada masa pemerintahan Abu Abbas, Abdullah bin Ali diangkat menjadi Raja Muda (gubernur) untuk wilayah Palestina dan Syria, dan Shaleh bin Ali menjadi gubernur wilayah Mesir dan Afrika Utara, sementara Abu Ja’far al-mansur tidak mendapat jabatan.
Di penghujung pemerintahan Abu Abbas (yang memerintah selama empat tahun, meninggal dalam usia muda karena serangan penyakit cacar), justru mengangkat Abu Jafar Al-mansur (saudaranya) sebagai Khalifah, bukan Abdullah bin Ali (pamannya).
Pengangkatan itu tampaknya didasarkan atas hubungan famili, lebih dekat dengan saudara dibanding paman, bukan atas pertimbangan jasa dan pengabdian. Maka wajar Abdullah bin Ali merasa dikhianati dan melakukan pemberontakan.
Taktik yang dilakukan Abu Ja’far al-Mansur dalam menghadapi serangan kedua pamannya adalah dengan mengadu kekuatan antara Abdullah bin Ali dan Shaleh bin Ali yang dikenal Singa Padang Pasir dengan Abu Muslim alKhurasani yang dikenal sebagai Jenderal yang beringas.
Abu Muslim diperintahkan khalifah al-Mansur untuk menghacurkan pemberontakan kedua pamannya itu. Abdullah bin Ali telah mengadakan pertemuan di Damaskus dengan mengundang tokoh-tokoh terkemuka dengan menyatakan kepada mereka bahwa dia telah dijanjikan Abu Abbas sebagai khalifah atas jasanya membunuh Marwan II, maka Palestina, Syria (wilayah kekuasannya ) dan Mesir, Afrika Utara (wilayah kekuasaan saudaranya, Shaleh bin Ali), menyatakan bai’at kepadanya dan menyusun kekuatan besar untuk melawan al-Mansur.
Di Nasibin, kedua pasukan itu bertemu. Abu Muslim menyatakan kedatangannya bukan untuk memerangi mereka, tetapi bertujuan ke tanah Palestina dan Syiria, karena dia diangkat menjadi wali daerah itu. Dengan taktik ini banyak pasukan Abdullah meninggalkan Nasibin kembali ke Palestina dan Syiria, karena untuk melindungi keluarga mereka yang tinggal di wilayah itu.
Sekalipun Abdullah meyakinkan mereka bahwa hal itu hanya taktik Abu Muslim belaka, mereka tetap pulang. Akibatnya pasukan Abdullah mengalami kekalahan dan beliau bersama saudaranya ditangkap dan dipenjarakan, dan pada akhirnya mati dalam penjara tujuh tahun kemudian. Kemudian pasukan Muslim kembali ke Khurasan. (*)
(mhy)
Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment