Kisah Tuanku Tambusai, Ulama Penghancur Benteng Belanda

Tuanku Tambusai diberi gelar pahlawan nasional pada 1995. Red: A.Syalaby Ichsan Tuanku Tambusai
Foto: rokanhulukab.go.id
Tuanku Tambusai
Melihat sepak terjang dan riwayat kehebatan Tuanku Tambusai , julukan "Harimau Padri dari Rokan" (De Padrische Tijger Va Rokan) yang diberikan oleh Belanda tidaklah berlebihan. Tokoh yang memiliki nama kecil Muhammad Saleh ini layak menyandang sebutan itu.

Kemenangan demi kemenangan yang berhasil dicapai oleh pejuang kelahiran Dalu-dalu, Nagari Tambusai, Rokan Hulu, Riau, 5 November 1784, ini benar-benar membuat Belanda terpukul.   

Kemampuan Tambusai  mengatur strategi perlawanan di medan perang membuat pasukan Belanda keteteran.Serangan demi serangan yang dilancarkan Belanda di utara Sumatra Barat terpaksa gagal. Belanda mesti meminta bantuan ke Batavia berkali-kali. 

Meski menerima kiriman pasukan dari Batavia yang sekarang Jakarta, kerugian material dari pihak Belanda tidak bisa terelakkan akibat perlawaan pejuang pribumi pimpinan Tambusai.

Benteng Belanda Fort Amerongen, sebagai basis kekuatan Belanda, ini berhasil dihancurkan. Padahal, benteng tersebut pusat pergerakan dan komunikasi Belanda di Sumatra Barat.

Tak terhenti di situ, kemenangan gemilang berhasil ditorehkan melalui semangat juang yang tinggi. Pasukan Tambusai sukses menyerang pos-pos militer Belanda di Tapanuli. Tepat pada 1835, para pejuang tersebut berhasil mengepung Belanda di Rau dan Lubuk Sikaping, Sumatra Barat, dan berhasil merampas sebagia senjata dari pihak Belanda.

Tidak hanya piawai mengatur siasat perang, Tambusai  dikenal pula sebagai ahli agama. Ia mendapat gelar tuanku karena kepakarannya dalam bidang agama.  Dengan gelar itu, ia ditugasi sebagai Panglima Padri di Rao. Ia termasuk satu dari empat padri yang berangkat ke Makkah pada 1820-an untuk belajar.   

Sebagai tokoh padri, penampilannya tak selalu dengan baju putih dan tidak pula memelihara janggut sebagaimana padri-padri lainnya. Ia merupakan ancaman yang cukup serius bagi Belanda.

Perannya mengurangi tekanan Belanda terhadap pertahanan utama padri di Bonjol sangat besar. Menghadapi kekalahan telak, tak membuat Belanda menyerah. Mereka mengatur strategi agar dapat menangkap Harimau dari Rokan itu.

Belanda memutuskan menyerang Dalu-Dalu sebagai tempat kelahiran Muhammad Saleh sekaligus pusat pertahanan pasukannya. Serangan dilakukan secara mendadak saaat kekuatan personel sedang tidak lengkap. Serangan tersebut berhasil pada gelombang kedua, tepatnya pada 28 Desember 1838. Banyak pejuang gugur di medan perang.

Tuanku Tambusai memutuskan mundur dan mengungsi ke Malaysia untuk mengatur strategi balasan. Belum terealisasi rencana itu, Tuhan berkehendak lain. Ajal menjemput Tuanku Tambusai pada 12 November 1882, di usia 98 tahun. Ia dimakamkan di Rasah, Malaysia.

Atas jasa-jasanya kepada negara, Tuanku Tambusai diberi gelar pahlawan nasional melalui SK Presiden Republik Indonesia No 071/TK/Tahun 1995, 7 Agustus 1995.  

Didikan keras dari ayah...

Tambusai kecil mendapat didikan khusus dari kedua orang tuanya, terutama dalam bidang agama. Sang ayah, Muhammad Saleh, adalah seorang guru agama. Selain mengajarkan agama, sang ayah juga membekalinya dengan ilmu bela diri dan kemampuan menunggang kuda.  

Beranjak dewasa, ia telah menguasai beberapa keterampilan. Selain sebagai pejuang mengusir Belanda, Tambusai juga aktif menyebarkan agama Islam dari satu tempat ke tempat lain.

Perlawanan terhadap Belanda bermula ketika ia selalu diganggu oleh tentara Belanda saat akan menyampaikan syiar Islam. Di sinilah mulai tumbuh semangat untuk mengusir penjajah dari tanah kelahirannya.

Sang ayah bukan termasuk keluarga ningrat. Status sosialnya terangkat karena ayahnya yang berasal dari Nagari Rambah merupakan seorang guru agama. Berkat kepakaran menguasai agama, Raja Tambusai mengangkat ayahandanya sebagai  imam dan guru agama kerajaan.  

Tuanku Tambusai pun menetap di istana bersama kedua orang tuanya. Ia memperdalam ilmu agamanya di Bonjol dan Rao yang masih daerah Sumatra Barat.Ia berguru ke ulama-ulama tersohor, seperti Haji Miskin, Haji Sumanik, Haji Piobang, dan Tuanku Nan Renceh. 

Berkat ketekunan belajarnya, Muhammad Saleh remaja, menjadi seorang padri bergelar fakih, ulama ahli fikih. Setelah mendapatkan gelar fakih Muhammad mendapat tugas menyebarkan dakwah ke daerah yang paling rawan waktu itu, yaitu Toba Sumatera Utara. 

Konon, daerah ini sebagian besar penduduknya menganut kepercayaan Pelbegu. Ketika berdakwah di daerah itu, ia difitnah ingin merombak adat nenek moyang orang Batak.

Akibat fitnah itu ia merasa nyawanya terancam. Merasa Toba sudah tak aman baginya, ia pun memutuskan kembali ke Rao (sekarang Sumatera Barat). Di sana ia menyiarkan Islam bersama Tuanku Rao ke berbagai pelosok seperti Airbangis dan Padanglawas kemudian ia mendirikan pesantren di kampungnya, Dalu-dalu.Rol

No comments: