Kalimat Syahadat Panglima Batur Saat Syahid di Tiang Gantungan
Batur yang lahir pada 1852 ini merupakan pejuang yang hidup pada Kesultanan Banjar. Pada saat berdirinya Kesultanan Banjar, semua suku ada di dalam teritorial Kesultanan Banjar. Suku Banjar, Bukit, dan Dayak (Dayak Dusun, Ngaju, Kayan, Siang, dan Bakumpai), baik yang beragama Islam maupun masih menganut kepercayaan Kaharingan, bahu membahu melawan penjajah.
Keikutsertaan Batur sebagai pasukan dimulai sejak usia belia. Ia masuk dalam daftar prajurit belia saat Perang Banjar meletus pada 1859 hingga ke Sungai Barito. Ia menjadi tentara yang dipersiapkan oleh Pangeran Antasari. Sang Pangeran terkenal sebagai pimpinan perang yang sangat disegani karena mampu menyatukan pejuang dari berbagai etnis mengusir penjajah.
Setelah sang pangeran meninggal, perjuangan dilanjutkan putranya, Sultan Muhammad Saman. Batur menjadi pengikut setia Sultan Muhammad Saman. Berada di bawah kepemimpinan sang sultan, Batur mendapatkan kepercayaan sebagai ahli strategi perang yang cerdik.
Keduanya saling membantu mempertahankan benteng terakhir di Sungai Maniwang dari serangan Belanda. Benteng tersebut satu-satunya pertahanan rakyat Banjar yang tersisa ketika itu.
Dalam masa-masa kritis tersebut, suatu saat, Panglima Batur mendapatkan perintah pergi ke Kesultanan Banjar untuk mengambil mesiu tambahan sebagai modal pertahanan benteng.
Kepergian Panglima Batur dalam menghadap raja dimanfaatkan Belanda untuk menyerang Benteng Maniwang. Pasukan Belanda yang dipimpin Letnan Chirstofel, letnan yang terkenal kejam dan berpengalaman dalam Perang Aceh menyerang Benteng Maniwang pada 1905.
Serangan tersebut sangat dahsyat dan berakibat fatal. Kekuatan yang tak seimbang menyebabkan kerugian material dan korban jiwa. Benteng Maniwang hancur dan Pangeran Saman gugur.
Mendengar kabar duka itu, Batur segera pulang menuju benteng. Betapa kaget, begitu ia menyaksikan kehancuran di mana-mana. Ia menangis.
Mesiu tambahan yang sudah ia dapatkan rasanya semakin tidak berguna saat ia melihat seluruh rekan perjuangannya gugur di medan perang, Panglima Bantur menangis kencang. Ia menangisi sikap kesatria rekan-rekan seperjuangannya yang gugur mengorbankan nyawa, keringat, dan perjuangan mereka sebagai saksi kecintaan terhadap Tanah Air.
Setelah ditinggalkan Pangeran Saman, Batur satu-satunya pemimpin perjuangan yang masih bertahan. Ia yang dikenal sangat teguh dengan pendiriannya dan sangat patuh terhadap sumpah tidak rela melihat anak buah atau keluarganya menderita dijadikan umpan untuk menangkapnya.
Siasat licik Belanda..
Ambisi jahat dan siasat licik Belanda tak ada habisnya untuk menghabisi Batur. Mereka menempuh segala cara. Suatu saat, keponakan Batur sedang melangsungkan resepsi pernikahan di Kampung Lemo. Begitu tamu undangan berdatangan, Belanda tiba-tiba datang menyerang.
Belanda menangkap kedua mempelai bersama keluarga Batur, lalu dijebloskan ke penjara. Mereka diperlakukan tidak manusiawi menghadapi siksaan demi siksaan. Cara inilah yang digunakan Belanda menjebak Batur.
Siasat keji pun dimulai. Belanda mengirimkan surat ke Batur yang isinya akan membebaskan seluruh keluarganya jika Batur mau menyerahkan diri.
Bila permintaan itu tidak dipenuhi, Belanda tidak segan-segan menghabisi seluruh anggota keluarganya. Ancaman tersebut membuat hati Batur iba dan memutuskan menyerahkan diri pada 1905.
Batur sadar betul dengan segala konsekuensi dari keputusan tersebut. Ia yakin akan segara menjemput kematian syahid, seperti para sahabatnya yang telah mendahului, tetapi ia berharap keluarganya tidak disakiti.
Setelah dua pekan ditawan Belanda di Muara Taweh, Batur diangkut menuju Banjarmasin. Ia diarak keliling kota disertai pengumuman mencengangkan, eksekusi mati menantinya.
Setelah tali gantungan mejerat lehernya, pahlawan kelahiran Buntok Baru, Bantu Utara, Kalimantan Tengah, ini mati syahid. Kematian yang mengesankan ini disaksikan keluarga dan sahabatnya yang juga sama-sama membacakan dua kalimat syahadat ketika detik-detik eksekusi mati Panglima Batur di tiang gantungan Belanda.
Panglima Batur dimakamkan di belakang Masjid Jami Lama Banjarmasin di tepi Sungai Martapura. Pada 21 April 1958 jenazahnya dipindahkan ke Kompleks Makam Pahlawan Banjar Jl Masjid Jami Banjarmasin.
Untuk mengingat jasa-jasanya, pemerintah setempat membuat monumen Panglima Batur yang terletak di Muara Taweh, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah.Rol
Belanda menangkap kedua mempelai bersama keluarga Batur, lalu dijebloskan ke penjara. Mereka diperlakukan tidak manusiawi menghadapi siksaan demi siksaan. Cara inilah yang digunakan Belanda menjebak Batur.
Siasat keji pun dimulai. Belanda mengirimkan surat ke Batur yang isinya akan membebaskan seluruh keluarganya jika Batur mau menyerahkan diri.
Bila permintaan itu tidak dipenuhi, Belanda tidak segan-segan menghabisi seluruh anggota keluarganya. Ancaman tersebut membuat hati Batur iba dan memutuskan menyerahkan diri pada 1905.
Batur sadar betul dengan segala konsekuensi dari keputusan tersebut. Ia yakin akan segara menjemput kematian syahid, seperti para sahabatnya yang telah mendahului, tetapi ia berharap keluarganya tidak disakiti.
Setelah dua pekan ditawan Belanda di Muara Taweh, Batur diangkut menuju Banjarmasin. Ia diarak keliling kota disertai pengumuman mencengangkan, eksekusi mati menantinya.
Setelah tali gantungan mejerat lehernya, pahlawan kelahiran Buntok Baru, Bantu Utara, Kalimantan Tengah, ini mati syahid. Kematian yang mengesankan ini disaksikan keluarga dan sahabatnya yang juga sama-sama membacakan dua kalimat syahadat ketika detik-detik eksekusi mati Panglima Batur di tiang gantungan Belanda.
Panglima Batur dimakamkan di belakang Masjid Jami Lama Banjarmasin di tepi Sungai Martapura. Pada 21 April 1958 jenazahnya dipindahkan ke Kompleks Makam Pahlawan Banjar Jl Masjid Jami Banjarmasin.
Untuk mengingat jasa-jasanya, pemerintah setempat membuat monumen Panglima Batur yang terletak di Muara Taweh, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah.Rol
No comments:
Post a Comment