Benarkah Ali tak Akui Kepemimpinan Khalifah Abu Bakar?

Inilah kisah Ali bin Abu Thalib pada masa awal kepemimpinan Abu Bakar ash-Shiddiq. Red: Hasanul Rizqa Ali bin Abi Thalib
Foto: dok wiki
Ali bin Abi Thalib
Telah muncul tuduhan dari sebagian kalangan bahwa Ali bin Abi Thalilb tidak pernah mengakui kepemiminan Abu Bakar alaihissalm?"

Tahun ke-11 Hijriyah, umat Islam merasakan kesedihan yang teramat dalam. Sebab, Nabi Muhammad SAW telah wafat, tepatnya pada Senin, 12 Rabiul Awwal (bertepatan dengan 9 Juni 632). Sebelumnya, kondisi fisik Rasulullah SAW memang terus menurun.

Beberapa hari menjelang wafat, beliau memang sempat menunjukkan tanda-tanda pulih. Oleh karena itu, seluruh Muslimin terkejut begitu mendengar kabar bahwa Rasulullah SAW telah tiada.

Para sahabat jelas berduka, tetapi tak lantas berlarut-larut terbawa perasaan. Sebab, ada urusan yang tak kalah penting sepeninggal Nabi SAW, yakni kepemimpinan umat.

Sejarah mencatat, peralihan tonggak pemimpin berjalan dengan dinamika. Sebab, Rasul SAW tidak pernah mengatakan secara definitif siapa penerusnya kelak setelah beliau meninggal dunia.

Setelah hari wafat beliau, sejumlah sahabat Nabi di Madinah berkumpul di Saqifah (Balai) Bani Saidah. Mereka terdiri atas para pemuka golongan Anshar, khususnya dari Bani Aus dan Khazraj.

Muncul kesepakatan awal. Mereka hendak mengangkat Sa'd bin Ubadah sebagai pengganti Rasul SAW dalam memimpin umat. Nabi Muhammad SAW jelas merupakan utusan Allah SWT yang terakhir (khatam al-anbiya). Oleh karena itu, rapat ini semata-mata memaklumkan penerus kepemimpinan, bukan "kenabian."

Sa'd adalah tokoh penting yang berasal dari Bani Khazraj. Betapa pun demikian, tak semua anggota Suku Aus menyetujui permakluman ini. Kabar adanya rapat di Saqifah tersebut membuat penduduk Madinah dari kalangan Muhajirin (pendatang) cukup terkejut.

Apalagi, mereka umumnya masih fokus pada persiapan pemakaman jasad mulia Rasulullah SAW. Di tengah situasi demikian, tiga orang terkemuka dari golongan ini lantas bergerak menuju balai pertemuan itu. Mereka adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, dan Abu Ubaidah bin Jarrah.

Sampai di sini, hampir-hampir terjadi perpecahan. Baik pihak Anshar maupun Muhajirin sama-sama merasa berhak menjadi penerus kepemimpinan. Keadaan mulai mereda ketika Abu Bakar berinisiatif menyampaikan pidato. Ketokohan sahabat berjulukan ash-Shiddiq itu memang tak diragukan.

Dialah orang yang mendampingi Nabi SAW di dalam gua saat dalam perjalanan hijrah dari Makkah ke Madinah di tengah pengejaran oleh kaum musyrikin pula. Hadirin di Saqifah pun menyimak Abu Bakar dengan penuh perhatian.

Abu Bakar dalam pidatonya menegaskan adanya keutamaan dalam diri golongan Muhajirin dan Anshar. Mertua Nabi SAW itu kemudian menyimpulkan, pemimpin hendaknya berasal dari Muhajirin, sedangkan menterinya (wazir) dari Anshar. Situasi kembali menghangat.

Pemuka Bani Khazraj, Al-Habab bin Munzir, menegaskan keinginan kaum Anshar untuk memiliki tampuk pimpinan. Bahkan, Ibnu Munzir sampai-sampai mengajak agar masing-masing golongan boleh memiliki pemimpin yang berbeda. Keadaan semakin tegang.

Mendengar itu, Basyir bin Saad bangkit. Tokoh Anshar dari Bani Aus ini meminta hadirin untuk tetap tenang. Ditegaskannya pula, kaum Anshar dalam membela Islam semata-mata didasari niat Lillahi Ta'ala dan ketaatan pada Nabi SAW.

Oleh karena itu, menurut dia, tidak layak mereka berebut jabatan dari kaum Muhajirin. Apalagi, Rasul SAW sendiri berasal dari Suku Quraisy. Lebih berhak bila kaumnya tampil untuk memimpin umat.

Ucapan ini ternyata menyentuh hati seluruh tokoh di balai pertemuan tersebut. Ketika nama Rasulullah SAW disebut-sebut, perasaan mereka campur aduk, sedih dan malu. Orang-orang yang tadinya berkeras ingin kaumnya mendapatkan jabatan, kini tertunduk.

Mengutip buku Ensiklopedi Tematis Dunia, inilah detik-detik munculnya era Khulafaur rasyidin. Sesudah para peserta terkesima pidato Basyir bin Saad, Abu Bakar kemudian mengusulkan agar mereka seluruhnya berbaiat kepada salah satu dari dua tokoh ini: Umar bin Khattab atau Abu Ubaidah bin Jarrah.

Namun, keduanya secara serentak menolak usulan itu. Umar merasa Abu Bakar lebih layak menjadi pemimpin. Hal yang sama diyakini Abu Ubaidah dan Basyir bin Saad. Akhirnya, seluruh hadirin menyatakan sumpah setia kepada Abu Bakar.

Peristiwa ini disebut sebagai Baiat Pertama. Adapun Baiat Kedua diselenggarakan di Masjid Nabawi dengan dihadiri seluruh penduduk Madinah. Ali bin Abi Thalib sempat terlambat menyatakan sumpah setia terhadap Abu Bakar.

Hal ini dilakukannya untuk menenggang perasaan istrinya yang juga putri Rasul SAW, Fatimah. Suatu kali, Fatimah menanyakan perihal harta warisan ayahnya. Namun, Abu Bakar menjawab, "Setiap rasul tidak pernah meninggalkan warisan bagi keluarganya." Mendengar itu, perempuan mulia tersebut agaknya kurang begitu senang.

Untuk menjaga perasaan istrinya itu, Ali menunda melakukan baiat hingga Fatimah meninggal dunia, yakni sekitar 15 bulan pasca-Rasulullah SAW wafat.Rol

No comments: