Intelektual Parpol Islam
Intelektual di balik partai politik Islam harus kuat imannya, konsisten, memiliki kemampuan manajemen, memiliki kekuasaan, dan tetap menjalankan syariah
Hamid Fahmy Zarkasyi
| PADA periode awal berdirinya Negara Indonesia, terjadi perdebatan antara para tokoh umat Islam tentang status Negara. Sebagian tokoh pro bentuk Negara Islam, sebagian yang lain memilih substansi Islamnya daripada ben tuk negaranya.
Dari wacana itu muncul metafora “pilih minyak babi cap onta atau minyak onta cap babi”. Artinya “Pilih Negara yang substansinya sekuler tapi berlabel Islam, atau pilih Negara yang substansinya Islam tapi berlabel sekuler”.
Dengan dihapusnya 7 kata dalam Piagam Jakarta dan realitas yang lain de facto jatuh pada pilihan yang kedua. Umat Islam pun rela, karena sila Ketuhanan Yang Maha Esa masih dapat mewadahi sub stansi Islam.
Masalahnya apakah semua masih ingat Gentleman Agreement itu. “Negara ini bukan Negara Islam, tapi substansinya Islam”. Ternyata tidak.
Di zaman Orde Lama umat Islam dituduh seakan masih menginginkan pilihan pertama. Umat Islam pun dilukis seakan berwajah subsversif.
Umat Islam justru dipaksa kompromis dengan komunisme. Tidak jelas dimana substansi Islam diterapkan.
Pelajaran Agama di sekolah-sekolah pun tidak ada. Di zaman Orde Baru upa ya memasukkan substansi Islam mulai nampak.
Tapi tetap saja umat Islam dibatasi dikawal dan dicurigai. Untuk itu umat Islam dipisahkan dari politik.
Motto yang ditawarkan Nurcholish Madjid “Islam Yes Partai Islam No” seperti menguatkan kebijakan itu.
Ketika reformasi bergulir tahun 1998, umat Islam seperti terlepas dari belenggu de-politisasi. Para tokoh umat Islam pun mendirikan partai-partai baru.
Euforia berpolitik umat Islam itu seperti mementahkan asumsi Nurcholish Madjid. Dalam sebuah symposium di Tokyo tahun 2008 saya nyatakan ini adalah titik balik dari de-politisasi Orde Baru. Realitasnya umat mau berpartai politik Islam (Partai Islam Yes) dan juga ber-Islam (Islam Yes).
Tapi pernyataan saya dibantah oleh A.Rabasa, pengkaji Indonesia dari Amerika. Tidak ada perubahan dalam politik Islam di Indonesia, katanya.
Umat Islam tetap tidak suka politik Islam. Buktinya perolehan parpol Islam tidak pernah menyamai suara Masyumi pada Pemilu tahun 1955.
Ini bukti bahwa umat Islam tidak mau berpolitik lagi. Melihat perolehan partai politik Islam pada tiga Pemilu pasca Reformasi yang semakin menurun, nampaknya Rabasa benar.
Tapi pertanyaan muncul lagi apakah benar umat Islam memperjuangkan substansi Islam tanpa melalui partai po – litik. Jika jawabnya benar, maka asumsi Cak Nur menjadi Salah.
Jargon itu menjadi “Partai Islam No, Islam No”. Natanya, kini umat Islam tetap berpolitik tapi pindah memilih partai politik sekuler.
Apa yang salah pada partai politik Islam. Mengapa umat Islam sekarang tidak mampu menandingi prestasi Masyumi.
Agar lebih obyektif, kita bertanya pada Abul Ala al-Maududi dan Sayyid Qutb. Dua orang pemikir politik Islam zaman modern.
Bagi al-Mawdudi umat Islam perlu melakukan transformasi gerakan intelektual. Gerakan itu perlu memasukkan nilai-nilai kedalam anggota masyarakat, dengan mendidik dan menghasilkan ilmuwan Muslim yang bervisi Islam dalam berbagai bidang ilmu. Berarti parpol Islam tidak punya lembaga ini.
Parpol Islam seharusnya mengikuti langkah-langkah Rasulullah, tulis al- Maududi. Setelah puluhan tahun pemikiran Islam menjadi dewasa dan berubah dari idealisme menjadi organisasi yang kokoh.
Organisasi yang kokoh didukung oleh administrasi yang sehat, ekonomi, keuangan dan penegakan hukum yang kuat, intelektual yang kommit terhadap Islam.
Berbeda dari al-Maududi, Sayyid Qutb lebih menekankan agar partai politik Islam dapat menterjemahkan Islam dalam bentuk etika masyakat dan etika sosio-politik.
Di sini peran intelektual sangat penting. Karena itu intelektual di balik partai politik Islam harus kuat imannya, konsisten, memiliki kemampuan manajemen, memiliki kekuasaan, dan tetap menjalankan syariah.
Dari sini kita bisa introspeksi: sudahkan saran kedua tokoh politik Islam itu dimiliki oleh semua parpol Islam?
Meskipun demikian perlu disadari bahwa partai politik Islam itu harus bersaing dengan partai-partai dan masyarakat non-Islam. Dalam kompetisi itu menurut Dale F. Eickelman and James Piscatori dalam karyanya Muslim Politics perlu menggunakan simbol-simbol agama.
Di sini simbol-simbol itu dalam pandangan al-Maududi dan Sayyid Qutb adalah pemahaman dan pengamalan Islam secara konsekuens.
Jadi pilihannya bukan “minyak babi cap unta atau minyak unta cap babi” tapi “minyak zaitun cap unta atau minyak unta cap zaitun”. Universal tapi tetap berasas Islam atau Islam yang universal tanpa lupa moral.*
Penulis Guru Besar Bidang Ilmu Filsafat Islam di UNIDA, artikel in pernah dimuat di Jurnal Islamia Republika
No comments:
Post a Comment