SEJARAH Perang Ain Jalut
Saat itu Mesir dipimpin oleh seorang anak yang masih belia, dengan umur tidak lebih dari 15 tahun. Namanya al-Manshur Ali, sedangkan pelaksanaan roda pemerintahan ditangani oleh Saifuddin Qutuz.
Di tengah ancaman tentara Mongol, al-Manshur Ali ternyata tidak melakukan tindakan yang selayaknya dalam merespons situasi bahaya. Bahkan ia lebih memilih untuk menyibukkan diri dengan hiburan yang sia-sia semisal bermain burung merpati, ayam jantan, juga menunggang keledai. (as-Suluk, 1/406).
Datanglah utusan dari Syam yang bernama Kamaluddin al-Adim, hendak meminta batuan. Dalam waktu yang sama, beredar kabar pula bahwa Mongol akan menyerang Mesir.
Oleh karena itu, Saifuddin Qutuz segera menyusun persiapan untuk melakukan pertempuran. Diundanglah para pejabat dan ulama, termasuk Imam Izuddin bin Abdissalam selaku mufti Mesir di benteng Shalahuddin al-Ayyubi di Kairo. (Badai’ az-Zuhur, 1/306).
Saifuddin Qutuz melihat bahwa ancaman Mongol tidak bisa dibiarkan, hingga akhirnya ia memutuskan untuk mengambil alih kepemimpinan Mesir. Keberadaan al-Manshur Ali di tampuk kepemimpinan dianggap tidak layak, apalagi ibu al-Manshur juga sering melakukan intervensi dalam urusan kenegaraan. Akhirnya pada tanggal 27 Dzulqa’dah 657 H, al-Manshur dan ibunya diamankan dalam sebuah rumah yang telah disiapkan. (as-Suluk, 1/417).
Pemimpin Mongol, Hulagu Khan, akhirnya benar-benar mengirimkan surat ke Saifuddin Qutuz. Isinya adalah ancaman jika mereka tidak menyerahkan negeri itu kepada pihak Mongol. (as-Suluk, 1/327-328).
Saifuddin Qutuz segera mengumpulkan para pejabat untuk membicarakan tentang ancaman itu. Hingga akhirnya mereka sepakat memilih untuk berjihad.
Qutuz mengumumkan, “Pendapatku, bahwa kita semua akan menghadapi dengan pertempuran. Kalau kita menang, itu yang kita harapkan. Tapi kalau kita kalah, kita tidak akan tercela di hadapan manusia.” (Jami’ at-Tawarikh, 1/312, 313).
Seruan Qutuz untuk melakukan jihad itu berhasil mengumpulkan pasukan dalam jumlah besar. Mereka terdiri atas pasukan dari Mesir sendiri, juga pasukan yang tersisa dari Syam yang melarikan diri ke Mesir, setelah Damaskus dan Halab dikuasai Mongol. Ada lagi tambahan pasukan dari beberapa kabilah Arab di Syam. (Akhbar al-Ayubiyiin, hal 175).
Saifuddin Qutuz tidak menunggu hingga Mongol menyerang Mesir. Ia bahkan memilih untuk melakukan penyerangan terlebih dahulu ke Syam. (al-Bidayah wa an-Nihayah, 3/ 220).
Adu Siasat
Di Syam, Hulagu Khan mempercayakan kekuasaan kepada Kitbugha. Pemimpin Mongol ini meninggalkan negeri itu untuk menuju ke Iran, pasca kematian saudaranya, Manku Khan.
Mengenai Kitbugha, Rasyiduddin al-Hamadani menggambarkan, “Ia seperti singa lapar, naga yang cerdik. Jika ia menyerang Mesir, maka tidak satupun yang mampu melawannya.” (Jami’ at-Tawarikh, 311).
Untuk menghadapi pasukan Mongol yang berjumlah besar dan dikenal bengis itu, Saifuddin Qutuz membagi pasukan menjadi dua bagian. Yang pertama adalah pasukan yang dipimpin oleh Dhahir Baibars.
Pasukan ini bertugas melakukan pengintaian terhadap pasukan Mongol yang telah menguasai Gaza yang dipimpin oleh Baidra. (as-Suluk, 1/430).
Mendengar kabar bahwa Gaza hendak diserang pasukan Muslim, Kitbugha memutuskan untuk mempersiapkan pasukan untuk berangkat menuju kota itu. Dhahir Baibars pun akhirnya memilih untuk menyerang Gaza terlebih dahulu, sebelum bala bantuan pasukan Mongol tiba. Serangan itu sendiri mengejutkan pasukan Mongol, sampai akhirnya Baidra dan sisa-sisa pasukannya melarikan diri menuju Kitbugha di Damaskus. (Jami’ at-Tawarikh, 1/313).
Setelah pasukan Mesir yang dipimpin Dhahir Baibars berhasil menghancurkan Mongol di Gaza, pasukan lain yang dipimpin oleh Saifuddin Qutuz memilih untuk mempercepat serangan terhadap pasukan Kitbugha di Damaskus.
Mereka menempuh jalan pintas, yakni melalui wilayah Akka yang saat itu dikuasai oleh pemerintahan Salib. Sebelumnya, Qutuz telah mengirimkan utusan dalam rangka meminta izin kepada penguasa Salib untuk melewati wilayah yang mereka kuasai.
Kitbugha marah ketika pasukannya di Gaza berhasil dihancurkan oleh Dhahir Baibars. Ia kemudian memutuskan untuk mengumpulkan pasukan dalam jumlah besar guna menghadapi pasukan Qutuz.
Sebelum pertempuran berlangsung, Qutuz telah menyusun siasat jitu. Pasukan yang dipimpin oleh Dhahir Baibars yang terdiri dari 10 ribu penunggang kuda melakukan muslihat, seakan-akan pasukan itulah yang hendak berhadapan dengan pasukan Mongol.
Sedangkan sejatinya, pasukan dengan jumlah lebih besar bersembunyi di balik rerimbun dan hutan di sekitar Ain Jalut. Mereka bersiap untuk melakukan penyergapan. (as-Suluk, 1/43, 430).
Pada hari Jumat, 25 Ramadhan 658 H, setelah matahari terbit, pasukan Dhahir Baibars sudah berhadap-hadapan dengan Pasukan Kitbugha. Namun sesuai rencana, pasukan Dhahir Baibars mundur, sedangkan pasukan Mongol terkecoh. Mereka mengira bahwa pasukan Dhahir Baibars merupakan pasukan Mesir secara keseluruhan.
Mengetahui pasukan Dhahir Baibars mundur, mereka melakukan pengejaran. Pihak Mongol mengira akan dengan mudah menghancurkan pasukan itu.
Namun tiba-tiba pasukan Mesir dari tiga penjuru keluar untuk melakukan penyergapan, sehingga terjadi pertempuran sengit dari sejak matahari terbit hingga tengah hari. (Jami’ at-Tawarikh, 1/ 314).
Dalam pertempuran itu, pasukan Muslim sempat kewalahan menghadapi pasukan Mongol yang memang memiliki kemampuan dan pengalaman tempur. Sampai akhirnya, Qutuz melepas pelindung kepalanya dan mencampakkan dirinya ke tengah pasukan Mongol.
Para prajurit Muslim pun semangatnya berkobar. Akhirnya pasukan Mongol berhasil dikalahkan. Sang pimpinan, Kitbugha yang seperti singa lapar itu, berhasil dibunuh. Banyak pula dari mereka yang tertawan. (as-Suluk, 1/431).
Setelah pertempuran Ain Jalut usai, Daulah Mamalik berkuasa penuh atas wilayah Syam. Merekalah yang kemudian merebut kembali wilayah itu dari cengkeraman pasukan Mongol. (Badai’ az-Zuhur, 1/307).*/Thoriq, artikel dimuat di Majalah Suara Hidayatullah
No comments:
Post a Comment