Mengapa Cara Suksesi yang Dilakukan oleh 4 Khalifah Berbeda-beda

Ini Mengapa Cara Suksesi yang Dilakukan oleh 4 Khalifah Berbeda-beda
Umar bin Khattab menjadi khalifah karena penunjukan oleh Kalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Foto/Ilustrasi: artstation
Prof Dr Muhammad Quraish Shihab, MA mengatakan muncul dugaan bahwa Al-Qur'an tidak memberikan perhatian yang cukup terhadap persoalan musyawarah. Jangankan Al-Quran, bahkan Nabi Muhammad SAW pun dalam banyak hal menjabarkan petunjuk-petunjuk umum Al-Quran, perihal musyawarah ini tidak meletakkan rinciannya.

"Bahkan tidak juga memberikan pola tertentu yang harus diikuti. Itu sebabnya cara suksesi yang dilakukan oleh empat khalifah beliau --Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali ra-- berbeda-beda di antara satu dengan lainnya," ujar Quraish Shihab dalam bukunya berjudul " Wawasan Al-Quran , Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat".

Sebagaimana sejarah mencatat, Umar bin Khattab menjadi khalifah karena ditunjuk Abu Bakar Ash-Shiddiq setelah beliau merasakan ajalnya sudah dekat.

Pengangkatan Utsman bin Affan lain lagi. Khalifah Umar bin Khattab sebelum wafat membentuk dewan syuro terdiri 6 orang untuk bermusyawarah. Mereka adalah Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Al 'Awwam, Utsman bin Affan ra, Ali bin Abu Thalib ra, Abdurrahman bin 'Auf, dan Sa'ad bin Abi Waqqas. Keenam anggota syuro inilah yang menunjuk Utsman bin Affan menggantikan Umar bin Khattab sebagai khalifah.

Sedangkan proses pengangkatan Ali bin Abi Thalib , mirip dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq yakni melalui baiat oleh tokoh-tokoh Islam pada waktu itu. Prosesnya begini: Setelah Utsman terbunuh pada 35 H, berdasarkan pendapat yang populer, kaum muslimin mendatangi Ali ra. Mereka membai’at beliau.

Demikianlah, kata Quraish Shihab, Rasul SAW tidak meletakkan petunjuk tegas yang rinci tentang cara dan pola syura. Karena jika beliau sendiri yang meletakkan hukumnya, ini bertentangan dengan prinsip syura yang diperintahkan Al-Quran. Bukankah Al-Quran memerintahkan agar persoalan umat dibicarakan bersama?

Sedangkan apabila beliau bersama sahabat yang lain menetapkan sesuatu, itu pun berlaku untuk masa beliau saja. Tidak berlaku --rincian itu-- untuk masa sesudahnya. Bukankah Rasul SAW telah memberi kebebasan kepada umat Islam agar mengatur sendiri urusan dunianya dengan sabda beliau yang diriwayatkan oleh Imam Muslim: "Kalian lebih mengetahui persoalan dunia kalian."

Dan dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh Ahmad: "Yang berkaitan dengan urusan agama kalian, maka kepadaku (rujukannya), dan yang berkaitan dengan urusan dunia kalian, maka kalian lebih mengetahuinya."
Sungguh tepat keterangan pakar tafsir Muhammad Rasyid Ridha sebagai berikut:

"Allah telah menganugerahkan kepada kita kemerdekaan penuh dan kebebasan sempurna di dalam urusan dunia dan kepentingan masyarakat dengan jalan memberi petunjuk untuk melakukan musyawarah. Yakni yang dilakukan oleh orang-orang cakap dan terpandang yang kita percayai, untuk menetapkan bagi kita (masyarakat) pada setiap periode hal-hal yang bermanfaat dan membahagiakan masyarakat...

Kita sering mengikat diri sendiri dengan berbagai ikatan (syarat) yang kita ciptakan, kemudian kita namakan syarat itu ajaran agama. Namun, pada akhirnya syarat-syarat itu membelenggu diri kita." Demikian lebih kurang tulisan Rasyid Ridha ketika menafsirkan surat Al-Nisa' (4): 59.

Persoalan Tak Terjangkau

Al-Quran memang tak banyak menjelaskan mengenai musyawarah. Menurut Quraish Shihab, secara umum dapat dikatakan bahwa petunjuk Al-Quran yang rinci lebih banyak tertuju terhadap persoalan-persoalan yang tak terjangkau nalar serta tak mengalami perkembangan atau perubahan. "Dari sini dipahami kenapa uraian Al-Quran mengenai
metafisika, seperti surga dan neraka, amat rinci karena ini merupakan soal yang tak terjangkau nalar," ujarnya.

Demikian juga soal mahram (yang terlarang dikawini), karena ia tak mengalami perkembangan. Seorang anak, selama jiwanya normal, tak mungkin memiliki birahi terhadap orang tuanya, saudara, atau keluarga dekat tertentu, demikian seterusnya.

Menurut Quraish Shihab, adapun persoalan yang dapat mengalami perkembangan dan perubahan, Al-Quran menjelaskan petunjuknya dalam bentuk global (prinsip-prinsip umum), agar petunjuk itu dapat menampung segala perubahan dan perkembangan sosial budaya manusia.

Memang amat sulit jika rincian suatu persoalan yang diterapkan pada suatu masa atau masyarakat tertentu dengan ciri kondisi sosial budayanya, harus diterapkan pula dengan rincian yang sama untuk masyarakat lain, baik di tempat yang sama pada masa yang berbeda, apalagi di tempat yang lain pada masa yang berlainan.

"Musyawarah atau demokrasi adalah salah satu contohnya. Karena itu pula, petunjuk kitab suci Al-Quran menyangkut hal ini amat singkat dan hanya mengandung prinsip-prinsip umumnya saja," ujar Quraish Shihab.
(mhy)Miftah H. Yusufpati

No comments: