RA Kartini: Latar Belakang Kehidupan dan Pikirannya yang Jarang Diketahui

RA Kartini memili teman pasagan berdarah Yahudi Abendanon dan istrinya, Ny. R.M Abendanon Mandri. Kartini keras melawan poligami tapi dipersunting Bupati Rembang, Raden Adipati Djajahadiningrat, sebagai istri ketiga  

Artawijaya

 UMUR RA KARTINI terbilang singkat, 25 tahun. Ia wafat dalam usia muda, beberapa hari setelah melahirkan anak pertamanya.

Namun, meski terbilang belia, nama Kartini harum ke seantero negeri. Hari kelahirannya, 21 April, diperingati sebagai tolok ukur perjuangan emansipasi perempuan di negeri ini.

Nama Kartini juga harum sampai ke negeri Belanda. Di tiga kota di Negeri Kincir Angin itu; Venlo, Utrecht, dan Amsterdam, terpampang nama jalan yang merujuk pada namanya: Kartinistraat.

Mari kita runut jalan cerita Pahlawan Nasional ini. Setelah melewati masa pingitan layaknya tradisi anak-anak priyai zaman itu, pada tanggal 8 Nopember 1903, dalam usia 24 tahun, setahun sebelum wafat, Kartini menikah.

Ia dipersunting oleh Bupati Rembang, Raden Adipati Djajahadiningrat/Djojoadiningrat. Uniknya, meski dikenal keras menentang praktik poligami, pada kenyataannya, takdir hidup Kartini membawanya menjadi istri ketiga dari bupati tersebut. 

Dalam kurun waktu kurang lebih empat tahun, dari tahun 1899 sampai menjelang wafat pada tahun 1904, Kartini mencurahkan apa yang dilihat, dirasakan, dan dijalaninya dalam kehidupan diri dan lingkungannya pada orang-orang Belanda yang menjadi sahabatnya lewat surat-surat yang dikirimkannya.

Surat-surat itulah yang di kemudian hari sangat terkenal di negeri ini, yang menjadi representasi pribadi dan pemikiran Kartini. J.H Abendanon, tokoh Belanda yang dekat dengan Kartini dan menjadi teman dalam berkorespondensi, mengumpulkan 106 surat-surat Kartini dan menyusunnya dalam sebuah buku berjudul, ”Door Duiternis tot Licht” (DDTL) yang kemudian diterjemahkan oleh sastrawan penganut paham Teosofi, Armijn Pane, menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang.”

Selain itu,  atas kisah hidupnya itu, pada tahun 2013, Majalah Tempo justru membuat edisi khusus, dengan tajuk, “Gelap Terang Hidup Kartini.”   Jika ada yang menyebut bahwa istilah “Habis Gelap Terbitlah Terang” itu diambil oleh Kartini dari salah satu ayat Al-Qur’an yang berbunyi “minazh-zhulumat ilannur”, maka ini keliru besar.

Pertama, judul “Habis Gelap Terbitlah Terang” itu bukan dari Kartini, melainkan dari Armin Pane, yang menerjemahkan buku yang disusun oleh Abendanon. Kedua, buku tersebut diterbitkan pada tahun 1911 oleh lembaga Kartini Fond yang didirikan di Belanda, tujuh tahun setelah Kartini meninggal.

Ketiga, menurut keterangan Abendanon, judul itu diambil dari syair Jawa yang dikutip oleh Kartini dalam salah satu suratnya, yang berbunyi, “Habislah malam datanglah terang, habis topan datanglah reda, habis perang datanglah menang, habis duka datanglah suka.”

Ketiga, sebagaimana diceritakan, ia belajar Al-Qur’an pada Kyai Soleh Darat asal Semarang pada tahun 1902, setahun setelah itu, sang kyai wafat. Kartini belum sampai belajar pada surah Al-Baqarah, surah dimana kalimat “minazh-zhulumat ilannur” itu berada.

Dari surat menyurat Kartini pada sahabat-sahabat Belandanya itulah kisah hidupnya menjadi sorotan dan perbincangan. Kartini menceritakan kegemarannya dalam berkorespondensi,

“Engkau tiada tahu, betapa pentingnya bagi kami surat-surat sahabat kami itu, yang lebih tinggi daripada kami tentang sanubari dan jiwanya. Surat itulah yang menyucikan kami dari noda dan cacat, mengangkat kami, dicerdaskannya semangat dan sanubari kami. Amatlah banyaknya barang yang indah, jelita dan berharga datang pada kami dengan perantaraan pos, mutiara, intan permata bagi otak dan hati,” demikian kata Kartini dalam salah satu suratnya.

* * *

RA Kartini (1879-1904) adalah anak seorang priyai terpandang dan terdidik. Ia dibesarkan di lingkungan “elite Jawa” pada masanya. Ayah, kakek, dan paman-pamannya adalah seorang bupati yang sangat terpandang.

Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, ayah Kartini, menjabat sebagai bupati di Jepara.  Kakeknya dari jalur ayah, Pangeran Ario Tjondronegoro, juga seorang priyai yang memiliki kedudukan penting dan terdidik, yang pernah menjabat sebagai bupati Demak dan Kudus di usia yang sangat belia.

Sementara pamannya, Pangeran Ario Hadiningrat, selain pernah menjabat sebagai bupati Demak, juga menjabat sebagai Ketua Perhimpunan Bupati-bupati di Seluruh Jawa dan Madura. Pamannya yang lain, Raden Mas Adipati Ario Tjondronegoro, selain pernah menjabat sebagai bupati Brebes, juga seorang penulis yang karya-karyanya dalam bahasa Belanda sangat dikenal di negeri itu. (Tashadi, 1986: 4-8)

Sebagai seorang priyai di masa kolonial, tentu keluarga Kartini sangat dekat dengan para pejabat di Hindia Belanda atau Hindia Timur. Di saat orang-orang pribumi di Hindia Belanda belum banyak yang mengenal pendidikan Barat, sang kakek, Pangeran Ario Tjondronegoro sudah mendatangkan guru privat langsung dari Belanda untuk mengajar anak-anaknya.

Guru privat bernama C.E van Kasteren inilah yang menjadi tempat bagi ayah Kartini, Raden Mas Ario Sosroningrat, untuk belajar ilmu pengetahuan Barat. Kakek Kartini inilah bupati pertama yang mendatangkan guru dari Belanda untuk mengajar khusus di rumah (privat). (Tashadi, 1986: Ibid.).

Kepada anak-anaknya, sebagaimana ditulis dalam Biografi RA Kartini karya Tashadi yang mengutip dari surat menyurat Kartini, Pangeran Ario Tjondronegro selalu mengingatkan anak-anaknya, “Kalau bangsa kita ingin maju, haruslah mempelajari ilmu pengetahuan orang Barat.”

Barat yang dimaksud di sini, pada waktu itu, adalah belajar ilmu pengetahuan dari orang-orang Belanda. Mengingat pada waktu itu, bahasa Belanda menjadi ukuran orang itu terdidik atau tidak. Di samping tentu saja, banyak literatur-literatur berbahasa Belanda yang harus dipelajari.

Tashadi mencatat, hingga tahun 1902, di seluruh Pulau Jawa dan Madura, hanya ada empat orang yang menguasai bahasa Belanda, di antaranya adalah; Pangeran Aria Ahmad Djajadiningrat, bupati Serang, dan Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara yang juga ayah dari Kartini. (Tashadi, 1986: 8)

Mengenai kakeknya dari jalur ayah itu, Kartini mengatakan, “Almarhum kakekku, Pangeran Tjondronegoro, Bupati Demak, adalah salah seorang pemula semangat kemajuan. Beliau adalah bupati pertama di Jawa Tengah yang membuka pintunya untuk pengajaran dan peradaban Barat.”

Sikap inilah yang kemudian menurun pada ayahnya. Sang ayah begitu ketat dalam hal pendidikan bagi anak-anaknya. Kartini menghabiskan masa pendidikan dasar di sekolah Eropa yang ada di kampungnya. Bahkan, Sosrokartono, kakak Kartini, di sekolahkan oleh ayahnya ke negeri Belanda. Selain pendidikan Barat, ayah Kartini juga mengundang guru agama untuk mengajar di rumahnya. (Tashadi, 1986: 10-11).

Demikian garis keturunan keluarga dari jalur ayah. Bagaimana silsilah dari garis ibu?

Tak jauh berbeda. Yang membedakan adalah kedudukannya di masyarakat; dari jalur ayah berasal dari kalangan priyai, sementara dari jalur ibu, berasal dari kalangan santri.

Ngasirah, ibunda Kartini adalah anak seorang kyai di Telukawur, Jepara. Ngasirah adalah putri dari pasangan bernama Kyai Modirono dan Nyai Siti Aminah. Lingkungan keluarganya dididik dengan cara-cara Islam dan tradisi Jawa yang kuat.

Namun begitu, seperti diceritakan Kartini, karena ibundanya bukan berasal dari kalangan priyai, maka di dalam rumah tangga ayah dan ibunya, sang ibu masih diposisikan sebagai rakyat jelata yang berhadapan dengan tuan priyai.

Sang ibu juga tidak mendapat julukan sebagai “Raden Ayu” sebagaimana anak priyai yang sudah berumah tangga. Bahkan, kata Kartini, ibundanya memanggil anak-anaknya dengan sebutan ndoro, dan anak-anaknya menyebutnya dengan sebutan yu; panggilan yang lebih rendah dari ibu.

Ngasirah juga harus merunduk-runduk jika menghadap Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, suaminya, layaknya kawula dengan tuannya.

Kelak, apa yang disaksikan oleh Kartini di rumahnya itu berpengaruh pada pribadinya yang berusaha mendobrak tradisi tersebut. Apa yang dilihat Kartini dari keadaan ibunya, termasuk bahwa sang ibu adalah bukan satu-satunya istri dari ayahnya, membuat Kartini menjadi sosok yang begitu kuat menentang poligami.

Begitu juga soal pendidikan, dimana masih banyak rakyat yang bukan dari anak keturunan priyai yang saat itu masih terbelakang. (Lihat: Siti Soemandari: 1979, Tashadi: 1986, Th. Sumarna: 1993).

Pada gagasan dan cita-citanya yang tertuang dalam surat-suratnya  itu, yang dihasilkan dari pengamatan dan apa yang dirasakan, tentu keinginannya untuk memajukan bangsa dalam pendidikan dan memajukan hak-hak kaum perempuan untuk mendapatkan hak pendidikan yang sama, patut diapresiasi sebagai gagasan yang progressif dan mendobrak pada masanya.

Meskipun, karena berada dalam suasana penerapan kebijakan Politik Etis (Etische Politiek) oleh kolonial Belanda di tanah jajahan, dimana di antara kebijakannya tersebut adalah mengampanyekan “Politik Asosiasi” untuk mendidik kaum pribumi dalam kebudayaan dan cara hidup Barat, ide-ide Kartini selaras dengan kebijakan tersebut. Walaupun, ada juga kritik Kartini terhadap pemerintah kolonial ketika itu.

* * *

Kartini hidup pada masa dimana Pemerintah Kolonial Belanda mengalihkan orientasi kebijakan di tanah jajahannya, dari Tanam Paksa (Cultursteelsel) yang menindas bumiputera dan mengeruk harta kekayaan alamnya, menjadi gerakan moral yang disebut “Politik Etis” (Etische Politiek).

Sebagai bagian dari gerakan ini adalah kebijakan “asosiasi” dan “asimilasi”, yang berupaya menyatukan Timur dan Barat (Oost en West), sehingga tidak terjadi benturan antar peradaban. Selain pendidikan ala Barat, Diantara tujuan kaum Politik Etis adalah membangun “etika kemanusiaan” sebagai jalan hidup bersama.

Pada tataran inilah, ide-ide mereka akan bertemu dengan orang-orang dan organisasi-organisasi yang juga memiliki tujuan yang sama.

Politik Etis melalui tokohnya, di antaranya Christian Snouck Hurgronje dan Conrad Theodore van Daventer, berupaya mendekati kaum pribumi, terutama yang berasal dari kalangan priyai, untuk bisa didik dalam cara pandang “Barat”.

Untuk memuluskan gerakan ini, maka anak-anak priyai itu diberi beapelajar dan disekolahkan di sekolah-sekolah Eropa yang ada di Hindia Belanda, bahkan juga diberi beapelajar lanjutan untuk menempuh pendidikan lebih tinggi ke negeri Belanda.

Alam pikiran Kartini pada saat remaja terbentuk dalam lingkungan dimana para humanis Eropa pada masa itu mulai berdatangan ke Hindia Belanda. Sejak tahun 1900-an, menurut Robert van Niel dalam buku “Munculnya Elite Modern Indonesia”, para humanis tersebut mulai berdatangan ke Pulau Jawa. (Van Niel: 1984).

Pada awal tahun 1900 ini juga, di Semarang berdiri organisasi Teosofi Cabang Hindia Belanda, walaupun sudah sejak tahun 1881 sudah menunjukkan keberadaannya di Pekalongan. Teosofi adalah sebuah organisasi kebatinan yang juga memiliki konsen untuk menyatukan Barat dan Timur.

Hal ini bisa dilihat dari buku yang ditulis oleh Iskandar P Nugraha  yang berjudul “Mengikis Batas Timur dan Barat: Gerakan Teosofi dan Nasionalisme di Indonesia”. (Nugraha: 2001). Teosofi bekerja untuk membangun persaudaraan universal atas dasar kemanusian, mengabadi pada kemanusiaan, dan membangun etika kemanusiaan. Paham humanisme menjadi landasan organisasi ini.

Upaya mendekati Kartini sebagai anak priyai yang memiliki pemikiran yang progressif dilakukan pada masa-masa ini. Pada Tahun 1900, Jacques Henrij (J.H) Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda, datang ke Jepara dan bertemu dengan RA Kartini.

Abendanon ditemani istrinya, Ny. R.M Abendanon Mandri, yang kelak juga menjadi teman korespondensi Kartini. Sepasang suami istri ini berdarah Yahudi dan memiliki perhatian yang besar pada Kartini.

Nyonya Abendanon pernah mengirimkan buku-buku tentang humanisme dan perjuangan perempuan kepada Kartini, di antaranya; Karaktervorming der Vrouw (Pembentukan Akhlak Perempuan) karya Helena Mercier, Modern Maagden (Gadis Modern) karya Marcel Prevost, De Vrouwen an Socialism (Wanita dan Sosialisme) karya August Bebel dan Berthold Meryan.

Kartini juga membaca buku Hilda van Suylenburg karya Ny.C Gooho de Jong, yang berisi tentang perjuangan emansipasi dan hak-hak perempuan. Abendanon adalah sahabat dari Snouck Hurgronje.

Keduanya adalah bagian dari tokoh-tokoh yang menjalankan Politik Etis bagi bumiputera (pribumi) di Hindia Belanda. Atas rekomendasi dari Snouck pula, Abendanon melakukan pendekatan kepada Kartini

.Hubungan dekat antara Abendanon dan Snouck juga diungkapkan dalam surat yang ditulis oleh Kartini kepada Abendanon, dimana ia meminta agar Abendanon menanyakan kepada Snouck perihal hukum Islam.

Dua tahun setelah kedatangan Abendanon ke Jepara, pada tahun 1902, H.H Van Kol, seorang anggota Parlemen Belanda datang ke Jepara bersama istrinya, Ny. Nellie Van Kol, untuk bertemu Kartini. Kepada Tuan Van Kol, Kartini mengungkapkan keinginannya untuk bisa studi di negeri Belanda.

Kartini menitipkan surat kepada Van Kol terkait keinginannya itu yang ditujukan kepada Gubernur Jenderal untuk diteruskan kepada Parlemen Belanda. Surat Kartini yang dititipkan lewat Van Kol kemudian dibahas di Parlemen Belanda dan disetujui.

Pada tahun 1903, Kartini mendapat kabar bahwa dirinya diterima untuk melanjutkan sekolah ke Belanda, namun beapelajar itu ditolak atas saran dari Abendanon dan juga karena pertimbangan Kartini akan segera dilamar dan menikah.

Pada usia 20 tahun, Kartini menuliskan suratnya pertama kali kepada seorang perempuan Belanda berdarah Yahudi, Estella Harsthalt Zeehandelaar. Surat itu ditulis oleh Kartini pada 25 Mei 1899.

Kartini berkenalan dengan Stella, panggilan bagi Estella, melalui sebuah iklan di Majalah De Hollandsche Lelie. Stella adalah pegiat feminisme, sosialisme, dan anggota Social Democratische Partij (SDAP) Belanda. Stella juga seorang vegetarian, sebagaimana juga pengakuan Kartini dalam salah satu suratnya yang juga menempuh jalan menjadi seorang vegetarian.

Sastrawan Pramoedya Ananta Toer dalam buku yang ditulisnya, “Panggil Aku Kartini Saja” menceritakan sosok Stella. “Estella Zeehandelaar adalah seorang gadis Yahudi Belanda dengan pandangan hidup sosialis yang berapi-api. Ia tidak menyetujui kalau Kartini masuk dalam dunia keagamaan.

Stella mempengaruhi Kartini dalam pandangan hidup, bahwa kebajikan bukanlah barang monopoli kaum agama, karena orang pun –dan terutama sekali- dapat lakukan kebajikan karena perasaan tanggungjawab kepada sesama, karena nuraninya sendiri.” (Pram, 2010: 212).

Kepada Stella, Kartini banyak membicarakan tentang kebatinan dan keagamaanya, dan atas rekomendasi dari Stella jugalah Tuan Van Kol dekat kepada Kartini. “Kartini dilahirkan sebagai seorang Muslim, dan  saya dilahirkan sebagai orang Yahudi. Meskipun demikian, kami mempunyai pikiran yang sama tentang Tuhan,” kata Stella dalam salah satu suratnya kepada Ny. Nellie Van Kol. Soal inilah yang kemudian menjadi sorotan; bagaimana sesungguhnya paham keagamaan Kartini?

Di antara tulisan yang membicangkan tentang keyakinan/paham keagamaan Kartini adalah sebuah disertasi yang ditulis oleh Th. Sumarna di Vrije Universitiet Amsterdam, Belanda. Dalam disertasi berjudul Mission at the Cross yang ditulis pada tahun 1991 dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia pada tahun 1993 dengan judul “Tuhan dan Agama dalam Pergulatan Batin Kartini”, Th. Sumarna mengkaji surat-surat Kartini yang terkait dengan hal itu.

Dalam surat-suratnya, tulis Th Sumarna, didapat kesan bahwa Kartini tidak percaya pada kebenaran absolut pada suatu agama. Tidak ada satu agama pun yang memonopoli kebenaran, karena semua agama diberikan oleh Tuhan sebagai berkah pada setiap bangsa, ras, lingkungan budaya, dan sejarah yang berbeda-beda.

“Sepanjang hemat kami, agama yang paling indah ialah kasih sayang. Dan untuk mendapat perintah luhur ini, haruskah seorang mutlak menjadi Kristen? Orang Budha, Brahma, Yahudi, Islam, bahkan orang kafir pun dapat hidup dengan kasih sayang yang murni,” demikian surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 14 Desember 1902.

Kartini, dalam pandangan Sumarna, memegang keyakinan bahwa monoteisme, kepercayaan tentang Tuhan yang hanya satu ini, adalah Tuhan semua orang dan semua agama. Ungkapan teologis Kartini dalam suratnya, yang menyebut “Tuhan sebagai Bapa” merupakan tambahan keyakinan rohani dalam kehidupannya. (Th.Sumarna, 1993: 100-101).

Dalam salah satu suratnya kepada Ny. Nellie Van Koll, 21 Juli 1902, Kartini menulis, “Semua kita ini adalah anak kepada Bapak Yang Satu itu juga, kepada Tuhan Yang Maha Esa.” Sedangkan dalam suratnya kepada Dr Andriani, 5 Juli 1903, Kartini menulis, “Tidak peduli dengan agama apa yang dipeluk orang dan bangsa apa mereka itu. Jiwa mulia akan tetap mulia juga dan orang budiman akan tetap budiman juga. Hamba Allah tetap dalam tiap-tiap agama, dalam tengah-tengah segala bangsa.”

Dalam pandangan Sumarna, Kartini memakai kriteria yang sama bagi semua agama, yaitu kriteria perjuangan kemanusiaan untuk menyempurnakan diri. Dalam hubungan inilah, Sumarna menjelaskan, Kartini sampai pada satu pandangan bahwa semua agama sama saja, dalam arti masing-masing dalam perannya sebagai berkah Allah untuk mengajarkan kesalamatan dan kebahagiaan umat manusia. (Th. Sumarna, 1993: 106).

Sumarna menyimpulkan, “Dalam sejarah pergerakan nasional Indonesia, Kartini termasuk orang pertama yang secara sadar merenungkan gagasan keagamannya dalam konteks pluralisme agama” (Sumarna, Ibid., hlm.112).

Namun, meski memiliki corak pandang  yang kuat terkait pluralisme agama dan humanisme, menurut Sumarna, humanisme yang tercermin dalam surat-surat Kartini adalah humanisme transendental. Kartini berpandangan, dogma tidak bisa dilepaskan dengan etik, iman tidak bisa dilepaskan dengan perbuatan. Agama, yang sempat dipertanyakan oleh Kartini tentang keberadaan dan fungsinya, terlihat berguna manakala bisa memberikan solusi bagi persoalan-persoalan kemanusiaan dan diwujudkan dalam hidup yang harmonis antar manusia. (Th. Sumarna, 1993: 95).

Pram juga membahas tentang agama dan Tuhan dalam pandangan Kartini. Menurut Pram, dalam beragama, “Ia adalah seorang religius, tanpa berpegang pada bentuk-bentuk keibadahan ataupun syariat. Jadi ia termasuk seorang Javanis Jawa, atau golongan kebatinan, dimana Tuhan dipahami sebagai sumber hidup yang mengikat setiap orang dengan-Nya, tidak peduli apapun agama yang dianutnya, bahkan juga bagi si atheis sekali pun…ia dapat menerima agama apapun…” tulis Pram.

Ia melanjutkan, “Memang Kartini banyak bicara tentang religi, tetapi sebenarnya ia lebih banyak seorang humanis, yang melihat segala dari jurusan kepentingan manusia: Amal manusia kepada manusia sebagai dasar moral modern.” Pram menyebut Kartini sebagai humanis religius. (Pram, 2010: 260-261).

Dalam buku Gedachten van RA Kartini als Richtsnoer voor de Indische Vereeniging yang ditulis oleh Raden Mas Notosoeroto, sebagaimana dikutip Pram, sosok Kartini memang disebut sebagai sosok yang religius dan teguh memegang keyakinannya. Namun, keteguhan imannya itu tidak kaku dan beku, sehingga tidak menempatkan agama-agama lain yang juga berjuang untuk amal kemanusiaan dan memajukan kemanusiaan sebagai setara dalam pengertian, inti semua agama itu sama: Kebajikan dan cinta sesame. (Pram, 2010: 263).

C.T Van Daventer, sebagaimana juga dikutip oleh Pram, dalam tulisannya di Majalah De Gids tahun 1911, juga menggambarkan tentang Tuhan dalam pandangan Kartini. “Kalau orang hendak tahu tentang Tuhannya Kartini, ya, dialah yang Tertinggi tanpa batas, yang menyebabkan orang-orang Islam, Kristen, dan Yahudi, bersaudara satu dengan yang lain, yang juga menyebabkan orang Brahma, bahkan juga orang kafir dijiwai bahwa kebajikan dan cinta merupakan ketentuan-ketentuan yang terutama.” (Pram, 2010: 263-264).

Kebanyakan surat Kartini yang membicarakan tentang Tuhan dan Agama ditujukan kepada Stella. Kartini berkirim surat kepada Stella dalam rentang waktu 1899-1903. Majalah Tempo, 12 Oktober 1987, menyebut tak semua surat-surat Kartini dimuat dalam DDTL atau Habis Gelap Terbitlah Terang.

Stella, tulis Tempo, hanya meminjamkan 14 pucuk surat dari 20 yang dimilikinya. Annie Glaser, orang yang disebut oleh Kartini banyak menceritakan spiritualisme gaib, sama sekali tak mau meminjamkan arsip surat-suratnya.

Sementara dalam Th Sumarna (1993), mengutip R. Niuwenhuijs, menyatakan bahwa ada surat-surat lain yang ditulis oleh Kartini kepada sahabat-sahabatnya yang sampe sekarang belum ditemukan. Di antaranya surat kepada; Letsy, Justus van Mauric, Johanna van der Woude, dan Snouck Hurgronje (Th. Sumarna, hlm. 34).

Belum lagi surat-surat  Kartini yang disensor oleh Abendanon, yang terkait dengan pengalamannya dalam okultisme dan mistisisme. Terkait spiritisme dan okultisme, Kartini sedikit menceritakan bahwa ia berkenalan dengan dunia itu dari  Van Kol.

Surat-surat yang tak ada dalam DDTL, kata Sumarna, ada dalam buku yang dihimpun oleh F.G.P Jaquet. Sementara itu, Dr. Joost Cote mengumpulkan secara lengkap surat-surat Kartini pada Stella. Sebagian isinya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dengan judul, “Aku Mau…Feminisme dan Nasionalisme: Surat-surat Kartini Kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903”. Buku ini diterbitkan pada tahun 1979, mengenang 100 tahun Kartini.

Jika melihat pandangan Kartini soal Tuhan dan agama dalam pandangan orang-orang yang juga setuju dengan paham humanisme dan pluralisme agama, tentu tak ada masalah bagi mereka, bahkan dipandang baik. Namun, jika melihat dalam kacamata akidah Islam, agama yang dianut oleh Kartini, surat-surat  Kartini sebagaimana tersebut di atas, tentu menimbulkan persoalan.

Sumarna sendiri menulis dalam bukunya, di kalangan ulama Islam pada masa itu, pandangan Kartini menimbulkan salah paham dan dianggap memusuhi agama Islam. Karenanya, Sumarna juga menilai surat-surat Kartini sangat polemis. (Th. Sumarna, 1993: 94).

Sekali lagi, dalam konteks ini, apa yang tercermin dalam surat-surat Kartini adalah seruan moral untuk hidup selaras dalam satu etika kemanusiaan, yang tidak mempersoalkan apa latarbelakang agamanya. Kartini dalam surat-suratnya tidak membicarakan tentang kesadaran nasional dalam konteks gerakan politik, karena pada masa itu kesadaran tersebut masih berada dalam kontrol ketat gerakan Politik Etis yang dilakukan oleh Snouck Hurgronje dan kawan-kawan.

Di samping itu, apa yang tercermin dalam surat-suratnya, adalah ungkapan perasaan dari apa yang dirasakannya di lingkungan terdekatnya. Sementara itu, kesadaran nasional dalam bentuk gerakan politik baru terlihat pada tahun-tahun setelah Kartini wafat, diantaranya dengan berdirinya Sarekat Dagang Islam (1905), Boedi Oetomo (1908), dan Sarekat Islam (1912).

Sebagaimana dijelaskan di atas, masa Politik Etis memberikan angin bagi banyaknya kelompok-kelompok dan orang-orang Eropa yang menganut paham humanisme, di antaranya adalah kelompok yan tergabung dalam Ordo East of Star (Ordo Bintang Timur) dan Teosofi. Ridwan Saidi dalam buku Fakta dan Data Yahudi di Indonesia menyebut bahwa ada sosok yang mendekat kepada Kartini setelah ia menolak tawaran beapelajar ke negeri Belanda. Sosok itu adalah seorang perempuan Yahudi bernama Josephine Hartseen.

Tak berbeda dengan Ridwan Saidi, Pram juga menyebut nama itu, yang menyatakan bahwa Hartseen adalah seorang penganut Teosofi dan Spiritisme. Bisa dikatakan, orang-orang yang mendakat kepada Kartini pada masa itu adalah; Yahudi, penganut Teosofi, pelaku okultisme dan spiritisme, aktifis feminis, aktivis sosial demokrat, dan penggerak Politik Etis.

Kartini sendiri, dalam salah satu suratnya kepada Ny Abendanon, 24 Agustus 1902, menceritakan, “Orang yang tidak kami kenal secara pribadi hendak membuat kami mutlak menjadi penganut Teosofi. Dia bersedia memberi kami keterangan mengenai segala macam kegelapan di dalam pengetahuan itu. Orang lain yang juga tidak kami kenal menyatakan bahwa tanpa kami sadari sendiri, kami adalah penganut Teosofi.”

Dalam suratnya sebulan kemudian, 15 September 1902, kepada Ny Abendanon, Kartini melanjutkan, “Pagi harinya kami pergi ke Semarang, di tram kami mendengar banyak, dan apa yang kami alami pada malam itu, akan  kami ceritakan kepada kami kemudian dengan panjang lebar, sekarang itu kami lewati dengan diam-diam. Hari berikutnya kami berbicara dengan Presiden Perkumpulan Teosofi, yang bersedia member keterangan kepada kami, lagi-lagi kami mendengar banyak yang membuat kami berpikir.”

Tahun 1979, dalam rangka mengenang 100 Tahun Kartini, Ny. Eleanor Roosevelt, istri dari Presiden AS, Franklin D. Roosevelt, yang juga anggota Ordo East of Star, menulis sambutan dalam sebuah buku dengan menyatakan, “Saya senang sekali memperoleh pandangan-pandangan yang tajam yang diberikan oleh surat-surat ini. Satu catatan kecil dalam surat itu, menurut saya merupakan suatu hal yang patut kita semua ingat. Kartini katakan: Kami merasa bahwa inti semua agama adalah hidup yang benar, dan bahwa semua agama itu baik dan indah….” (Aristides Katoppo (ed), Satu Abad Kartini (1879-1979), Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1979).

Dari latarbelakang hidup, pengalaman dalam interaksi surat menyurat, dan kondisi politik dimana Kartini hidup pada masa itu, maka ada sebagian orang yang menilai bahwa upaya menjadikan Kartini sebagai tokoh pejuang emansipasi perempuan, tak lepas dari hal itu semua.

Sejarawan senior Dr Taufik Abdullah, dalam kata pengantar buku yang ditulis oleh Th. Sumarna menulis, “pengalaman empiris yang telah mengalami proses mitologisasi, mitos pun diperlakukan sebagai “sejarah yang sewajarnya” (Th. Sumarna, 1993: XIII).

Taufik melanjutkan, “Tak banyak memang “pahlawan” kita resmi atau tidak resmi yang dapat menggugah keluarnya sejarah dari selimut mitos yang mengitari dirinya. Sebagaian besar dibiarkan aman tenteram berdiam di alam mitos—mereka adalah “pahlawan” dan selesai masalahnya.

RA Kartini adalah pahlawan tanpa henti yang membiarkan dirinya menjadi medan laga antara mitos dan sejarah. Pertanyaan selalu dilontarkan kepada  selimut makna yang menutupinya. Siapakah ia sesungguhnya? Apakah ia hanya sekadar hasil rekayasa Politik Etis pemerintah kolonial yang ingin menjalankan Politik Asosiasi?” (Ibid., hlm. XV).

Pendapat serupa juga dinyatakan oleh Prof W Harsja Bachtiar, sejarawan Universitas Indonesia. Dalam Majalah Tempo, 22 April 1989, Prof. Harsja menulis, “Penonjolan Kartini sebagai tokoh pendidikan wanita pada masa itu sesuai dengan Politik Etis Belanda.”

Dalam buku Satu Abad Kartini yang disusun oleh Aristides Katoppo (1979), Prof. Harsja juga membuat tulisan berjudul “Kartini dan Peranan dalam Masyarakat Kita,” yang pada intinya juga mengeritisi soal penokohan Kartini dan penempatannya sebagai pahlawan. Mitos dan rekayasa, menjadi dua kata penting yang menjadi pembahasan Dr. Taufik Abdullah dan Prof. Harsja W. Bahctiar. Tentu sikap kritis itu dilandaskan pada kesadaran dalam memahami sejarah, agar utuh tanpa selubung yang menutupinya.

Kartini tentu ada jasanya, dan itu tidak bisa dinapikan. Namanya sudah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Namun, sebagai “tokoh sejarah”, latarbelakang kehidupan dan alam pikirannya, tentu harus diketahui secara utuh oleh masyarakat.

Karena, bisa jadi hal itu saling terkait dengan kedudukannya sebagai orang yang “ditokohkan” dalam ranah perjuangan emansipasi perempuan. Tulisan ini bukan untuk menggugat, tetapi setidaknya menurut pandangan penulis, memberikan sedikit informasi sejarah yang selama ini mungkin belum banyak diketahui, terutama oleh generasi saat ini.*

Penulis seorang wartawan dan buku-buku sejarah

No comments: