Kisah Sufi: Timur Agha dan Bahasa Binatang

Kisah Sufi: Timur Agha dan Bahasa Binatang
kisah ini dikaitkan (dalam bentuk awalnya) dengan Abu Ishak Chishti, pemimpin tarekat Darwis Menyanyi (Singing Dervishes) pada abad kesepuluh. Foto/Ilustrasi: Ist
Kisah berikut ini dinukil dari buku berjudul "Tales of The Dervishes" karya Idries Shah yang diterjemahkan Ahmad Bahar menjadi "Harta Karun dari Timur Tengah - Kisah Bijak Para Sufi".

Pada zaman dahulu, ada seorang Turki bernama Timur Agha. Ia mencari orang yang bisa mengajarinya bahasa binatang dan burung. Ia mencari ke berbagai desa dan kota, dusun dan negeri.

Ke mana saja ia berkelana, diadakannya penyelidikan tersebut. Akhirnya ia mengetahui bahwa Najmuddin Kubra yang Agung telah memiliki kemampuan berbicara dengan binatang dan burung. Dan ia pun mencari salah seorang pengikut langsung Sang Agung agar bisa mempelajari pengetahuan gaib itu, pengetahuan Sulaiman .
Akhirnya, karena telah mengembangkan nilai kelaki-lakian dan kemurahan hati, ia menyelamatkan hidup seorang darwis tua lemah yang bergelantungan pada tali jembatan di sebuah bukit, dan yang berkata, "Nak, Aku Bahaudin Sang Darwis, dan telah kubaca pikiranmu. Sejak saat ini, kau akan bisa berbahasa binatang." Timur berjanji tak akan menceritakan rahasia itu kepada orang lain.

Timur Agha pun pulang dan bergegas ke kebunnya. Segera ia bisa mempergunakan kemampuan barunya itu. Seekor lembu dan seekor keledai sedang berbincang-bincang, dalam cara mereka sendiri.

Si Lembu berkata, "Aku harus menarik bajak, dan tugasmu hanya pergi ke pasar. Karena itu, kau pasti lebih pandai dariku; berilah aku jalan keluar dari masalah ini."

"Yang harus kau lakukan," kata Si Keledai yang cerdik," hanya rebah dan berpura-pura sakit perut. Aku jamin, Si Petani akan merawatmu, sebab kau seekor binatang berharga. Ia akan biarkan kau mengaso dan memberimu makan lebih banyak." Namun, tentu saja, Timur menguping percakapan mereka. Ketika lembu jantan itu merebahkan diri, Timur berseru keras-keras, "Malam ini aku akan membawa lembu itu ke tukang daging, kecuali kalau sakitnya sembuh dalam setengah jam." Dan begitulah, lembu itu pun tiba-tiba sangat sehat!

Hal itu membuat Timur tertawa tergelak, dan istrinya yang berwatak ingin tahu dan perajuk bersikeras ingin mengetahui kenapa suaminya itu tertawa-tawa. Tetapi karena sudah janji, Si Petani pun menolak memberitahukannya.

Keesokan hari, mereka pergi ke pasar; petani itu jalan kaki, istrinya duduk di atas keledai, dan anak keledai mengikuti di belakang. Anak keledai itu meringkik, dan Timur menyadari bahwa ia berbicara kepada induknya, "Aku tak bisa jalan lebih jauh lagi, biarkan aku naik ke punggungmu." Ibunya menjawab, dalam bahasa keledai, "Ibu membawa istri Si Petani, dan kita hanyalah binatang, ini sudah takdir kita dinaiki manusia; tak ada yang bisa kulakukan untuk membantumu, Nak."

Timur pun seketika menyuruh istrinya turun dari keledai agar binatang itu bisa mengaso. Mereka singgah di bawah sebuah pohon. Sang istri marah, namun Timur berkata, "Aku pikir sudah waktunya kita istirahat."

Si keledai pun berkata kepada diri sendiri, "Orang ini mengetahui bahasa kami, bahasa binatang. Ia pasti menguping percakapanku dan Si Lembu, dan itu sebabnya ia mengancam akan membawanya ke tukang daging. Tetapi, ia tidak menghukumku, dan malahan tipu dayaku dibalasnya dengan kebaikan."

Si keledai pun meringkik, "Terima kasih, Tuan." Timur tertawa atas rahasia yang disimpannya, tetapi istrinya yang tidak mengerti, merasa geram.

"Sepertinya kau mengetahui sesuatu tentang cara binatang-binatang ini berbicara," kata sang istri. "Kau bercanda; mana ada orang yang bisa mendengar binatang berbicara?" tanya Timur.

Ketika mereka pulang ke rumah, Si Petani mengalasi tempat tidur Si Lembu menggunakan jerami segar yang dibelinya di pasar, dan binatang itu pun berkata, "Istri Tuan tak henti memancing agar Tuan membocorkan rahasia itu, dan kalau terus berlanjut, cepat atau lambat rahasia Tuan pasti terbongkar. Apabila Tuan menyadarinya, Tuanku yang malang, Tuan bisa membuatnya mengubah kelakuannya itu agar rahasia Tuan tetap terjaga; yang harus Tuan lakukan hanyalah mengancam akan memukulnya dengan tongkat yang tidak lebih tebal daripada jari kelingking Tuan."

"Tak kusangka," pikir Timur, "bahwa Si Lembu yang kuancam akan kubawa ke rumah sembelih, ternyata memikirkan kepentinganku."

Kemudian, ia pun menemui istrinya sambil membawa sebuah tongkat kecil, katanya, "Apa kau mau mengubah kelakuanmu? Mau tidak kau berhenti mengajukan pertanyaan bahkan ketika kau lihat aku tertawa sekonyong-konyong?"

Istrinya itu benar-benar ketakutan, sebab suaminya belum pernah sekalipun berkata seperti itu kepadanya sebelumnya. Petani itu tak pernah memberitahukan rahasianya kepada istrinya, dan ia pun terhindar dari takdir mengerikan yang menimpa orang-orang yang membocorkan rahasia kepada orang lain yang belum siap untuk mendengarkannya.

Konon, Timur Agha mempunyai kemampuan untuk memahami arti penting dalam segala sesuatu yang sepintas tampaknya tidak penting. Kisah ini dianggap mengandung 'baraka' berkah bagi penutur maupun pendengamya, dan oleh karena itu digemari di negeri-negeri Balkan dan Timur Dekat Banyak kisah-kisah Sufi yang tersamar sebagai cerita dongeng.

Idries Shah mengatakan kisah ini dikaitkan (dalam bentuk awalnya) dengan Abu Ishak Chishti, pemimpin tarekat 'Darwis Menyanyi' (Singing Dervishes) pada abad kesepuluh.

(mhy) Miftah H. Yusufpati

No comments: