Kisah Menakjubkan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani pada Masa Kecilnya

Kisah Menakjubkan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani pada Masa Kecilnya
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani saat belajar di masa kecilnya pernah dilanda krisis pangan yang sangat hebat. Foto ilustrasi/ist
Kebanyakan dari kita mungkin hanya mengenal nama dan cerita karomah beliau saja. Nyaris buta sejarah perjuangan ulama besar yang sarat dengan keteladanan ini.

Bagaimana kisah Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani pada masa kecilnya, berikut kisahnya diceritakan Pengasuh Ma'had Subulana Bontang Kalimantan Timur Ustaz Ahmad Syahrin Thoriq dalam satu kajiannya.

Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani (wafat 561 Hijriyah atau 1167 M) dikenal sebagai ulama panutan yang merupakan simbolnya para Wali. Beliau digelari Sulthanal Auliya (pemimpin para Waliyullah) karena keluasan ilmu beliau.

Ketika Syaikh Abdul Qadir Jailani rahimahullah masih kecil atau usia belajar, Baghdad pernah dilanda krisis pangan yang sangat hebat. Akibatnya banyak orang yang mengalami kesulitan meski sekadar mencari makanan pengganjal perut, termasuk yang dialami beliau.

Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani menceritakan sendiri kondisi yang beliau alami.

وكنت أقتات بخروب الشوك، وورق الخس من جانب النهر

"Aku pernah makan sisa daun kol dan juga daun selada yang aku punguti dari tepi sungai."

Pernah suatu hari seperti biasa karena sedang lapar, beliau pun pergi ke tepi sungai tempat beliau memunguti sisa sayur mayur. Tapi ternyata kali ini beliau mendapati tempat itu telah didatangi oleh banyak orang-orang miskin yang juga sedang kelaparan.

Syaikh Abdul Qadir kecil pun berlalu pergi dari tempat itu, padahal saat itu ia merasakan kelaparan yang sangat. Akhirnya memilih kembali ke madrasahnya dan beriktikaf di dalam masjid dalam keadaan lapar yang tak tertahankan.

Beliau mengungkapkan keadaaannya saat itu:

وكدت أصافح الموت

"Sepertinya keadaanku saat itu sudah dihampiri oleh kematian."

Ketika Syaikh Abdul Qadir dalam keadaan seperti itu tiba-tiba ada seorang pemuda masuk ke masjid membawa beberapa potong roti dan daging panggang. Ia duduk di tempat yang tak jauh dari Abdul Qadir muda, lalu mulai melahap makanan yang ia bawa.

Saat itu, tak sadar mulut beliau ikut terbuka karena benar-benar merasa kelaparan. Tiba-tiba sang pemuda menoleh kepada beliau seraya berkata: "Bismillah. Makanlah wahai saudaraku."

Awalnya beliau menolak, namun pemuda itu mendesak sampai ia bersumpah untuk memberikan makanannya kepadanya. Akhirnya Syaikh Abdul Qadir makan sebagian makanan yang diberikan kepadanya.

Sang pemuda lalu melontarkan beberapa pertanyaan kepada beliau tentang apa pekerjaannya dan dari mana asalnya. Syaikh Abdul Qadir kecil pun menjawab pertanyaan dengan menjelaskan bahwa ia adalah penuntut ilmu dari daerah Jailan.

Sang pemuda lalu berkata:

وأنا من جيلان، فهل تعرف لي شابا جيلانيا اسمه عبد القادر، يعرف بسبط أبي عبد الله الصومعي الزاهد؟

"Aku juga dari Jailan! Apa engkau mengetahui seorang pemuda yang bernama Abdul Qadir. Dia dikenal sebagai cucu Abdillah Shauma'i az Zahid?"

Syaikh Abdul Qadir menjawab: "Itu adalah aku."

Mendengar jawaban itu, entah mengapa sang pemuda itu tiba-tiba gemetaran dan wajahnya berubah menjadi merah. Lalu dengan suara parau ia berkata:

والله يا أخي! لقد وصلت إلى بغداد، ومعي بقية نفقة لي، فسألت عنك، فلم يرشدني أحد إلى أن نفذت نفقتي، وبقيت بعدها ثلاثة أيام لا أجد ثمن قوتي إلا من مالك، فلما كان هذا اليوم الرابع، قلت: قد تجاوزتني ثلاث أيام، وحلت لي الميتة

"Demi Allah wahai saudaraku. Aku tiba di Baghdad, sedangkan bersamaku hanya ada sedikit bekal yang tersisa. Aku telah bertanya tentang dirimu, tetapi tidak ada yang bisa menunjukkanku kepadamu. Bekalku pun habis. Selama tiga hari ini, aku tidak mempunyai uang untuk makan, selain uang milikmu yang dititipkan oleh keluargamu yang ada padaku. Ini hari ke empat, dan bagiku hartamu saat ini seperti bangkai yang telah halal bagiku karena darurat."

فأخذت من وديعتك ثمن هذا الخبز والشواء، فكل طيبا، فإنما هو لك، وأنا ضيفك الآن

"Maka aku mengambil uang titipan untukmu, seharga roti dan daging panggang ini. Sekarang, makanlah dengan tenang. Karena ia adalah milikmu. Aku sekarang adalah tamumu, yang sebelumnya kamu adalah tamuku."

Pemuda itu melanjutkan: "Ibumu telah menitipkan kepadaku uang 8 Dinar (Rp32 juta) untukmu. Aku tidak mengkhianatimu dalam hal ini sedikitpun."

Syaikh Abdul Qadir Jailani menjawab dengan jawaban lembut, menenangkan pemuda itu dengan mengatakan bahwa beliau tidak mempermasalahkan. Lalu ia memberikan sebagian uang yang tersisa dan makanan kepada pemuda tersebut.

Referensi:
Siyar A'lam Nubala (20/444-445)

(rhs)Rusman H Siregar

No comments: