Keteguhan Imam Sa’id Bin Musayyab

Khalifah Abdul Malik Bin Marwan telah menggunakan berbagai cara menalukkan hati Imam Sa’id bin Musayyab, dari yang lembut sampai yang kasar, namun beliau tetap dengan keteguhan

AKU biasa bertandang ke majelis pengajian Imam Sa’id bin Musayyab (ulama besar dari kalangan tabi’in yang tinggal di Madinah) , demikian dituturkan oleh Abu Wida’ah. Suatu saat aku tidak menghadiri majelis ini hingga beberapa hari. Ketika aku bertemu lagi dengan beliau, beliau bertanya;

“Ke mana saja kamu?”

“Istri saya meninggal dunia. Saya sibuk mengurus jenazahnya,” jawabku.

“Mengapa kamu tidak mengabariku, kan aku bisa hadir pada penguburannya,” ucapnya.

Setelah pengajian berakhir, aku berniat pulang dan hendak bangkit berdiri. “Mbok ya kamu cari perempuan lain sebagai ganti mendiang istrimu,” ujar sang imam.

“Siapa pula yang mau menikahkan putrinya dengan saya, wong saya tidak punya apa-apa kecuali dua atau tiga dirham,” tukasku.

“Kalau aku menikahkan kamu (dengan putriku), kamu mau?”

“Mau, mau, tentu saya mau, Imam,” jawabku.

Prosesi akad nikah pun berlangsung saat itu juga. Dimulai dengan malafalkan hamdalah (alhamdulillah) dan shalawat kepada Nabi ﷺ.

Beliau lalu mengucap ijab, menikahkan aku dengan putrinya, dengan mas kawin dua dirham. Seusai menjawab dengan kalimat qabul, aku berdiri.

Oh, alangkah bahagianya aku. Aku pulang dengan perasaan gembira.

Begitu bahagianya aku sehingga tak tahu harus berbuat apa. Sampai di rumah aku berpikir tentang Imam Sa’id, orang yang telah mengajariku ilmu dan membimbingku cara beragama yang baik.

Kala itu aku berpuasa. Waktu Maghrib tiba aku shalat dulu baru berbuka.

Kuambil menu bukaku, yaitu roti dan minyak zaitun. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu.

“Siapa?” tanyaku.

“Sa’id,” terdengar jawaban dari balik pintu.

Aku berpikir keras, mencoba mengingat-ingat setiap orang bernama Sa’id yang kukenal. Kusebut satu per satu dalam batinku kecuali satu orang, yaitu Imam Sa’id bin Musayyab.

Beliau sama sekali tak kuperhitungkan karena selama empat puluh tahun beliau tidak pernah terlihat pergi ke mana-mana kecuali bolak-balik masjid dan rumah. Aku bangkit dan keluar.

Ah, ternyata aku salah duga. Yang mengetuk pintu adalah Tuan Guru Sa’id bin Musayyab.

Perasaanku mulai tak enak. Jangan-jangan beliau berubah pikiran.

“Wahai Tuan Guru Aba Muhammad, mengapa engkau tidak menyuruh orang untuk memanggilku, biar aku yang datang ke rumahmu,” kataku.

“Tidak,” jawabnya. “Engkau lebih berhak kudatangi.”

“Ada apa gerangan? Apa yang hendak engkau perintahkan padaku?”

“Kulihat engkau telah menjadi lajang, padahal aku telah menikahkanmu. Jadi, aku tidak mau kamu menghabiskan malammu seorang diri. Inilah istrimu,” katanya.

Oh, ternyata di belakang Syeikh ada seorang perempuan yang wajahnya tertutup cadar. Tadi dia tidak tampak olehku, karena terhalang oleh tubuh Tuan Guru yang tinggi.

Beliau pun kemudian mendorong sang puteri masuk ke dalam rumah, lantas cepat-cepat menutup pintu. Gadis itu, yang kini telah resmi menjadi istriku, langsung terjatuh karena malu.

Aku naik ke loteng, lalu berteriak memanggil para tetangga. Akhirnya mereka pun berdatangan.

“Ada apa dengan kamu?” tanya mereka.

“Hari ini Imam Sa’id bin Musayyab menikahkan aku dengan putrinya. Beliau telah membawa putrinya ke sini. Sekarang gadis itu ada di pintu.”

Orang-orang turun untuk menemui istriku. Ibuku, yang akhirnya juga mendengar kabar tersebut, datang juga.

“Aku haramkan engkau bertemu denganku jika kamu menyentuhnya sebelum aku merawat tubuhnya selama tiga hari,” katanya.

Akhirnya aku menurut. Selama tiga hari aku tidak mendekati istriku.

Setelah tiga hari berlalu aku masuk ke kamarnya. Amboi, ternyata dia seorang gadis yang sangat cantik.

Kecantikan istriku sungguh tiada tara. Tak cuma itu, ternyata dia juga hafal Al-Quran, dan sangat tinggi ilmunya di dalam bidang hadits.

Dia pun sangat tahu mengenai hak-hak suami. Aku merasa sungguh beruntung memperistri dia.

Kini aku mendapat pendamping baru dan hari-hari terus berlalu. Tak terasa sudah sebulan berlalu sejak aku menikah dengan putri Imam Sa’id.

Selama itu, mertuaku tidak pernah mengunjungiku, dan aku juga tidak mendatanginya. Timbul rasa rindu di hati dengan beliau.

Aku datang ke halaqah atau majelis pengajiannya di masjid. Kuucapkan salam padanya.

“Assalamu alaikum,” ucapku.

“Wa alaikumus salam,” jawabnya Imam Sa’id.

Imam Sa’id tidak berkata apa pun padaku. Setelah semua jama’ah pengajian meninggalkan masjid, dan kini hanya tinggal aku berdua dengannya.

“Bagaimana keadaan orang itu?,” tanya beliau.

“Keadaannya sesuai dengan yang diharapkan seorang teman dan yang tidak disukai oleh musuh,” jawabku.

Yang dimaksud sang Imam dengan panggilan “orang” tak lain ialah Khalifah Abul Malik bin Marwan. Dia telah meminang gadis yang kini menjadi istriku untuk disandingkan dengan putranya, Walid, ketika dia dinobatkan sebagai putra mahkota.

Imam Sa’id menolak pinangan tersebut. Sejak itu, tiada henti-hentinya Abdul Malik melakukan berbagai usaha untuk membujuk dan memaksa Tuan Guru supaya menerima pinangannya.

***

Imam Said bin al-Musayyab adalah salah satu ulama yang hidup pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Kecerdikan Malik bin Marwan beserta para pembantunya, rupanya tidak mampu menaklukan Said bin al-Musayyab karena rasa cinta dan sikap rendah hatianya.

Dalam Kitab Al-Islam baina al-Ulama wa al-Hukkam disebutkan bahwa salah satu hal yang menjadikan Abdul Malik bin Marwan kecewa adalah ketika dia menawarkan uang kepada Said bin al-Musayyab sebanyak tiga puluh ribu dirham sebagai hadiah, namun ditolaknya.

“Saya tidak membutuhkannya dan tidak membutuhkan Bani Marwan hingga saya bertemu Allah dan mengadili antara saya dan mereka,”begitu jawabnya.

Dan Ketika Khalifah Malik bin Marwan menemuinya Sa’id bin al-Musayyab dengan tujuan ingin menikahkan putranya Al-Walid dengan putri Sa’id al-Musayyab, juga ditolaknya. Hal ini karena Sa’id tidak ingin mempunyai hubungan kekeluargaan dengannya.

Bahkan Sa’id juga tidak peduli dengan resiko yang terjadi selanjutnya, ketika menolak tawaran tersebut. Karena bagi Sa’id, pendekatan tersebut tidak sesuai dengan kehendak Allah Swt.

Imam Sa’id tahu, bahwa itu adalah bagian dari cara menarik dirinya agar masuk ke dalam barisan pemerintahan. Berbagai cara telah dilakukan Marwan, termasuk memukuli Imam Sa’id di tengah cuaca dingin dan mengguyurnya dengan air.

Sekali pun begitu, Imam Sa’id bergeming. Seperti itulah keteguhan hati Sang Imam!*/(Kisah pernikahan putri Imam Sa’id bin al-Musayyab ini dijelaskan dalam kitab Hilyatul Auliya’ wa Thabaqat al-Asfiya’ karya Abu Nu’aim al-Asfahani)

Rep: Admin Hidcom
Editor: -

No comments: