Hikayat Prajurit 313

Tiga ratus tiga belas laskar Thalut atau “prajurit 313” yang militan di tengah haus dan terik padang pasir meraih kemenangan, kunci penting kemenangan haq atas bathil 

DI DEKAT perigi Abu Inabah, Qays bin Abi Sha’sha’ah menghitung prajurit satu per satu. “Tiga ratus tiga belas,” katanya melapor kepada Rasulullah Muhammad ﷺ. “(Ini) jumlah prajurit Thalut,” sabda Rasulullah dengan nada gembira.

Kisah ini ditulis oleh Ibnu Sa’ad, sejarawan muslim terkemuka di abad-abad awal Islam. Dialog Rasulullah dengan Qays itu jarang diekspos dalam sejarah yang biasa kita baca.

Mungkin karena hanya sebuah peristiwa kecil yang tidak terlalu diperhitungkan dibanding Perang Badar yang meletus beberapa hari kemudian.

Dialog kecil itu terjadi pada pertengahan Ramadhan 2 Hijriah, pada saat Rasulullah berangkat ke Badar untuk bertempur melawan Qurays. Sebagai sebuah dialog militer, percakapan ini cukup ganjil dan  melepas kalkulasi.

Rasulullah ﷺ melakukan analogi historik antara pasukan Badar dan prajurit pimpinan Thalut, ratusan tahun sebelumnya. Disebutkan dalam kisah Bani Israil, bahwa Thalut membawa pasukan untuk bertempur melawan Jalut, penguasa korup dari klan Amaliqah yang menguasai Tanah Palestina waktu itu.

Kisah Thalut disebut dalam Surah al-Baqarah 246-252 dengan ayat yang cukup panjang. Dalam Al-Qur’an tidak menyebutkan secara pasti berapa jumlah tentara Thalut.

Tapi, secara tersirat diterangkan bahwa kubu Thalut berada dalam posisi underdog, mungkin karena personel militernya sedikit dan perlengkapan perangnya yang minim.

Dalam beberapa kisah—seperti yang juga diterangkan dalam Hadits Nabi—disebutkan bahwa pasukan Thalut berjumlah tiga ratus tiga belas orang. Mereka adalah prajurit-prajurit bermental tangguh dan teruji menahan haus.

Konon, pada mulanya Thalut mengerahkan delapan puluh ribu pasukan untuk menghadapi tentara Amaliqah pimpinan Jalut. Mereka melintasi padang pasir yang sangat luas di musim panas.

Terik dan haus mencekik, tapi Thalut bilang: “Sesungguhnya Allah akan menguji kalian dengan sebuah sungai.”

Syahdan, mereka betul-betul menemukan sungai yang mengalir jernih di tengah terik padang pasir yang kering. Tapi, Thalut melarang prajuritnya minum kecuali sekedar cidukan tangan: sebuah ujian berat untuk ketangguhan ruhani mereka.

Dari delapan puluh ribu, hanya tiga ratus tiga belas prajurit yang mentaati seruan Thalut. Dan, beberapa saat kemudian, prajurit yang tidak taat perintah menyatakan tidak sanggup menghadapi pasukan musuh yang begitu besar.

Mereka pulang dan Thalut berangkat dengan sisa pasukannya yang tinggal tiga ratus tiga belas orang. Kisah berakhir dengan mengejutkan, tiga ratus tiga belas tentara Thalut memenangkan pertempuran bahkan berhasil membunuh Jalut yang konon berbaju besi dan bertubuh raksasa.

Ada beberapa titik esensial yang menjadi benang merah antara Perang Badar dan pertempuran Thalut. Benang merah itu yang disinergikan dengan sangat jitu oleh Rasulullah dalam dialognya dengan Qays di perigi Abu Inabah, melalui angka tiga ratus tiga belas.

Allah menyebut Perang Badar dengan Yawm al-Furqan (Hari Pemisah). Dalam surat al-Anfal: 41, Allah berfirman: … Jika kalian beriman kepada Allah dan kepada apa yang Aku turunkan kepada hamba-Ku di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan…

Term al-Furqan dimaksudkan sebagai pemisah antara kebenaran dan kebatilan.  Selain, Perang Badar, Allah juga menyebut Kitab Suci al-Qur’an dengan term al-Furqan. Allah berfirman: Mahasuci Allah yang telah menurunkan al-Furqan kepada hamba-Nya. (QS al-Furqan: 1)

Kenapa Al-Qur’an dan Badar? Al-Qur’an dan Perang Badar sama-sama menjadi pemisah antara haq dan bathil, bahwa kebenaran pasti memiliki supremasi terhadap kebatilan, seperti difirmankan Allah dalam QS al-Isra: 81. Bedanya, supremasi kebenaran yang diperankan al-Qur’an adalah supremasi argumentatif (i’jaz burhani, adabi, dsb). Sedangkan supremasi kebenaran dalam Badar adalah simbol supremasi fisik.

Nuzul al-Qur’an dan Perang Badar sama-sama terjadi di bulan Ramadhan. Dalam ajaran Islam, bulan ini adalah bulan suci. Muslimin wajib berpuasa.

Abd al-Karim al-Khathib dalam Tafsir al-Qur’ani li al-Qur’an menyatakan bahwa bulan Ramadhan merupakan bulan yang sangat tepat diwajibkan puasa, karena pada bulan itu al-Qur’an diturunkan.

Jadi, sangat tepat untuk merangsang religiusitas dan ketulusan kepada Tuhan dalam diri manusia. Dan yang terpenting lagi, kata al-Khathib, adalah membersihkan mental umat manusia dari kabut dan debu materialistik.

Al-Khathib mengikat begitu kuat hubungan Ramadhan dan al-Qur’an dalam upaya membangun mentalitas umat. Dan sebetulnya, Perang Badar juga memiliki latar belakang sejarah yang sangat kuat untuk menjadi terapi pembersihan ruhani dari kabut materialistik.

Secara analogis, prajurit Badar memiliki kesamaan dengan laskar Thalut dalam beberapa segi yang sangat prinsipil.

Pertama, Badar dan Thalut merupakan simbol bahwa supremasi kebenaran tidak terikat dengan materi. Tiga ratus tiga belas laskar Badar dengan perlengkapan seadanya dapat memukul mundur seribu pasukan Qurays dengan senjata “canggih”.  Begitupula, laskar Thalut.

Kedua, Badar dan Thalut merupakan pelajaran sejarah bahwa kemenangan al-haq atas al-bathil bukan supremasi kuantitas, tapi kualitas. Dalam kelanjutan kisah Thalut di Surah al-Baqarah, Allah berfirman:

 قَالَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو اللَّهِ كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ

“Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah, berkata: “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar”. (QS: Al-Baqarah: 249)

Bagi kebenaran, sedikit jadi tangguh, bila banyak tidak rapuh.

Ketiga, untuk menang, kebenaran butuh militansi. Militansi yang sangat hebat telah ditunjukkan, baik oleh para Shahabat Nabi dalam Perang Badar atau oleh laskar Thalut di medan Amaliqah.

Dalam Perang Badar, laskar Rasulullah ﷺ tidak dipersiapkan untuk menghadapi seribu tentara Qurays, tapi untuk menghadang kafilah Abu Sufyan yang jumlahnya hanya sekitar tujuh puluh orang.

Ketika tersiar kabar bahwa yang datang adalah seribu tentara Qurays, Rasulullah menanyakan kesediaan mereka untuk menghadapinya. “Demi Allah, kalau engkau pergi ke ke Bark al-Ghimad sekalipun, kami akan mengikutimu. Demi Allah, jika engkau menyelami laut ini, kami juga akan ikut menyelaminya,” tegas mereka dengan mantap.

Tiga ratus tiga belas laskar Thalut juga memiliki militansi yang tak kalah hebat. Di tengah sengatan rasa haus dan terik padang pasir yang sangat panas, mereka tidak menumpahkan nafsu minumnya di tengah godaan oase dingin nan jernih, hanya karena sebuah instruksi seorang Thalut yang sepintas tidak rasional. Militansi yang hebat.

Alhasil, militansi merupakan salah satu kunci penting kemenangan haq atas bathil.  Agar izz al-Islam wa al-muslimin bisa tercapai, satu kunci pentingnya adalah militansi. Militansi perlu diuji dengan melepas keterpakuan kita pada nafsu dan materi.

Laskar Thalut berhasil melewati bongkahan nafsu dan materi. Begitu pula, Ramadhan para shahabat di Badar. Dan, untuk bulan Ramadhan kita di sini, mari kita tumbuhkan militansi, enyahkan nafsu dan keterpakuan pada materi. Untuk menang, kita harus ber-“puasa” di tengah oase modernitas yang begitu menggoda. Jadilah muslim militan, kita pasti menang. Ala inna nashra-Llah qarib.*/M Dairobi

Rep: Admin Hidcom
Editor: -

No comments: