Hari Pahlawan dan Problem Keteladanan

Para ulama dari berbagai ormas Islam adalah para perancang persiapan kemerdekaan NKRI

Memperingati Hari Pahlawan tak cukup menyebarkan flyer dan baliho “Pahlawanku, Teladanku”, tapi perlu keteladanan para pemimpin negeri ini

Qosim Nurseha Dzulhadi

KAMIS, 10 November 2022, saya berkesempatan mengisi satu agenda penting yang dihelat oleh Aliansi Ormas Islam Pembela Masjid Sumatera Utara, di Masjid al-Jihad, Jln. Abdullah Lubis, Medan. Agendanya: “Tabligh Akbar Peringatan Hari Pahlawan”.

Acara yang menarik ini diisi oleh beberapa tokoh dan ulama Sumatera Utara. Kemudian diakhiri dengan muhasabah, doa dan buka bersama.

Sebagai salah satu pembicara dalam agenda itu, penulis menyampaikan beberapa hal penting seperti mengenang kembali nama-nama para pahlawan sebelum kemerdekaan Indonesia, misalnya: Sultan Badaruddin II, Sultan Syarif Kasim, Sultan Hasanuddin, Pangeran Diponegoro, dan banyak lagi.

Tentu saja, banyak tokoh penentang penjajah lainnya di negeri yang besar ini. Kita mengenal Teuku Umar, Teuku Cik di Tiro, Cut Nyak Dien, Laksamana Malahayati, Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Antasari, Pattimura, dan banyak lagi.

Di sana juga ada tokoh pergerakan yang hebat, sebut saja Panglima Besar Jenderal Soedirman. Disamping banyak tokoh besar lainnya sekelas H. Samanhudi, HOS Tjokroaminoto, Haji Agus Salim, M. Natsir, Buya Hamka, dan banyak lagi.

Tentu saja, selain Cut Nyak Dien, ada Dewi Sartika dan Rasuna Said. Bahkan, umat Islam patut berbangga dengan seorang wanita penting di negeri ini yang Pondok Pesantren Putrinya “menginspirasi” Universitas Al-Azhar untuk mendirikan Kulliyyat al-Banat (Universitas lengkap dengan asrama bagi mahasiswi). Dialah Rahmah El Yunusiyah (26 Oktober 1900-26 Februari 1969), pendiri Diniyah Putri di Sumatera Barat.

Peran wanita Muslimah hebat bergelar “Syaikhah” (Syeikh Wanita) ini melebihi perjuangan wanita manapun di Indonesia, utamanya dalam bidang pendidikan Islam bagi wanita. Bahkan, “Syaikhah” dari Padang ini merupakan pelopor pembentukan unit perbekalan TKR (Tentara Keamanan Rakyat).

Hilangnya keteladanan

Apa yang penulis sebutkan di atas hanya segelintir dari hebatnya peran para ulama, mujahid, dan pahlawan di negeri ini. Maka, sepatutnya mereka dijadikan “teladan” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya bagi para petinggi di negeri yang besar ini.

Karena diantara problem besar yang tengah dihadapi oleh bangsa ini adalah keringnya “mata air” keteladanan.

Ghirah perjuangan dalam membela agama dan negara, misalnya, kita dapat meniru Tuanku Imam Bonjol: orang tua, guru ngaji biasa, tetapi darahnya mendidih ketika sebuah masjid dimasuki kuda penjajah.

Pangeran Diponegoro: keturunan Nabi yang sangat murka ketika syariat Islam dilecehkan. Jadi, keliru jika kita mengatakan perang yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro hanya Perang Jawa. Ini salah fatal.

Syeikh Yusuf al-Makassari al-Bantani (1626-1699): seorang sufi yang ditakuti penjajah Belanda. Sehingga, ia harus dibuang ke Ceylon, Sri Langka (1682). Bahkan, pada 1694 harus dibuang kembali ke Afrika Selatan.

Tentu tak ketinggalan, tokoh hebat dan mentor para pendiri bangsa ini: HOS Tjokroaminoto (1883-1934). Oleh Hamka dikenang hebat ketika pada 1934 tokoh utama Sarikat Islam ini mangkat. Umat kehilangan tokoh penggerak dan lokomotif umat ini.

Dalam masalah keilmuan, banyak ulama-mujahid yang menjadi teladan generasi hari ini, seperti: KH. Ahmad Dahlan, Syeikh Ahmad Sorkati, Hadratus-Syeikh Hasyim Asy’ari, A. Hassan, bahkan Buya Hamka, dan yang lainnya.

Contoh dan teladan dalam hidup sederhana dapat diambil dari Haji Agus Salim: diplomat jenaka, ulung, jenius, tetapi tidak pernah memiliki rumah pribadi. Atau, Mohammad Natsir: seorang Perdana Menteri; pengurus utama Rabithah Alam Islamiy, tetapi jasnya “bertambal”. Bahkan, Perdana Menteri ini tak mampu menghutangi seseorang yang datang ke kantornya. Padahal ia seorang Perdana Menteri.

Tentu saja kehidupan para ulama, mujahid dan pahlawan lainnya tidak kita nafikan. Ini hanya sekadar contoh. Juga, tak dapat disebutkan satu persatu karena jumlah mereka begitu banyak. Butuh ribuan lembar kertas, bahkan jutaan lebih, untuk menuliskan jejak-rekam kehidupan mereka.

Belum lagi jika disebutkan para Pahlawan pra-perjuangan kemerdekaan. Tentu, generasi ini akan dibuat menangis. Ya, menangis karena sudah banyak yang “mengkhianati” cita-cita perjuangan mereka.

Karena generasi hari ini lebih cenderung menjadi generasi “penikmat” perjuangan dan pengorbanan para Pahlawan itu. Agaknya, buku Api Sejarah karya Prof. Ahmad Mansur Suryanegara harus dibaca berulang-ulang, didakwahkan, diajarkan bahkan jadi materi wajib sejarah perjuangan bangsa Indonesia, khususnya umat Islam.

Tulisan ini tentu sangat ringkas dan sederhana. Bahkan terkesan eklektik. Tetapi, ada satu poin penting yang ingin penulis tekankan, yaitu: problem keteladanan. Inilah di antara problem terbesar yang dihadapi oleh bangsa ini.

Para petingginya harus sungguh-sungguh menjadikan para pahlawan itu sebagai teladan istimewa. Karena memperingati Hari Pahlawan tak cukup hanya menyebarkan flyer dan baliho yang bunyinya: “Pahlawanku, Teladanku”. Karena biasanya, flyer ini hanya bermakna satu hari; 10 November. Padahal, keteladanan para Pahlawan harus diaplikasikan setiap saat: dalam berilmu, berjuang, dan berkorban untuk nusa, bangsa dan negara.*/Medan, Jum’at, 11 November 2022

Dosen “Islamic Worldview” di STIT Ar-Raudlatul Hasanah, mahasiswa doktoral Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam Universitas Darussalam Gontor

Rep: Admin Hidcom
Editor: -

No comments: