Ulama Kurdistan Ikut Andil Memasukkan Tradisi Maulid ke Indonesia

Ulama Kurdistan Ikut Andil Memasukkan Tradisi Maulid ke Indonesia
Tradisi barzanji dibawa oleh ulama Kurdistan dan Yaman. Foto/Ilustrasi: Ist
Kiai Haji Muhammad Sholikhin mengatakan terdapat indikasi orang-orang Arab Yaman yang banyak datang di wilayah ini yang memperkenalkan kitab-kitab maulid di Indonesia. Selain itu para pendakwah dari Kurdistan juga ditengarai yang mengajarkan kasidah maulid .

Hanya saja, Kiai Muhammad Sholikhin mengaku, belum didapatkan keterangan yang memuaskan mengenai bagaimana perayaan maulid berikut pembacaan kitab-kitab maulid masuk ke Indonesia. "Indikasinya orang Arab Yaman dan pendakwah dari Kurdistan," kata Kiai Muhammad Sholikhin dalam bukunya berjudul "Ritual dan Tradisi Islam Jawa".

Menurut dia, ini dapat dilihat dalam kenyataan bahwa sampai saat ini banyak dari keturunan mereka, maupun syaikh-syaikh mereka yang mempertahankan tradisi pembacaan maulid.

Di samping dua penulis kenamaan maulid berasal dari Yaman (al Diba') dan dari Kurdistan (al Barzanji), kata Kiai Muhammad Sholikhin, yang jelas kedua penulis tersebut menyandarkan dirinya sebagai keturunan Rasulullah SAW , sebagaimana terlihat dalam kasidah-kasidahnya.

Di sisi lain ada juga yang berpendapat bahwa Kitab Barzanji dibawa oleh orang-orang Syiah yang datang dari Gujarat.

Hanya saja, berdasarkan catatan sejarah yang dikutip oleh Martin Van Bruinessen dalam bukunya yang berjudul "Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia" pengarang Kitab Barzanji, Jafar Barzanji, bukanlah orang Syiah. Dia adalah seorang mufti mazhab Syafii di Madinah.

Selain Kitab Barzanji, ada satu lagi kitab karangan Jafar Barzanji yang begitu luas digunakan di Indonesia, yaitu Manaqib Syaikh Abdul Qadir Jailani (Lujjain Al-Dani).

Sekarang pembacaan manaqib tersebut utamanya dilakukan di kalangan tarekat Qadiriyah (tepatnya: Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, perpaduan dua tarekat yang khas Indonesia). Namun pada masa yang lebih awal, manaqib tersebut tampaknya sudah dibaca di lingkungan yang lebih luas daripada sekadar di lingkungan tarekat Qadiriyah saja.

Di Indonesia sendiri Tarekat Qadiriyah dikenal pada abad akhir abad ke-16 dan berkembang pesat dengan jumlah pengikut yang banyak baru pada abad ke-19. Tidak terdapat cukup bukti tentang posisi tarekat Qadiriyah dan penggunaan manaqib pada masa dua abad yang pertama.

Pada perkembangannya Kitab Barzanji (‘Iqd al-Jawahir) dan Manaqib Syaikh Abdul Qadir Jailani (Lujjain Al-Dani) terus dibuat ulang dan diadaptasikan oleh para pengarang asal Indonesia.

Penyebaran Islam
Kiai Muhammad Sholikhin mengatakan dapat dipahami bahwa tradisi keagamaan pembacaan maulid merupakan salah satu sarana penyebaran Islam di Indonesia. "Islam tidak mungkin dapat segera tersebar dan diterima masyarakat luas di Indonesia, jika saja proses penyebarannya tidak melibatkan tradisi-tradisi keagamaan," ujar Kiai Muhammad Sholikhin.

Azyumardi Azra, sebagaimana dikutip Kiai Muhammad Sholikhin, mengemukakan bahwa penyebaran agama Islam, yang sejak abad ke 13 M semakin cepat meluas di Nusantara, adalah terutama atas kegiatan kaum sufi, yang mampu menyajikan Islam dalam kemasan yang atraktif, khususnya dengan menekankan kontinuitas kebudayaan masyarakat dalam konteks Islam.

"Yang jelas terdapat fakta yang kuat bahwa tradisi pembacaan maulid merupakan salah satu ciri kaum muslimin tradisional di Indonesia, dan umumnya dilakukan oleh kalangan penganut sufi," ujarnya. "Maka dari segi ini dapat diperoleh kesimpulan sementara bahwa masuknya perayaan maulid berikut pembacaan kitab-kitab maulid bersamaan dengan proses masuknya Islam ke Indonesia yang dibawa oleh pendakwah, yang umumnya merupakan kaum sufi," jelasnya.

Corak kaum tradisional itu tidak lepas pula dari strategi dakwah yang diterapkan oleh para penyebar Islam mula-mula di Indonesia, yakni para ulama Walisongo .

Menurut Kiai Muhammad Sholikhin, dengan pertimbangan keadaan masyarakat Indonesia saat itu yang sebagian besar petani yang tinggal di daerah pedesaan dan tingkat pendidikannya yang sangat rendah, maka pola penyebaran Islam pun disesuaikan dengan kemampuan pemahaman masyarakat. "Sehingga materi dakwah pada waktu itu lebih diarahkan pada peningkatan keyakinan serta ajaran ibadah yang bersifat pemujaan secara ritual."

Selain itu ditopang oleh perilaku ibadah dan upacara ritual keagamaan yang dianggap akan makin memperkokoh keimanan dan keislaman mereka sangat dianjurkan, seperti tahlilan, yasinan, ziarah kubur, talqin, shodaqohan (kenduri/kondangan, selametan), haul, upacara yang terkait dengan kematian dan sebagainya.

Menurut dia, hal itu dilakukan karena dasar pandangan ahl al sunnah wa al jama'ah, corak Islam yang mendominasi warna Islam Indonesia, lebih fleksibel dan toleran dibanding dengan kelompok lain.

Mempertahankan tradisi menjadi sangat penting maknanya dalam kehidupan keagamaan mereka, berlandaskan pada kaidah ushuliyyah al muhafadzah li al-gadim al shalih, wal al-ahdza min jadid al-ashlah. "Inilah yang kemudian dalam wacana keilmuan disebut sebagai Islam Tradisional," jelasnya.

Kiai Muhammad Sholikhin mengatakan justru karena kemampuan dalam menyesuaikan ajaran Islam dengan tradisi yang telah mengakar dalam masyarakat inilah, maka kelompok tradisional Islam berhasil menggalang simpati dari berbagai pihak yang menjadi kekuatan pendukung.

(mhy)Miftah H. Yusufpati

No comments: