Perayaan Maulid Nabi dalam Ayat-Ayat Al-Qur'an Menurut Alwi bin Ahmad

Perayaan Maulid Nabi dalam Ayat-Ayat Al-Quran Menurut Alwi bin Ahmad
Setidaknya ada 6 ayat dalam Al-Quran yang bisa dijadikan dalil tentang perayaan Maulid Nabi. Foto/Ilustrasi: SINDOnews
Dr Alwi bin Ahmad bin Husain al-Idrus menyebut setidaknya ada 6 ayat dalam Al-Quran yang bisa dijadikan dalil tentang perayaan Maulid Nabi . Ayat tersebut adalah surat Yunus ayat 58, surat Hud ayat 120, surat Ibrahim ayat 5, surat Maryam ayat 33, surat al-Hajj ayat 77, dan surat Al-Ahzab ayat 56.

Dalam kitabnya berjudul "al-Ihtifal bi al-Maulid al-Nabawi fi Dhau’ Ayat al-Quran al-‘Adhim", Alwi bin Ahmad menjelaskan perayaan maulid berdasar surat Yunus ayat 58. Allah SWT berfirman:

قُلْ بِفَضْلِ اللّٰهِ وَبِرَحْمَتِهٖ فَبِذٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوْاۗ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُوْنَ

“Katakanlah (Nabi Muhammad), “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya itu, hendaklah mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.”

Kata al-rahmah pada ayat tersebut ditafsiri sebagai Nabi Muhammad SAW , berdasarkan pada QS al-Anbiya’ [21] ayat 107.

وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ

“Kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.”

Jalaluddin al-Suyuthi dalam tafsirnya juga menukil riwayat Abu al-Syaikh dari Ibn Abbas, “Fadhal (anugerah) Allah adalah ilmu, dan rahmatNya adalah Muhammad SAW, sebagaimana al-Anbiya’ ayat 107.”

Selain itu, Rasulullah sendiri juga menyebut beliau SAW sebagai rahmat dalam hadis al-Darimi. Beliau bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّمَا أَنَا رَحْمَةٌ مُهْدَاةٌ

“Wahai manusia, sesungguhnya aku adalah rahmat yang dihadiahkan.”

Dr Alwi bin Ahmad sebagaimana dikutip Laman Tafsir Al-Quran menjelaskan bahwa bahagia atas Nabi Muhammad SAW adalah urusan ilahi, sedangkan merayakan maulid nabawi adalah wujud ekspresi kebahagiaan tersebut, dan itu boleh-boleh saja meski tidak dilakukan oleh para pendahulu.

Surat Hud ayat 120
Dalil kedua tentang kebolehan merayakan peringatan Maulid Nabi adalah surat Hud ayat 120. Allah SWT berfirman:

وَكُلًّا نَّقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ اَنْۢبَاۤءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهٖ فُؤَادَكَ وَجَاۤءَكَ فِيْ هٰذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَّذِكْرٰى لِلْمُؤْمِنِيْنَ

“Semua kisah rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu (Nabi Muhammad), yaitu kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu. Di dalamnya telah diberikan kepadamu (segala) kebenaran, nasihat, dan peringatan bagi orang-orang mukmin.”

Manthuq ayat tersebut adalah hati Rasulullah SAW menjadi teguh dan tenang ketika mendengarkan kisah-kisah rasul terdahulu.

Al-Thabari dalam tafsir ayat “maa nutsabbitu bihi fu`adaka.. kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu,” ini meneruskan, “maka jangan risau dengan pendustaan yang dilakukan oleh kaummu, dan bantahlah apa yang mereka tuduhkan, jangan kausempitkan dadamu,” kemudian diteruskan dengan ayat berikut,

فَلَعَلَّكَ تَارِكٌۢ بَعْضَ مَا يُوْحٰىٓ اِلَيْكَ وَضَاۤىِٕقٌۢ بِهٖ صَدْرُكَ اَنْ يَّقُوْلُوْا لَوْلَآ اُنْزِلَ عَلَيْهِ كَنْزٌ اَوْ جَاۤءَ مَعَهٗ مَلَكٌ ۗاِنَّمَآ اَنْتَ نَذِيْرٌ ۗ وَاللّٰهُ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ وَّكِيْلٌ ۗ

“Boleh jadi engkau (Nabi Muhammad) hendak meninggalkan sebagian dari apa yang diwahyukan kepadamu dan dadamu menjadi sempit karena (takut) mereka mengatakan, “Mengapa tidak diturunkan kepadanya harta (kekayaan) atau datang malaikat bersamanya?” (Hud [11]: 12).

Dari ayat ini, kita menemukan mafhum muwafaqah-nya bahwa jikalau Nabi Muhammad SAW Allah teguhkan dan tenangkan hati beliau dengan kisah-kisah rasul terdahulu, maka kita, tentu lebih butuh kisah-kisah Nabi Muhammad SAW supaya hati kita menjadi teguh dan tenang.

Ibn Hajar al-‘Asqalani berkata, “dari riwayat tersebut, sudah semestinya kita bersyukur kepada Allah Ta’ala atas anugerah yang Dia berikan di hari-hari tertentu, baik berupa nikmat yang dicurahkan ataupun bahaya yang dihilangkan. Dan hari-hari itu diulang setiap tahunnya.

Bersyukur kepada Allah dapat dilakukan dengan berbagai ibadah seperti sholat, puasa, membaca al-Quran, sedekah, dan lain sebagainya. Lalu adakah nikmat yang lebih agung daripada nikmat lahirnya Muhammad, Sang Nabi Pembawa Rahmat, shallallahu ‘alaihi wa sallam?” (al-Suyuthi, al-Hawi lil Fatawa).

Di antara faidah utama kisah-kisah al-Quran, dan kisah-kisah lain pada umumnya adalah manthuq dari Hud [11]: 120 itu sendiri, yaitu meneguhkan hati Rasulullah dan hati umatnya atas agama Allah. Selain itu, kisah termasuk salah satu bentuk sastra yang dapat menarik perhatian para pendengar sehingga pesan-pesan yang terkandung tertancap di dalam jiwa, sebagaimana surah Yusuf [12] : 111,

لَقَدْ كَانَ فِيْ قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۗ

“Sungguh, pada kisah mereka benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal sehat.”

Senada dengan hal tersebut, Ibn Abd al-Barr dalam Jami’ Bayan al-‘Ilm wa Fadhluhu mengutip kalam Imam Abu Hanifah tentang kisah para ulama, “kisah-kisah ulama dan kebaikan-kebaikan mereka itu lebih aku sukai daripada fikih, sebab kisah-kisah mereka merupakan adab dan akhlak yang mesti ditiru oleh suatu kaum.”

Surat Ibrahim Ayat 5
Selanjutnya, Dr Alwi bin Ahmad Al-Idrus menukil surah Ibrahim ayat 5 berikut:

وَذَكِّرْهُمْ بِاَيّٰىمِ اللّٰهِ ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّكُلِّ صَبَّارٍ شَكُوْرٍ……

“..dan ingatkanlah mereka tentang hari-hari Allah. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang yang sangat penyabar lagi banyak bersyukur.”

Apa maksud ‘hari-hari Allah’? Maksud dari hari-hari Allah adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi pada manusia, baik berupa nikmat maupun siksaan yang mereka alami.

Sayyid Quthb dalam Fi Zhilal al-Quran menuturkan, “semua hari adalah hari Allah. Tetapi maksud dari ayat tersebut adalah hari-hari terjadinya peristiwa bagi manusia atau sekelompok golongan, berupa nikmat atau siksaan seperti kisah peringatan Musa kepada kaumnya yang akan diceritakan kemudian. Hari-hari tersebut kemudian disebut dengan ayyam (hari-hari) mereka, seperti halnya hari-hari bagi kaum Nuh, ‘Ad, Tsamud dan kaum-kaum setelahnya. Inilah yang maksud hari-hari (Allah).”

Jika peristiwa-peristiwa penting yang dialami kaum terdahulu diperintahkan untuk mengingatnya, tidakkah peristiwa lahirnya Nabi Muhammad SAW dan kisah hidup beliau lebih penting dan lebih perlu untuk diingat?

Menukil Syaikh Abd al-Fattah Ali Syihab dalam al-I’lam bi Fatawa Aimmah al-Islam haula Maulidih ‘alahis shalah was salam, beliau menuturkan, “kami, umat Islam, memeringati hari lahir (maulid) kekasih kita, Nabi Muhammad SAW mengikuti ulama salafus salih kami, dengan harapan memperoleh syafa’at beliau SAW untuk kami."

"Kami juga memeringati malam Lailatulqadr sebagai sarana dakwah selain juga memegang teguh al-Quran yang diturunkan pada malam tersebut. Seperti halnya kami memeringati hijrah beliau SAW, sebagai pengingat kepatuhan mutlak dan pengorbanan tinggi yang dilakukan oleh beliau SAW. Seperti halnya juga kami memeringati momen-momen penting dari peperangan dan kemenangan beliau SAW beserta para sahabat dalam menegakkan panji Islam.”

Bukankah semua yang telah disebutkan merupakan ayyamullah (hari-hari Allah) yang mesti umat Islam ingat, supaya apa yang ditinggalkan Allah baik berupa pemberian maupun bencana menjadi sebuah pelajaran berharga bagi kaum muslimin, sehingga mereka dapat menyongsong masa depan berbekal pelajaran yang diberikan Allah melalui hari-hari penting tersebut.

Surat Maryam Ayat 33
Dalil keempat tentang Maulid Nabi dalam Al-Quran adalah surah Maryam [19] ayat 33. Allah SWT berfirman:

وَالسَّلٰمُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُّ وَيَوْمَ اَمُوْتُ وَيَوْمَ اُبْعَثُ حَيًّا

“Kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku, hari wafatku, dan hari aku dibangkitkan hidup (kembali).”

Dalam beberapa tempat, al-Quran menyebutkan ayat yang memberi isyarat akan pentingnya hari lahir. Misalnya ayat di atas—Maryam ayat 33—yang berbicara Nabi Isa ‘alaihissalam, dan Maryam ayat 15 yang khusus berbicara Nabi Yahya ‘alaihissalam.

Berkumpulnya dua ayat, yaitu ayat 15 dan 33 dalam satu surah yang sama, Maryam, menunjukkan bahwa hari-hari tersebut; hari kelahiran, hari wafat dan hari kebangkitan adalah sesuatu yang esensial. Supaya umat Muslim dapat memetik pelajaran dari pengutusan dua nabi, Nabi Isa dan Nabi Yahya, tersebut.

Penyebutan Al-Quran tentang tiga ‘hari’ tersebut memberi isyarat tidak langsung mengenai kekhususannya daripada ‘hari’ yang lain. Seperti halnya tiga dalil maulid Nabi dalam Al-Qur'an sebelumnya, coba renungkan lagi ayat di atas dengan menghadirkan Nabi Muhammad SAW sebagai subjek yang berucap. Di sinilah alasan mengenang dan memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, wafatnya dan hari-hari bersejarah lainnya menjadi penting.

Pada hakikatnya, orang pertama yang mentradisikan perayaan hari lahir adalah Nabi Muhammad SAW sendiri dengan mengkhususkan hari lahir beliau dengan ibadah khusus pula, yaitu puasa di hari Senin. Itulah makna perayaan.

Ibn al-Haj (w. 737 H) dalam al-Madkhal ila Tanmiyah al-A’mal menarik istinbath dari riwayat tersebut dengan menyebutkan, “…tetapi, Nabi Muhammad SAW memberi isyarat akan keutamaan bulan ini (Rabiul Awal) dengan sabda beliau SAW ketika ditanya perihal puasa hari Senin yang beliau lakukan. “pada hari itulah aku dilahirkan,” begitu jawaban yang diberikan Nabi Muhammad SAW kepada para sahabat. Dengan demikian, pemuliaan terhadap hari Senin merupakan pemuliaan juga terhadap bulan di mana beliau dilahirkan.”

Masih dalam al-Madkhal, Ibn al-Haj melanjutkan, “maka sudah seharusnya kita memuliakan hari dan bulan tersebut dengan sebenar-benarnya. Keutamaan yang terdapat pada waktu dan tempat tertentu itu ditunjukkan dengan ibadah-ibadah yang dikhususkan di dalamnya. Suatu masa dan tempat tidak menjadi mulia dengan sendirinya. Tetapi ia menjadi mulia karena ada makna spesial di dalamnya. Maka lihatlah pengistimewaan yang Allah lakukan pada hari Senin dan bulan Rabiul Awal tersebut.”

“Tidakkah Anda tahu, bahwa puasa pada hari Senin mengandung keutamaan yang agung? Pada hari itulah Nabi Muhammad Saw dilahirkan. Sudah semestinya bagi seorang Muslim untuk memuliakan, dan mengangungkan bulan ini (Rabiul Awal) dengan sebenar pemuliaan. Caranya dengan ber-ittiba’, mengikuti Nabi Muhammad, seperti halnya mengkhususkan waktu-waktu yang utama dengan memperbanyak amal kebaikan,” ujar Ibn al-Haj.
Surat al-Hajj Ayat 77
Dalil atau petunjuk ihtifal (perayaan) maulid Nabi berikutnya adalah surah al-Hajj ayat 77. Allah SWT berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ارْكَعُوْا وَاسْجُدُوْا وَاعْبُدُوْا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ ۚ

“Wahai orang-orang yang beriman, rukuklah, sujudlah, sembahlah Tuhanmu, dan lakukanlah kebaikan agar kamu beruntung.”

Kata al-khair yang berarti kebaikan pada ayat tersebut merupakan isim jins yang menunjukkan banyak arti. Dengan kata lain, al-khair merupakan makna (kebaikan) yang umum.

Ketika menafsiri waf’alul khaira, Ibn Asyur dalam al-Tahrir wa al-Tanwir (1984) menukil perkataan Ibn Abbas, “(lakukanlah kebaikan) di antaranya silaturahmi dan akhlak yang mulia. Dan dari urutan dalam ayat tersebut tampak bahwa mereka (orang-orang beriman) diperintah untuk; pertama, sholat (salah satu praktik ibadah), kedua dengan ibadah (salah satu praktik kebaikan) dan yang ketiga melakukan kebaikan (ini lebih umum daripada ibadah). Artinya, Allah memulai ayat tersebut dengan sesuatu yang khusus (sholat), kemudian umum (ibadah), lalu yang lebih umum (al-khair; kebaikan).”

Wajh dalalah (petunjuk) dari ayat tersebut adalah bahwa ihtifal Maulid Nabi berisi berbagai amal kebaikan; di antaranya adalah sholawat Nabi, sedekah, amal makruf, mengekspresikan kebahagiaan dan berderma kepada kaum papa. Hal tersebut menujukkan bolehnya ihtifal Maulid Nabi yang juga berisi amal kebaikan sebagaimana diperintahkan oleh al-Quran.

Lalu dalam Jawahir al-Bihar Syaikh Yusuf al-Nabhani mengutip al-Hafiz Ibn Hajar al-Haitami menegaskan, “sesungguhnya orang yang menghendaki kebaikan, menampakkan kebahagian dan mahabbah atas Maulid Nabi SAW itu cukup dengan mengumpulkan orang-orang baik bersama para fakir miskin, lalu bersedekah dan memberi kepada mereka makanan sebagai wujud mahabbah kepada Nabi Muhammad SAW.”

“Lalu jika mereka ingin lebih dari itu,” lanjut Ibn Hajar al-Haitami, “maka dengan memerintahkan seseorang untuk menyenandungkan pujian-pujian kepada Nabi (madaih al-nabawiyyah) dan syair-syair yang berisi pelajaran akhlak luhur. Sebab hal tersebut dapat menggerakkan hati untuk melakukan kebaikan dan menahan perilaku bidah yang mungkar. Selain itu, mendengarkan lantunan indah pujian-pujian Nabi merupakan salah satu sebab tumbuhnya mahabbah kepada Nabi dalam hati seseorang.”

Surah al-Ahzab Ayat 56
Dalim ayat selanjutnya adalah surah al-Ahzab ayat 56. Allah SWT berfirman:

اِنَّ اللّٰهَ وَمَلٰۤىِٕكَتَهٗ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّۗ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya berselawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, berselawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya.”

Ayat tersebut menunjukkan betapa mulia dan agungnya derajat Nabi Muhammad SAW di sisi Allah. Bagaimana tidak, Allah lah yang pertama berselawat kepada beliau, lalu yang kedua para malaikat-Nya, baru kemudian memerintahkan para mukmin untuk turut berselawat-salam kepada beliau.

Dinukil dari al-Tahrir wa al-Tanwir, Ibn Asyur menerangkan bahwa sholawat yang diperintahkan tak hanya kepada Nabi Muhammad belaka, tetapi juga kepada para isteri dan keluarga beliau SAW.

Dengan bersholawat kepada Nabi Muhammad, derajat seorang hamba menjadi dekat dengan para malaikat dan Allah. Hal ini ditunjukkan dengan penyebutan orang-orang mukmin setelah malaikat dan Allah. Kemudian bentuk kalimat ayat tersebut adalah jumlah ismiyah yang memberi faedah menguatkan khabar, yaitu yushalluna (berselawat), dan dibuka oleh lafal Jalalah sebagai pengangungan terhadap perkara yang dikandung ayat tersebut.

Lebih khusus, perintah ini ditegaskan lagi dalam hadis Nabi Muhammad SAW berikut,

أكثروا الصلاة علي يوم الجمعة

“Perbanyaklah sholawat kepadaku di hari Jumat.”

Hari Jumat memanglah hari yang istimewa. Banyak faidah yang terdapat di dalamnya. Mengenai hal ini, Ibn al-Qayyim dalam Zad al-Ma’ad fi Hady Khair al-Ibad (1998) menyebutkan, “..(kekhususan) yang kedua adalah sunnahnya memperbanyak sholawat kepada Nabi Muhammad SAW, siang dan malamnya, berdasar hadis di atas.

Rasulullah SAW adalah sayyidul anam, pemimpin manusia dan hari Jumat adalah sayyidul ayam, pemimpin hari, dan bersholawat pada hari tersebut memiliki keutamaan yang tidak dimiliki hari yang lain.”

“Hikmah yang lain,” lanjut Ibn al-Qayyim, “adalah semua kebaikan yang didapat oleh umat Muhammad, baik kebaikan dunia maupun akhirat, tak lepas dari perantara beliau SAW. Allah telah mengumpulkan kebaikan dunia-akhirat umat Muhammad pada diri beliau. Maka hanya pada hari Jumat kemulian teragung itu diperoleh."

"Hari Jumat adalah hari di mana manusia dibangkitkan dari kubur menuju tempat tinggal dan istananya di surga. Ia adalah hari berbekal ketika mereka masuk ke dalam surga. Ia adalah hari raya di dunia dan hari di mana Allah memenuhi permohonan dan hajat-hajat hamabaNya. Doa setiap hamba pada hari itu tak kan ditolak. Ini semua adalah sebab Nabi Muhammad. Barangsiapa bersyukur dan memuji Allah, lalu menunaikan hak beliau Saw, maka hendaklah memperbanyak selawat kepada beliau Saw di hari Jumat, siang maupun malam.”

Dr Alwi bin Ahmad menambahkan, pada dasarnya semua perkara adalah mubah. Tetapi niat baik mengubahnya dari sebuah kebiasaan yang diperbolehkan menjadi ibadah yang diganjar pahala. Kaidahnya, al-niyyah tuhawwilu al-‘adah ila ibadah, niat dapat merubah perkara adat (kebiasaan) menjadi ibadah.

Meski tidak diamalkan oleh 3 masa awal (Rasul, Sahabat dan Tabiin), tidak berarti ihtifal Maulid Nabi merupakan perkara bidah apalagi dhalalah.

Al-Hafiz al-Sakhawi dalam al-Ajwibah al-Mardhiyah, “dasar perbuatan Maulid tidak dinukil dari satu pun tiga masal awal, tetapi merupakan perkara baru yang memiliki tujuan yang baik dan niat yang ikhlas. Lalu orang-orang Islam baik dari kampung maupun kota, bersama-sama merayakan bulan Maulid Nabi SAW dengan perjamuan yang elok, aneka macam hidangan yang baik, dan mereka menyedekahkan semua di malam-malam bulan Maulid. Mereka menampakkan kebahagaian dan memperbanyak amal kebaikan. Bahkan mereka membaca riwayat hidup Nabi Muhammad SAW di tiap-tiap malam bulan Maulid.”

Pada hakikatnya, tak ada faidah dalam Maulid Nabi kecuali memperbanyak sholawat kepada beliau. Sayyid Ahmad Abidin, sebagaimana dinukil Syaikh Yusuf al-Nabhani dalam Jawahir al-Bihar, menyebutkan, “jika tidak ditemukan faidah lain dalam maulid nabi kecuali memperbanyak sholawat, maka itu sudah cukup.”
(mhy)Miftah H. Yusufpati

No comments: