Panduan Pengelolaan Sumber Pendapatan dalam Pemerintahan Islam

 pendapatan pemerintahan islam

Ilustrasi Pembayaran Pajak

Pendapatan pemerintahan Islam yang paling urgen adalah zakat, kharaj, Jizyah, ghanimah, fay’ dan ‘usyur, kesemuanya terkandung makna dharibah (pajak)

SEJAK beberapa dekade yang lalu, pasca runtuhnya khilafah Islamiyyah di Turki yang merupakan simbol kesatuan dan persatuan umat Islam, banyak negara dan pemerintahan Islam yang mengadopsi sistem pemerintahan inovatif dari sistem-sistem non-Islam. Ada sistem demokrasi yang mengadopsi dari Barat yang imperialis dan kapitalis.

Ada pula sistem sosialis yang mengadopsi dari Soviet (Rusia sekarang) yang beraliran komunis. Berlakunya sistem-sistem inovatif tersebut di berbagai negara Islam, ditambah dengan runtuhnya sistem dan tatanan sosial dan kenegaraan yang Islami yang berlangsung selama empat belas abad.

Sejak lahirnya Islam sampai masa jatuhnya Khilafah Islamiyyah di Turki, tak urung menjadikan sebagian besar umat Islam melalaikan sistem yang dimiliki agama mereka sendiri dalam berbagai bidang; bahwa Islam disamping berfungsi sebagai agama yang mengatur hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhannya, juga mengatur semua lini kehidupan yang bersifat horizontal antara sesama manusia.

Akibat rentang waktu yang cukup lama, sejak runtuhnya sistem Khilafah Islamiyyah di Turki dan diadopsinya sistem-sistem pemeritahan Barat yang kapitalis dan Komunis yang sosialis, menjadikan umat Islam terpecah menjadi dua ketika disodorkan tatanan dan sistem dalam pemerintahan Islam dan dalam format sebuah negara yang menjadi tanah air masyarakat Islam.

Kelompok yang setia terhadap agamanya menganggap bahwa Islam di samping sebagai agama yang mengatur hubungan vertikal antara hamba dengan Sang Pencipta, juga sebagai sistem negara yang mengatur hubungan horizontal antara sesama masyarakatnya.

Sementara kelompok muslim lain yang picik pengetahuannya dan sebagian karena kurang percaya diri serta pesimis pada agamanya menganggap bahwa Islam hanya sebagai agama yang mengatur hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhannya, untuk sistem dan tatanan sebuah negara perlu mengadopsi teori-teori modern seperti demokrasi, kapitalisme dan lain-lain.

Perbedaan kedua pendapat tersebut telah melahirkan sekian banyak karya ilmiyah yang ditulis oleh para ulama Islam yang berusaha menyodorkan berbagai argumentasi ampuh bahwa Islam sebagai agama juga sebagai negara.

Sementara kelompok kedua yang tidak mengakui Islam sebagai negara juga banyak menulis karya buku dengan berbagai argumentasi yang sebagian diadopsi dari pemikiran-pemikiran Barat yang kapitalis dan Komunis yang sosialis.

Islam sebagai agama yang syamil

Islam sebagai agama yang syamil; mencakup segala lini dan sektor kehidupan adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkiri. Eksperimentasi bahwa Islam tidak hanya mengatur hal-hal yang bersifat vertikal, melainkan juga sebagai sistem dan tatanan kenegaraan, sosial, politik dan ekonomi merupakan sesuatu yang terbukti dengan terang benderang.

Orang yang mengingkarinya, bagaikan mengingkari siang hari setelah mataharari terbit. Eksperimentasi bahwa Islam itu syamil telah berlangsung selama lebih dari seribu abad, sejak lahirnya Islam sampai pada akhir runtuhnya Khilafah Islamiyyah di Turki.

Barangkali kita tidak perlu menyodorkan dalil-dalil bahwa Islam itu sebagai agama yang paripurna yang mencakup antara agama dan negara. Teks-teks dan ajaran-ajarannya telah mencakup berbagai prinsip fundamental dalam legislasi politik, ekonomi, sosial dan militer.

Realitas-realitas historis telah menetapkan bahwa Islam bukan hanya ideologi keagamaan yang individualis, sejak berdirinya negara atau pemerintahan Islam yang pertama dan masyarakatnya yang orisinil muncul ke permukaan, dengan metodologinya yang spesifik dalam mengkoordinasikan antara hal-hal yang spiritual dan temporal, antara ediologi dan perundang-undangan serta antara ibadah dan mu’amalah.

Barangkali di antara sekian pakar non-Muslim yang bersikap adil – lebih-lebih dari kalangan orientalis – telah mendahului para pengikut agama Islam sendiri dalam menegaskan esensitas Islam sebagai agama dan negara dengan redaksi-redaksi yang walaupun banyak bervariasi, akan tetapi kesemuanya bermuara pada ruh sosial yang mendominasi atas seluruh ajaran-ajaran Islam sendiri dalam setiap lini kehidupan.

Di antara pakar orientalis yaitu Prof. Arnold dalam bukunya The Caliphate, hal. 198, mengatakan, “Islam adalah agama dan negara serta ediologi dan sistem”. Di antara mereka ada yang bernama Prof. Schacht, dalam buku Encyclopaedia of  Social Sciences, VIII, hal. 333, mengatakan, “Islam bukan agama semata, akan tetapi Islam lebih besar dari sekedar agama”. 

Adalagi di antara mereka yang bernama Prof. Louis Gardet, dalam Principes et Limites de la Communaute Musulmane, hal. 120, dengan penuh kekaguman mengatakan, “Islam itu agama. Dan Islam itu dalam ajaran-ajarannya yang fundamental juga jamaah (komunitas) yang dibatasi dengan nama agama. Bagi setiap anggota yang ada pada komunitas itu dan bagi seluruh anggotanya secara sama rata ada syarat-syarat dan kaedah-kaedah kehidupan; kehidupan keluarga, sosial, politik, keberagamaan murni, kemaslahatan jangka pendek dalam kehidupan dunia, kenikmatan abadi bagi setiap mukmin di akhirat, kesemuanya teridentifikasi dalam satu kesatuan besar yang didominasi oleh nama Islam dan ditiup dari ruh Islam”.

Kita sebenarnya tidak perlu berargumentasi dengan pendapat-pendapat para orientalis bahwa Islam itu agama dan negara. Kita menukil pendapat-pendapat tersebut, karena sebagian kecil komunitas pemikir Islam yang menolak esensitas Islam sebagai agama dan negara seringkali berargumentasi dengan pendapat sebagian orientalis.

Sementara mereka mengabaikan pandangan para orientalis lain yang lebih mendalam pengetahuannya yang menguatkan esensitas yang kita akui; Islam sebagai agama dan negara; dan Islam sebagai ediologi dan sistem.

Referensi klasik fiqih daulah

Esesnsitas Islam sebagai agama dan negara serta sebagai ediologi dan sistem, selain dibuktikan dengan eksperimentasi esensi tersebut selama tiga belas abad – suatu masa yang cukup panjang dalam sebuah wilayah eksperimen – dan ditopang dengan lahirnya banyak karya-karya ulama terdahulu dan terkemudian yang kesemuanya bermuara pada esensi ini.

Di antara mereka ada yang menyampaikan sistem dan tatanan Islam dalam celah-celah karya mereka seperti yang mereka selipkan di tengah-tengah kitab-kitab tafsir, hadis, akidah dan kitab-kitab fikih. Sementara sebagian lainnya, menuangkan esensi ini dalam bentuk karya spesifik yang menyajikan fikih daulah secara khusus.

Kita mengenal al-Ahkam al-Sulthaniyyah karya Abu al-Hasan al-Mawardi dan karya Abu Ya’la al-Farra’ al-Hanbali. Kita juga mengenal al-Ghiyatsi karya Abu al-Ma’ali al-Juwaini yang dikenal dengan Imam al-Haramain.

Karya-karya semacam ini menyajikan sistem pemerintahan sejak pengangkatan seorang khalifah sampain bawahannya; menyajikan pengelolaan kekayaan negara; menyajikan hal-hal yang berkaitan dengan hukum pidana dan perdata.

Pada sisi lain sebagian ulama dulu ada yang menulis kitab yang secara spesifik menyajikan sistem keuangan dan perekonomian Islam. Di antara mereka ada yang bernama al-Imam Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallam dalam bukunya al-Amwal, yang secara spesifik menjelaskan sistem finansial Islam.

Ada pula yang bernama al-Imam al-Qadhi Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim, murid kenamaan al-Imam Abu Hanifah, dengan karyanya yang sangat monumental, al-Kharaj , sebagai karya utama ulama fiqih dalam sistem pengelolaan pengaturan kekayaan dan keuangan negara dalam Islam. Ada juga yang bernama al-Imam Yahya bin Adam al-Qurasyi yang menulis kitab al-Kharaj .

Sistem finansial Islam

Sistem finansial (keuangan) dalam Islam sangat jelas rambu-rambunya, dan memiliki independensi secara total dibandingkan dengan semua sistem finansial dunia lainnya. Sebagian besar prinsip sistem finansial dalam Islam merupakan kaedah-kaedah besar yang universal yang ditetapkan oleh al-Qur’an, dideskripsikan oleh hadits-hadits Nabi ﷺ dengan eksperimentasi yang telah berlaku pada masa kenabian.

Atas dasar kaedah-kaedah besar inilah dianalogikan berbagai cabang-cabang kecil yang bersifat parsial yang selalu aktual sesuai dengan perkembangan kondisi dan situasi. Dalam setiap kondisi, sistem finansial Islam harus merealisasikan keseimbangan sosial dari celah-celah kaedah-kaedah besar dan tiap-tiap masalah cabang.

Suatu yang paling urgen dalam sistem finansial Islam adalah dharibah (pajak) yang dapat bertambah dan bervariasi sesuai dengan variasi kebutuhan sosial dalam negara. Dharibah dikelilingi dengan berbagai tradisi dan sistem yang harus diketahuinya untuk membangun illstrasi yang hidup bagi sumber pendapatan negara serta pembelanjaannya.

Sebagai dimaklumi, pendapatan pemerintahan Islam yang paling urgen adalah zakat, kharaj , Jizyah , ghanimah, fay’ dan ‘usyur. Dalam kesemuanya terkandung makna dharibah (pajak), hanya saja sebagiannya merupakan pajak tanah, sementara sebagian yang lain pajak bagi selain tanah sebagai dimalumi dalam kitab-kitab fiqih.

Marilah kita mengenali masing-masing nama sistem pendapatan pemerintahan Islam di atas:

Zakat

Zakat juga dinamakan shadaqah. Zakat merupakan dharibah (pajak) pertama dalam Islam

Yang diharuskan terhadap orang kaya dan mampu. Akan tetapi, pada awalnya zakat tidak ditetapkan secara pasti mengenai nishab dan ukurannya dalam al-Qur’an.

Ukuran-ukuran zakat an batasan-batasannya diketahui melalui penjelasan sunnah atau sabda-sabda Nabi ﷺ. Dari sunnah kita mengetahui macam-macam zakat; zakat perdagangan, zakat emas dan perak, zakat pertanian dan buah-buahan, zakat hewan ternak dan lain-lain.

Kharaj

Daerah yang didiami oleh orang-orang musyrik yang kemudian ditaklukkan dengan cara yang damai oleh kaum muslimin diharuskan membayar kadar tertentu dari penghasilan pertanian mereka atau dari hartanya. Kadar tertentu yang diharuskan ini dinamakan dengan kharaj .

Dari segi bahasa, kharaj  jelas mengarah pada arti takhrij (pengeluaran), seolah-olah kadar yang diambil ini keluar dari sesuatu yang diharuskan dibayar pajak untuk memenhi hak kewajibannya.

Jizyah

Jizyah  merupakan kadar tertentu yang ditetapkan untuk perkepala, bukan untuk tanah. Ini yang membedakan secara substansial antara Jizyah  dan kharaj .

Jika kharaj  merupakan pajak tanah, sementara Jizyah  pajak kepala. Di antara perbedaan antara kharaj  dan Jizyah , bahwa kewajiban Jizyah  bisa gugur sebab yang bersangkutan masuk agama Islam, sedangkan kharaj  tidak dapat gugur sebab masuk agama Islam.

Kehwarusan membayar Jizyah atas kafir dzimmi bukanlah sebagai penghinaan terhadap mereka, akan tetapi untuk memanifestasikan keseimbangan dalam sebuah negara dengnan cara sama-sama bertanggung jawab. Kaum muslim dan kaum dzimmi dalam pandangan Islam adalah rakyat bagi negara yang satu; sama-sama menikmati hak-hak yang mereka terima dan sama-sama memanfaatkan kemaslahatan-kemaslahatan umum dengan prosentase yang satu.

Dari sini diharuskanlah Jizyah  bagi kaum dzimmi sebagai perimbangan dengan kewajiban zakat atas kaum kaum muslim.

Ghanimah

Ghanimah yang dalam bahasanya bermakna hasil jarahan atau rampasan perang adalah harta orang-orang kafir yang diperoleh oleh kaum muslimin dengan cara kemenangan dan pemaksaan.

Fay’

Fay’ dalam arti bahasanya adalah kembali, maksudnya harta yang diperoleh kaum muslimin dengan cuma-cuma tanpa peperangan, tanpa melarikan kuda dan sanggurdi dalam peperangan.

‘Usyur

‘Usyur artinya adalah sepuluh persen, dan maksudnya adalah pajak yang diambil dari modal-modal para pedagang kaum kafir. Diambillah dari modal dagangan mereka sebesar sepuluh persen jika mereka datang berdagang dari negeri kafir ke negeri Islam.

Abu Yusuf Al-Anshari

Menurut Ibn ‘Abd al-Barr, para ahli tidak berselisih pendapat bahwa nama Abu Yusuf  al-Qadhi adalah Ya’qub bin Ibrahim bin Habib bin Khunais bin Sa’d bin Habtah al-Anshari. Kakeknya, Sa’d bin Habthah termasuk salah seorang sahabat Nabi ﷺ.

Abu Yusuf merupakan murid kenamaan al-Imam Abu Hanifah. Diceritakan oleh al-Khathib al-Baghdadi, mengenai kisah Abu Yusuf yang berguru kepada Abu Hanifah.

Pada mulanya Abu Yusuf adalah orang yang tidak mampu, kemudian al-Imam Abu Hanifah gurunya selalu memberinya tunjangan dengan syarat aktif mengikuti pengajiannya. Hasilnya, Abu Yusuf menjadi salah satu murid ternama Abu Hanifah di samping murid lainnya yaitu Muhammad bin al-Hasan.

Dan pada akhirnya Abu Yusuf memangku jabatan Qadhi untuk tiga khalifah dari Bani ‘Abbasi; yaitu al-Mahdi, al-Hadi dan Harus al-Rasyid. Dari jabatannya sebagai Qadhi bagi ketiga Khalifah tersebut, Abu Yusuf adalah orang pertama yang mendapat julukan Qadhi al-Qudhat.

Karya Abu Yusuf

Abu Yusuf adalah satu di antara murid Abu Hanifah yang berperan penting dalam penyebaran dan pembukuan pemikiran-pemikiran fiqih al-Imam Abu Hanifah, tanpa mengabaikan kemampuan Abu Yusuf dalam berijtihad. Beberapa karyanya telah menjadi rujukan para pelajar fiqih khususnya dalam Mazhab Hanafi sepanjang masa.

Di antara karya-karya yang sampai kepada kita, adalah al-Mabsuth yang berisi furu’-furu’ fiqih Mazhab Hanafi dan dikenal dengan sebutan kitab al-Ashl. Adalagi kitab Adab al-Qadhi yang menerangkan kode etik seorang hakim.

Adalagi kitab al-Radd ‘Ala Siyar al-Awza’i, yang merupakan bantahan atas kitab Siyar karya al-Imam al-Awza’i yang mengkritik karya koleganya, Muhammad bin al-Hasan. Kitab ini menunjukkan kepakaran beliau dalam sejarah Islam khususnya yang berkenaan dengan sirah nabawiyyah.

Adalagi kitab al-Amali yang merupakan pendiktean pemikiran dan riwayat beliau sebagaimana yang menjadi tradisi ulama dulu dalam pendiktean ilmu pengetahun Islam sebagai salah satu metode mengajar mereka. Adalagi kitabnya yang terkemuka dan monumental dalam bidang sistem pengelolaan ekonomi dan finansial negara dalam Islam, yaitu kitab al-Kharaj .

Kitab Al-Kharaj

Kitab al-Kharaj  adalah satu di antara karya Abu Yusuf yang terkenal. Ada dua kitab yang sama-sama bernama al-Kharaj, dan sampai ke tangan kita.

Satunya karya al-Qadhi Abu Yusud yang wafat tahun 182 H, dan satunya lagi adalah al-Kharaj  karya al-Imam Yahya bin Adam al-Qurasyi yang wafat pada tahun 203 H. Akan tetapi, dari keduanya karya Abu Yusuf yang lebih banyak digemari oleh kalangan ulama.

Dari namanya, al-Kharaj, yang berarti pajak tanah atau bumi yang diharuskan kepada orang-orang musyrik yang ditaklukkan secara damai dan diambilkan dari hasil pertaniannya, memberikan kesan yang berarti, seolah-olah kitab ini khusus menerangkan bab kharaj. Padahal tidak demikian.

Kitab al-Kharaj ini tidak hanya menerangkan masalah kharaj. Kitab ini dinamakan al-Kharaj, kemungkinan karena mengikuti tradisi di kalangan Arab yang dikenal dengan ithlaq al-khash wa uriida bihi al-‘aam (menyampaikan sesuatu yang khusus akan tetapi dimaksudkan pada sesuatu yang umum).

Nama kitab ini khusus pada kharaj, akan tetapi dimaksudkan pada sesuatu yang lebih umum dari pada kharaj. Atau kemungkinan karena kharaj  menempati bab pertama dalam pembahasan kitab ini, sebagaimana dikatakan oleh Abu Yusuf dalam pengantarnya.

Latar belakang penulisan kitab al-Kharaj

Latar belakang penulisan kitab al-Kharaj tidak lepas dari kedekatan al-Imam Abu Yusuf dengan penguasa terbesar dunia pada waktu itu, Amirulmukminin al-Khalifah Harun al-Rasyid al-‘Abbasi. Al-Rasyid-lah yang mula-mula mendorong dan meminta al-Imam Abu Yusuf untuk menulis kitab al-Kharaj.

Karenanya, tidak aneh dalam pengantar kitab al-Kharaj, tiga belas halaman pertama diisi dengan nasehat-nasehat al-Imam Abu Yusuf kepada al-Rasyid selaku Khalifah pada waktu itu.

Dalam pengatarnya al-Imam Abu Yusuf berkata; “Sesungguhnya Amirulmukminin –semoga Allah mengokohkannya – memintaku untuk menulis kitab yang lengkap mengenai penarikan kharaj , ‘usyur, sadaqah dan Jizyah ”.

Bahasan kitab al-Kharaj

Kitab al-Kharaj yang tebalnya 217 halaman banyak menerangkan hal-hal yang berkaitan dengan hukum-hukum sumber pendapatan negara dan pengelolaannya seperti zakat, kharaj, Jizyahghanimahfay’ dan ‘usyur. Di samping juga kitab al-Kharaj juga membahas hukum-hukum yang berkaitan dengan hukum internasional (pada masa sekarang) semisal kapasitas kafir dzimmi, jaminan keamanan bagi utusan negara musuh, hukum tempat-tempat ibadah non-muslim di negara muslim dan lain-lain.

Kitab al-Kharaj  juga memberikan bahasan yang cukup berkaitan dengan fasilitas-fasilitas umum seperti sungai, sumur, jalan serta pemnafaatannya bagi umum dan individu. Di samping lagi kitab al-Kharaj ini memberikan bahasan mengenai kebijakan penguasan dalam menetapkan gaji para hakim (qadhi) dan para pegawainya.

Dengan demikian bahasan kitab al-Kharaj  merupakan bahasan yang layaknya diberikan sebagai materi hukum tata negara dalam Islam dan sistem pengelolaan sumber pendapatan negara serta fasilitas-fasilitas umum secara komprehensif.

Akhirul kalam

Bacaan yang mendalam terhadap kitab al-Kharaj akan memberikan kesimpulan bahwa Islam bukan saja agama, melainkan Islam adalah agama dan negara; Islam adalah sistem dan ediologi; Islam adalah segala-galanya dan mengatur segala-galanya. Wallahu a’lam.*/M.Idrus Ramli, dari Kitab Al-Kharaj  Karya Abu Yusuf (sidogiri.com, 2004)

Refensi:

  • Abu Yusuf, al-Qadhi Y’aqub bin Ibrahim, al-Kharaj , Dar al-Ma’rifah, Beritu, Lebanon tt.
  • Al-Qurasyi, Yahya bin Adam, al-Kharaj , tahqiq Ahmad Muhammad Syakir, Dar al-Ma’rifah, Beirut, Lebanon, tt.
  • Al-Qurasyi, al-Hafizh Abul-Qadir bin Muhammad, al-Jawahir al-Mudhiyyah fi Thabaqat al-Hanafiyyah, tahqiq Dr. ‘Abdul-Fattah Muhammad al-Halw, Muassasat al-Risalah, Beirut, Lebanon, 1988.
  • Al-Baghdadi, al-Hafizh Abu Bakr Ahmad bin ‘Ali bin Tsabit al-Khathib, Tarikh Baghdad Aw Madinat al-Salam, Dar El-Fikr, Beritu Lebanon, tt.
  • Al-Shalih, Dr. Shubhi, Al-Nuzhum al-Islamiyyah; Nasy-atuha wa Tathawwuruha, Dar al-Ilm Lil-Malayin, Beirut, Lebanon, 1999.

Rep: Insan Kamil
Editor: -

No comments: