Kisah Khutbah Ali bin Abu Thalib yang Membuat Seorang Jamaah Pingsan

Kisah Khutbah Ali bin Abu Thalib yang Membuat Seorang Jamaah Pingsan
Khutbah ini disampikan oleh Ali bin Abi Thalib sebagai jawaban atas permintaan seseorang yang menginginkan penjelasan tentang sifat-sifat seorang yang bertakwa. Foto/Ilustrasi: Ist/mhy
Kisah khutbah Ali bin Abi Thalib yang membuat seorang jamaah pingsan terkait masalah takwa. Khutban Khalifah Ali itu sendiri dihimpun dalam kitab Nahj Al-Balaghah, yakni kitab yang berisi ucapan dan tulisan Ali bin Abi Thalib yang dikumpulkan oleh Sayid Radhi pada akhir abad ke-4 H.

Nah, dalam kitab ini antara lain berisi khutbah panjang khalifah yang bernama Khuthbah Al-Muttaqin. Khutbah ini disampikan oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib sebagai jawaban atas permintaan seseorang yang menginginkan penjelasan tentang sifat-sifat seorang yang bertakwa .

Pada mulanya Ali bin Abi Thalib menghindar untuk memberi jawaban dan hanya memberi tiga atau empat kalimat jawaban. Namun, orang yang bernama Hammam bin Syarih itu tidak merasa puas dengan jawaban singkat beliau dan berkeras meminta keterangan selanjutnya.

Amirul Mukminin pun berbicara menyangkut karakterisitk spiritual, intelektual, moral dan tindak tanduk orang-orang yang bertakwa sampai lebih dari seratus sifat.

Ali bin Abi Thalib antara lain menjelaskan bahwa orang yang bertakwa mempunyai empat sifat utama. Pertama, Al-Khaufu minal-Jalil, merasa takut kepada Allah SWT yang mempunyai sifat Maha Agung. Kedua, Al-‘Amalu bi At-Tanzil, beramal dengan apa yang diwahyukan oleh Allah SWT.

Ciri ketiga, Ar-Ridha bil-Qalil, merasa cukup dan ridha dengan pemberian Allah SWT, meskipun hanya sedikit. Keempat, Al-Isti`dadu li Yaumir-Rahil, yaitu sentiasa mempersiapkan bekal untuk menghadapi kematian dan kembali menghadap Allah.

Para sejarawan menulis bahwa khutbah Amirul Mukminin berakhir bersamaan dengan jatuh pingsannya Hammam.

Definisi Takwa
Secara bahasa takwa berasal dari kata wiqayatun yang berarti waspada dan berhati-hati. Sedangkan secara istilah, para ulama dari kalangan sahabat dan generasi setelahnya mendefinisikan takwa secara beragam.

Sementara itu, Prof HM Hasballah Thabib, dalam "La'allakum Tattaquun: Seratus Satu Jalan Menuju Taqwa yang Harus Dilatih Selama Bulan Ramadhan", mengatakan definisi takwa menurut Sayyidina Ali bin Abi Thalib, adalah takut kepada Allah SWT yang Maha-Agung, beramal sesuai dengan Al-Qur'an dan sunnah, qanaah terhadap yang sedikit dan bersiap untuk hari akhir.

Definisi dari Sayyidina Ali ini dikutip dari kitab berjudul at-Taqwa fi Al-Quran al-Karim karya Muhammad Ibrahim Dabiisi.

Di sisi lain, Abu Hurairah pernah ditanya oleh seseorang tentang makna takwa. Lalu, Abu Hurairah bertanya balik, “Apakah engkau pernah melewati jalan yang penuh onak dan duri?” Orang tersebut menjawab, “Ya, pernah.”

Abu Hurairah bertanya lagi, “Apa yang engkau lakukan?”. Orang tersebut menjawab, “Jika melihat duri aku akan menghindar, melewati atau aku berhati-hati darinya.” Lalu, Abu Hurairah menjelaskan, “Itulah makna takwa.”

Raghib Al-Isfahani dalam kitabnya "Al-Mufradat li Alfadz Al-Quran" mengatakan, “Kata wiqayah berarti menjaga sesuatu dari hal-hal yang menyakitkan. Adapun takwa berarti menempatkan diri di dalam penjagaan dari sesuatu yang menakutkan. Kata takwa dalam pandangan syariat berarti menjaga diri dari hal-hal yang akan menyeret manusia kepada perbuatan dosa dan meninggalkan hal-hal yang dilarang dan diharamkan olehnya.”

Bahkan, secara gamblang Raghib mengatakan bahwa arti “takwa” ialah menjaga dan memelihara diri, sementara penggunaan kata “takwa” dalam arti “takut” adalah penggunaan majazi atau metaforis.

Berkenaan dengan rasa takut kepada Allah SWT, maksudnya ialah takut kepada hukum keadilan Allah. Di dalam suatu doa disebutkan: “Wahai Dzat yang tidak diharapkan dari-Nya kecuali karunia-Nya, dan juga tidak ditakuti dari-Nya kecuali keadilan-Nya.”

Demikian juga dalam doa lain disebutkan: “Mahasuci Engkau yang tidak perlu ditakuti kecuali keadilan-Mu, dan tidak diharapkan kecuali karunai dan kebaikan-Mu.”

Keadilan itu sendiri pada hakikatnya bukanlah sesuatu yang menakutkan. Manusia merasa takut kepada hukum keadilan karena ia sadar telah berbuat kesalahan atau melanggar hak-hak orang lain. Oleh karena itu, para sufi mengajarkan bahwa seorang pelancong spiritual harus mempunyai keseimbangan dalam merasa cemas dan berharap (khawf dan raja’).

Ia mesti senantiasa berharap dan cemas, berpikir positif sekaligus negatif secara seimbang. Maksudnya, seorang Muslim harus senantiasa takut dan khawatir terhadap pembangkangan hawa nafsu dan kecenderungan jahat dalam dirinya, supaya kendali urusan tidak terlepas dari genggaman akal dan keimanan. Tetapi, pada saat yang bersamaan, dia harus tetap merasa yakin dan berharap akan kebaikan dan ampunan Allah SWT dengan memohon perlindungan dari-Nya.

Imam Ali Zainal Abidin dalam doa yang diriwayatkan oleh Abu Hamzah Ats-Tsumali mengatakan:

“Tuhanku, aku berdoa pada-Mu dengan penuh rasa gentar, cinta, harapan dan kecemasan. Tuhanku, aku takut bila melihat dosa-dosaku, Namun, jika aku melihat kedermawanan-Mu, aku menjadi penuh harapan.”

Hasballah Thabib menuturkan, dalam Al-Qur'an banyak sekali ayat yang membahas tentang sifat-sifat orang yang bertakwa. Di antara sifat-sifat mereka dinukilkan dari Surat Al Baqarah ayat 1-4 yang menerangkan sifat-sifat orang yang bertakwa.

Dalam ayat tersebut, menurutnya, Allah SWT mengumpulkan sifat-sifat muttaqin, yaitu beriman kepada yang ghaib, mendirikan sholat, menafkahkan yang wajib atau yang sunnah, beriman kepada Al-Qur'an dan Kitab-kitab sebelumnya dan beriman kepada hari akhir.

Tingkatan Takwa
Musa Kazhim dalam bukunya berjudul "Belajar Menjadi Sufi" mengatakan bertakwa kepada Allah bermakna bahwa seluruh aturan dan tuntunan Ilahi tidak akan berguna tanpa lahirnya ketakwaan dalam diri manusia.

Hanya takwa yang bisa memunculkan swakarsa dan self-enforcement untuk melaksanakan semua aturan dan tuntutan syariat. Kekuatan atau kesadaran takwa dapat menghindarkan orang dari segala bentuk pelanggaran, baik pada tataran kehidupan pribadi maupun masyarakat.

Dalam kaitan dengan takwa, setidaknya ada dua pembacaan di kalangan sufi. Pertama, takwa negatif yang bersumber pada upaya menjauhkan diri dari noda-noda maksiat.

Pada tingkat ini, takwa hanya menjauhkan manusia dari hal-hal yang menjurus pada kemaksiatan; persis seperti upaya seseorang memelihara kesehatan fisiknya dengan menjauh dari lingkungan yang diduga terserang penyakit atau wabah tertentu. Yang demikian tak pelak akan membawa sikap reaktif terhadap segala kemungkinan adanya penularan. Mendekati suatu tempat atau bergaul dengan suatu kelompok yang diduga tertular, dengan alasan apa pun, jelas-jelas merupakan pantangan.

Kedua, takwa positif yang bersumber pada kekuatan dalam jiwa. Pada tingkat ini, takwa bukan hanya menjauhkan orang dari lingkungan maksiat, melainkan menjaga dan membentenginya, terlepas apakah noda-noda itu berada di tempat yang jauh ataupun dekat.

Sekiranya orang seperti ini tinggal di lingkungan yang penuh dengan berbagai fasilitas maksiat, maka kekuatan takwa yang ada di dalam dirinya akan menjaga dan mencegahnya dari pencemaran lingkungan sekitarnya. Dan ini tak ubahnya seperti orang yang telah menjalani vaksinasi sehingga menjadi kebal terhadap pengaruh-pengaruh penyakit.

Kekebalan yang datang dari takwa ini sudah terang tidak bersumber pada faktor-faktor fisikal-eksternal, melainkan bersumber pada aktifasi potensi-potensi spiritual-internal untuk menolak segala macam keburukan yang dapat mengancam kesehatan aspek ruhani manusia. Dan salah satu potensi itu tak lain adalah akal dan perenungan. Fitrah, kalbu yang bersih, kesabaran, tawakal, keistiqamahan, dan lain sebagainya juga dapat memperkuat posisi akal dalam membentengi manusia.

Sayangnya, di kalangan para sufi, pembacaan negatif lebih umum berkembang ketimbang pembacaan positif. Akibatnya, berbondong-bondonglah orang menjauhi ruang-ruang kehidupan dan menyendiri di pedesaan.

Padahal, semua itu hanya mengacu pada makna takwa yang negatif, lemah dan temporer.

mhy) Miftah H. Yusufpati

No comments: