Kerancuan Filosofi Islam Nusantara

 

Allah telah menurunkan Islam di Negeri Arab, dan Al-Quran berbahasa Arab bukan Indonesia, maka tidak sepatutnya membenturkan Indonesia dengan Islam dan Nusantara

Qosim Nusrseha Dzulhadi

PENULIS baru selesai membaca sebuah buku dengan tajuk ‘Filosofi Islam Nusantara: Perspektif Syed Muhammad Naquib al-Attas’ (Lhokseumawe: Unimal Press, 2018). Menurut penulisnya, buku ini pada mulanya adalah tesis untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat guna memperoleh gelar Magister Agama (M.A) pada Program Studi Ilmu Agama Islam, Konsentrasi Pemikiran dalam Islam, Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Darussalam-Banda Aceh. (Filosofi Islam Nusantara, v).

Karena merupakan tesis tentu sangat menarik untuk dibaca, karena secara akademik ulasannya akan mendalam dan kritis. Apalagi yang diulas sosok pemikir besar taraf internasional, Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas (lahir 1931). Menariknya lagi, kajiannya sesuai dengan salah satu fokus kajian Prof. al-Attas: Kepulauan Melayu-Indonesia (the Malay-Indonesian Archipelago). Tetapi, oleh penulis buku ini istilahnya menjadi ‘Islam Nusantara’. Ini sebuah kerancuan.

Kerancuan Judul

Penulis katakan kerancuan, karena judul buku ini sudah tidak mencerminkan konsep dan pemikiran Prof. al-Attas mengenai Islam yang ada di ‘Kepulauan Melayu-Indonesia’. Karena Prof. al-Attas sendiri tidak pernah menggunakan istilah ‘Islam Nusantara’ dalam berbagai tulisannya. Beliau senantiasa menggunakan ‘Kepulauan Melayu-Indonesia’ (the Malay-Indonesian Archipelago).

Karena ini masalah teknis, maka siapapun harus berhati-hati menggunakan sebuah istilah. Ini adalah kerancuan pertama yang penulis temukan dalam buku ‘Filosofi Islam Nusantara’. Selain itu, kerancuan mengenai kesepaduan judul dengan konsep Prof. al-Attas mengenai Islam di ‘Kepulauan Melayu-Indonesia’ juga datang dari pengantar editornya.

Pemikiran tentang ‘Islam Nusantara’ dalam membangun konsepsi dasar pemikiran Prof. al-Attas diwarnai dengan pengantar editor yang tidak korelatif dengan kandungan buku. Sejatinya, buku berbicara tentang tokoh dan sejarah, tetapi editor bercerita tentang paham-paham liar yang dalam imajinasinya “mengancam” Pancasila. Ia menulis:

“Pembiaran atas berbagai paham keagamaan yang begitu liar dan bebas pasca Reformasi menyebabkan pemerintah sadar bahwa mereka harus turun tangan untuk menangani keliaran-keliaran itu karena bila terus dibiarkan, gerakan-gerakan keagamaan yang berpandangan literalistik dapat mengancam keutuhan negara. Banyak di antara paham-paham keagamaan ini menggantikan falsafah negara, yakni Pancasila dengan paham doktrin keagamaan yang sempit. Paham-paham liar itu menganggap Pancasila itu bertentangan dengan Islam. Pancasila dipandang sama dengan thagut yang sebenarnya makna aslinya dalam teks agama bersifat abstrak.” (Filosofi Islam Nusantara, vii).

Tentu saja penggalan pengantar editor tersebut sangat layak untuk dipertanyakan. Jika menyebut kata “pembiaran”, kira-kira siapa yang melakukan pembiaran itu?

Kemudian, paham-paham mana yang disebutnya ‘liar’ dan ‘bebas’ Pasca Reformasi? Dan, parameter liar dan bebas itu siapa yang menentukan: pemerintah atau masyarakat secara umum?

Selanjutnya, jika disebutkan bahwa banyak di antara paham-paham keagamaan ini menggantikan falsafah negara, yaitu Pancasila, paham yang mana yang telah menggantikan Pancasila?

Semestinya, pengantar editor “mengantarkan” nalar pembaca ke isi buku, bukan mengurangi bobot dan nilai isi buku. Apalagi berbau tuduhan tak berdasar, apalagi sampai menyebut kata “banyak” dan “menggantikan”.

Justru ini absurd bahkan rancu “pangkat dua”. Apalagi sampai ada yang menganggap Pancasila bertentangan dengan Islam. Ini pendapat siapa? Kelompok mana? Paham yang mana?

Karena bagi umat Islam, Pancasila sudah final, sudah diakui sebagai falsafah hidup bangsa sejak awal ditetapkannya. Bahkan demi persatuan dan kesatuan bangsa, tokoh-tokoh Islam setuju untuk menghapuskan “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta.

Apalagi, mayoritas yang menggodok Pancasila adalah tokoh-tokoh Islam (hanya satu yang non-Muslim: Dr. Mr. Alexander Andries Maramis (1897-1977), dari Kristen).

Kemudian, masih dalam pengantar editor, disebutkan pula bahwa Islam Nusantara adalah pemahaman Islam yang telah dibangun oleh para pemikir Muslim seperti Nurcholish Madjid, Ahmad Syafi’i Ma’arif, Saiful Muzani, Azyumardi Azra, Quraish Shihab, Said Aqil Siradj, Abdurrahman Wahid, Syed Muhammad Naquib al-Attas dan lainnya. (Filosofi Islam Nusantara, vii).

Pengantar editor ini semakin mengaburkan hakikat kajian Islam di Kepulauan Melayu-Indonesia menurut Prof. al-Attas. Apalagi jika tokoh-tokoh yang disebut di sini tidak mewakili kajian tentang “islamisasi” Kepulauan Melayu-Indonesia.

Dan tentunya mereka tidak banyak bersinggungan dengan teori masuknya Islam ke ‘Kepulauan Melayu-Indonesia’. Dan, menyatukan nama Prof. al-Attas dengan tokoh-tokoh ini dalam kajian yang sangat serius, seharusnya, seperti ini kurang tepat. Ini bisa disebut sebagai bentuk loss of adab (tidak beradab). Karena Prof. al-Attas sendiri tidak pernah membangun wacana tentang Islam Nusantara yang diinginkan oleh sang editor (mungkin juga sang penulis).

Kemudian, sang editor juga menyebutkan demikian, “Terma Islam Nusantara juga adalah fokus masyarakat NU dalam menyadarkan bahwa identitas Islam di Indonesia adalah identitas keberagamaan yang berbeda dengan varian Islam lainnya di Dunia Islam.” (Filosofi Islam Nusantara, viii).

Kesimpulan ini tentunya sangat sektarian. Seolah-olah selain NU tidak perhatian terhadap identitas keberagamaan di Indonesia.

Pengantar seperti ini tidak mencerminkan tujuan buku ini ditulis. Apakah kemudian pemahaman Islam di Indonesia ada perbedaan antara NU, Al-Washliyah, Perti, Persis, Muhammadiyah, Mathla’ul Anwar, dan ormas lainnya?

Seharusnya, pengantar editor fokus kepada tujuan mengapa buku ini ditulis, bukan keluar dari konteks yang diinginkan.

Kecuali itu, masih dalam pengantar editor, ditulis demikian, “Islam Nusantara adalah Islam yang damai, harmonis, dan terbuka sesuai dengan karakter masyarakatnya. Narasi Islam Nusantara selanjutnya diapresiasi pemerintah sehingga muncullah berbagai penelitian untuk mengeksplorasi identitas Islam Nusantara. Tujuan utamanya tentu adalah ingin menyadarkan masyarakat yang menolak model keberagamaan yang literalistik karena berpotensi pada pemahaman Islam yang radikalistik. Paham keagamaan radikal ini sangat berbahaya karena dapat mengancam keutuhan berbangsa dan berpotensi terjadinya perpecahan antar umat beragama di Indonesia.” (Filosofi Islam Nusantara, viii).

Pengantar editor semacam ini justru yang berbahaya. karena dia telah “mengotak-ngotakkan” paham keagamaan menuru versinya. Maka perlu didudukkan bahwa Islam yang ada di Indonesia ini asalnya dari Arab (Makkah dan Madinah), bukan dari Yunani, atau negeri lain.

Yang menerima Islam dari Allah adalah Rasulullah: orang Arab dari suku Quraisy. Para Sahabat Nabi di Makkah dan Madinah mayoritasnya suku Arab. Hanya sebagaian kecil dari suku bangsa yang lain. Itu pun mereka sudah berbahasa Arab.

Sebut saja, misalnya, Salman al-Farisi (dari Persia); Shuhayb al-Rumi (dari Romawi), atau Bilal dari Ethiopia (Habasyah). Istri Rasulullah salah satunya adalah Maryah al-Qibtiyah (dari Kristen Koptik Mesir) yang melahirkan putra Rasulullah yang bernama Ibrahim.

Dan Islam yang sampai ke Indonesia ini fondasinya adalah Al-Qur’an dan Sunnah, dalam bahasa Arab. Di antara ajarannya adalah Rukun Iman dan Rukun Islam.

Shalat, misalnya, tidak sah kalau tidak menggunakan bahasa Arab. Dan Islam yang datang ke Indonesia ini tidak beda dengan yang ada di negeri asalnya, Mekah dan Madinah. Al-Qur’an mengajarkan rahmatan li’l-‘alamin (Qs. 21: 107). Kemudian, Islam yang datang dari Arab ke sini juga mengajarkan co-existence atau al-ta‘āyisy al-silmī (hidup bersama dan berdampingan dengan damai), karena doktrinya adalahsama, ‘li ta‘ārafū’ (saling kenal, tenggang-rasa, tepa-selira, bahkan melakukan dialog antar-peradaban/ḥiwār al-ḥadhārāt) dalam Al-Qur’an yang berbahasa Arab itu (Qs. al-Ḥujurāt: 13).

Dalam hubungan antar-agama umat Islam diajarkan ‘lakum dīnukum wa-liyadīn, Qs. al-Kāfirūn). Bahkan, Surah al-Kafirun ini turun di Makkah, ketika masih dalam konteks dakwah Tauḥid: Islam dan umat Islam belum kuat di sana. Tapi, sikap tegas harus ada. Ini masalah aqidah, bukan masalah pluralisme yang sering dituduhkan kepada Islam sebagai orang yang tidak menghargai keberagaman dan kebhinnekaan.  

Orang-orang yang mengatakan bahwa Islam Indonesia ini ramah dan sangat beda dengan Islam Arab adalah contoh dari pernyataan tidak memahami Islam dan Arab itu sendiri. Sehingga sekarang muncul istilah-istilah lucu dan aneh, misalnya: “Islam tidak berarti Arab”, “Arab tidak berarti Islam”, “hilangkan budaya Arab”, “jangan tiru Islam di Arab”, dan slogan-slogan kosong makna dan menyesatkan lainnya.

Orang yang melontarkan slogan-slogan kosong makna seperti ini seperti membuat “musuh” imajiner. Padahal, orang Barat, bahkan para orientalis sangat memuji praktik kegamaan yang ramah dan egaliter di Madinah, tempat di mana Islam membangun peradaban sebelum disebarkan ke Nusantara.

Rasanya perlu kita mengkaji ulang pandangan jujur Graham E. Fuller yang menulis A World Without Islam (New York-Boston-London: Back Bay Books, 2011). Di dalamnya dia menyimpulkan bahwa Islam adalah agama damai. Maka, simpul Fuller, alangkah kacaunya dunia ini tanpa Islam.

Atau 3 jilid buku yang dikarang oleh Marshal G. S. Hodgson, ‘The Venture of Islam’ (Chicago-London: The University of Chicago Press, 1977). Atau, yang lebih klasik karya Thomas Walker Arnold (1864-1930) ‘The Preaching of Islam: A History of the Propagation of the Muslim Faith’ (Westminster: Archibald Constable & Co, 1896; London: Constable & Company Ltd., 1913), yang sejak awal pengantar sudah mengatakan: “The Qur’ān enjoins preaching and persuasion, and forbids violence and force in the conversion of unbelievers.”

Kita sangat khawatir jangan-jangan sudah banyak “anak-anak” titisan orientalis saat ini: yaitu mereka yang mengaku sebagai Muslim, tapi tidak yakin dengan agamanya. Lebih menyedihkan lagi, malah dia ikut menyudutkan dan menyerang ajaran agamanya sendiri.

Malang nian jika demikian. Karena saat ini, kata-kata radikalistik, radikalisme, Islam radikal, Islam fundamentalis, Islam intoleran dan istilah sejenis lainnya justru banyak dilontarkan oleh mereka yang mengaku Muslim. Kesannya seperti menjadi “agent” musuh Islam.

Seharusnya, serangan-serangan seperti ini yang wajib dibantah, dinegasikan, bukan malah diafirmasi. Tentu kita tidak menafikan ada sebagian kecil, bahkan segelintir Muslim berpikiran literalis, tapi ini minoritas. Bisa jadi dia salah paham tentang Islam. Maka, menjadi tugas seorang Muslim yang paham untuk meluruskannya, bukan malah memanfaatkannya untuk membangun teori aneh dan tidak sehat.

Islam adalah agama yang toleran dan menjunjung tinggi toleransi (tasāmuḥ, samāḥah): sejak datang dari Negeri Arab sampai sekarang di Indonesia. Apalagi terhadap agama orang lain. Islam sangat toleran. Jika tidak, Indonesia tidak akan sedamai sekarang. Tentang toleransi Islam ini, sejuk rasanya membaca pernyataan Esposito berikut ini,

“Historically, while the early expansion and conquest spread Islamic rule, Muslims did not try to impose their religion on others or force them to convert. As “People of the Book,” Jews and Christians were regarded as protected people (dhimmi), who were permitted to retain and practice their religions, be led by their own religious leaders, and be guided by their own religious laws and customs. For this protection, they paid a poll or head tax (jizya). While by modern standards this treatment amounted to second-class citizenship in premodern times, it was very advanced. No such tolerance exited in Christendom, where Jews, Muslims, and other Chritians (those who did not accept the authority of the pope) were subjected to forced conversion, persecution, or expulsion. Although the Islamic ideal was not followed everywhere and at all times, it existed and flourished in many context.” (John L. Esposito, What Everyone Needs to Know About Islam (New York: Oxford University Press, 2002), 71).

Dan mengenai berbagai tuduhan fundamentalis, radikalis, jihadis, dan istilah lainnya, menarik untuk menelaah beberapa karya intelektual Kristen Koptik dari Mesir, Dr. Nabīl Lūqā Bibāwī (1944-2021). Dr. Nabīl termasuk sarjana Kristen Koptik yang paling lantang dan tegas menolak Islam dinisbatkan kepada aksi-aksi terorisme dalam karyanya ‘al-Irhāb Ṣinā‘atun Ghayr Islāmiyyah’ (Kairo: Dār Bibāwī, 2002).

Dia juga menolak tesis yang menyatakan bahwa Islam disebarkan dengan pedang dalam ‘Intisyār al-Islām bi Ḥadd al-Sayf byna al-Ḥaqīqah wa al-Iftirā’ (Kairo: Dār Bibāwī, 2008). Dan banyak karyanya yang lain, yang mayoritas membantah tuduhan tak berdasar kepada Islam. Ini pembelaan jujur dan adil dari seorang sarjana Kristen Koptik (Qibti).

Seharusnya, pembelaan yang dilakukan seorang Muslim terhadap agamanya lebih besar, daripada pembelaan dari orang lain. Semoga kita termasuk generasi yang meyakini Islam ini adalah agama yang ditakdirkan oleh Allah untuk turun di Negeri Arab, bukan di Indonesia. Tetapi, karena dakwah Islam itu universal, maka Islam yang rahmatan li’l-‘alamin itu pun kita nikmati di sini, di Indonesia yang indah dengan kemajemukan yang harus kita pertahankan. Wallāhu a‘lam bis-shawāb.*

Penulsi dosen ‘Islamic Worldview’ di STIT Ar-Raudlatul Hasanah, Medan & Mahasiswa Program Doktor Ilmu Aqidah dan Filsafat Islam di Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor 

Rep: Admin Hidcom
Editor: -

No comments: