Tuntutlah Ilmu Sekalipun ke Negeri China, Bukan Hadis tapi Ungkapan Para Sufi

Tuntutlah Ilmu Sekalipun ke Negeri China, Bukan Hadis tapi Ungkapan Para Sufi
Carilah ilmu, bahkan sampai ke Negeri China adalah suatu ungkapan yang kerapkali dinyatakan para sufi, lebih mempunyai pengertian literal atau bahkan figuratif. Foto/Ilustrasi: Ist
Kalimat "carilah ilmu, bahkan sampai ke Negeri China" atau "tuntutlah ilmu sekalipun ke negeri China" yang banyak diklaim sebagai hadis oleh sejumlah daiternyata ungkapan yang seringkali diucapkan kalangan sufi . Ungkapan ini lebih mempunyai pengertian literal atau bahkan figuratif.

Idries Shah dalam bukunya berjudul "The Sufis" menjelaskan soal itu. Menurut dia, maksud dari ungkapan ini (dapat) dikuak melalui analisa atas pemakaian kata "China", diinterpretasi melalui bahasa rahasia. "China" adalah kata sandi untuk pemusatan pemikiran, salah satu praktik Sufi, sebuah prasyarat utama bagi pengembangan sufi.

Sementara, ungkapan itu adalah penting karena ia menunjukkan sebuah contoh koinsidensi dari kemungkinan interpretasi baik dalam bahasa Arab ataupun Persia. "Namun tidak ada hubungan yang jelas di antara keduanya," kata Idries Shah.

Kenyataannya, meskipun dieja dan dilafalkan secara berbeda, kata "China" dalam kedua bahasa tersebut secara substansial mengungkapkan konsep yang sama, mempunyai pemaknaan yang khusus bagi sufi.

Hadis Batil
Hanya saja, banyak dai yang menyebut kalimat, "tuntutlah ilmu sekalipun ke negeri China" adalah sebagai hadis.

Syaikh Muhammad Nashruddin al-Albani dalam kitabnya berjudul "Silsilatul-Ahaadiits adh-Dhaifah wal Maudhu'ah wa Atsaruhas-Sayyi' fil-Ummah" yang telah diterjemahkan A.M. Basamalah dengan judul "Silsilah Hadits Dha'if dan Maudhu'" menyebut tiwayat tersebut batil.

Kalimat yang disandarkan kepada Nabi SAW ini diriwayatkan oleh Ibnu Adi II/207, Abu Naim dalam Akhbar Ashbahan II/106, al-Khatib dalam at-Tarikh IX/364 dan sebagainya, yang keseluruhannya dengan sanad dari al-Hasan bin Athiyah, dari Abu Atikah Tharif bin Salman, dari Anas bin Malik ra. Kemudian semuanya menambahkan lafazh fa inna thalabal ilmi faridlatun 'ala kulli muslimin.


Ibnu Adi mengatakan, "Tambahan kata walaw bish Shin kami tidak mengenalinya kecuali datang dari al-Hasan bin Athiyah." Begitu pula pernyataan al-Khatib dalam kitab Tarikh seperti dikutip Ibnul Muhib dalam al-Fawa'id.

Kelemahan riwayat ini terletak pada Abu Atikah yang telah disepakati muhadditsin sebagai perawi sanad yang sangat dha'if. Bahkan oleh Imam Bukhari dinyatakan munkar riwayatnya. Begitu pula jawaban Imam Ahmad bin Hanbal ketika ditanya tentang Abu Atikah ini.

Ringkasnya, susunan dari hadits di atas adalah sangat dha'if atau bahkan sampai pada derajat batil. "Saya kira kebenaran ada pada ucapan Ibnu hibban dan Ibnul Jauzi yang berkata bahwa hadis di atas tidak ada sanadnya yang baik atau bahkan dianggap baik sampai derajat dapat dikuatkan atau saling menguatkan antara satu sanad dengan sanad yang lainnya," demikian al-Albani.

Adapun bagian kedua (tambahannya), mungkin dapat dinaikkan derajadnya kepada hadits hasan, seperti diutarakan oleh al-Mazi sebab sanadnya banyak yang bersumber pada Anas r.a. Dalam hal ini dari hasil penyelidikan yang saya lakukan, saya telah menemukan delapan sanad yang dapat diandalkan yang kesemuanya bersumber kepada sahabat Rasulullah SAW., di antaranya adalah Anas, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Mas'ud, Ali, Abu Said, dan sebagainya. Hingga kini pun saya masih menelitinya hingga saya benar-benar yakin dalam memvonis shahih, hasan ataupun dha'ifnya sanad-sanad tersebut. Wallahu a'lam.

(mhy)Miftah H. Yusufpati

No comments: