Rakyat Nusantara Memeluk Islam bukan Disebabkan Keyakinan?

Rakyat Nusantara Memeluk Islam bukan Disebabkan Keyakinan?
Ilustrasi pelabuhan tempo dulu. Benarkah masyarakat Nusantara memeluk Islam karena faktor ekonomi? Foto/Ilustrasi: Ist
Bernard H.M. Vlekke mengatakan bahwa Islam dibawa ke Nusantara lewat kegiatan dakwah merupakan hal yang menyesatkan. Ia mencatat bahwa, masyarakat Nusantara masuk Islam bukan disebabkan keyakinan, tapi disebabkan oleh motif-motif tersembunyi dan non-religius.

Dalam bukunya berjudul "Nusantara: Sejarah Indonesia", Vlekke mengisyaratkan bahwa sebenarnya faktor ekonomilah yang menjadi sebab utamanya. Dia menilai bahwa ada hubungan jelas antara persebaran Islam dan perdagangan rempah.

Sementara itu, Azyumardi Azra dalam bukunya berjudul "Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal" mengutip teori Schrieke mengatakan balapan antara Islam dan Kristen sebagai faktor yang mempercepat Islamisasi di Nusantara.

Menurutnya, teori Schrieke mengandung banyak kebenaran. Teori dari Schrieke ini, katanya, dikombinasikan dengan teori-teori lain. Tidak hanya itu, teori Schrieke tetap relevan bagi perkembangan sejarah dan masa kini dalam kedua agama tersebut khususnya di Indonesia.

Pada kenyataannya, menurut Azyumardi, periode kontemporer, menjadi saksi atas balapan dan persaingan yang pernah memanas antara dakwah Islam dan misi Kristen demi mendapatkan para pemeluk baru.

Menurut Schrieke, ekspansi Portugis di Nusantara pertama-tama mesti dilihat sebagai kelanjutan dari Perang Salib di Eropa dan Timur Tengah.

Dalam pandangannya, keinginanan berpetualang dan ambisi untuk kehormatan yang dikombinasikan dengan semangat keagamaan sebenarnya merupakan kekuatan pendorong yang menggerakkan ekspansi bangsa Portugis ke Asia.

Tidak hanya itu, bangsa Portugis dan Spanyol, atau bangsa Eropa secara keseluruhan, menyembunyikan sikap antipati dan kecemburuan terhadap kaum Muslim dan keyakinannya, mereka tidak menampakkan ketidaksukaan terhadap kaum Muslim yang mereka anggap kafir.

Lebih jauh lagi, menurut Schrieke, semangat dan cita-cita yang terkandung dalam Perang Salib terus melanjutkan pengaruhnya. Dengan mengemukakan argumen seperti ini, Schrieke mencatat pesaingan yang tajam dan keras antara Islam dan Kristen.

Namun, Azyumardi mengatakan, konflik di antara keduanya jelas didorong bukan hanya oleh agama, melainkan juga oleh kepentingan politik dan ekonomi. Ini dapat dilihat dengan jelas dalam catatan-catatan Schrieke yang menyatakan, bahwa, ketika Konstatinopel jatuh pada tahun 1204, Dinasti Abbasiyyah takluk di hadapan gerombolan Mongol pada tahun 1258, dan Acre, pertahanan terakhir Kristen di Palestina, terpaksa tunduk kepada kaum Muslim pada tahun 1291.

Kemudian, pusat aktivitas perdagangan bergeser dari jalur-jalur yang terbentang dari Gurun Persia melalui Baghdad ke pelabuhan-pelabuhan Suriah dan Asia kecil. Jalur perdagangan lain yang juga diambil oleh kaum Muslim adalah jalur laut dari Pesisir Yaman dan sepanjang Laut Merah menuju Iskandariah, Mesir, yang melaluinya pelbagai produk berharga Nusantara dan Timur Jauh mencapai Eropa melalui kota-kota dagang Italia.

Pada perdagangaan transit yang sibuk itulah, Mesir berutang budi atas kemakmurannya di bawah pemerintahan raja-raja Mamluk (1250-1517).

Selain faktor balapan Islam dengan Kristen, menurut Azyumardi, faktor hubungan antara Kesultanan Aceh dengan Dinasti Utsmaniyyah juga patut dipertimbangkan sebagai faktor-faktor yang mempercepat Islamisasi dan sekaligus pembentukan tradisi Islam di Nusantara.

Hubungan antara Kesultanan Aceh dan Dinasti Turki bermula ketika Sultan Turki membantu Aceh dalam mengusir bangsa Portugis dari pendudukan baru mereka di Pidie pada tahun 1521 dan Pasai pada tahun 1524, kemudian Sultan Aceh, Ala Al-Din Ri’ayat Syah Al-Kanhar (1537-1571), mengambil langkah formal untuk tunduk secara sukarela kepada kekuasaan Dinasti Turki Utsmani sebagai balasan atas bantuan militer yang diberikan Turki.

Hubungan antara Kesultanan Aceh dan Dinasti Turki Utsmaniyyah tampak unik karena Aceh jauh dari Turki. Namun, Islam sebagai agama rakyat telah mempersatukan perasaan mereka.

Tidak Seragam
Di sisi lain, Azyumardi Azra mengatakan bahwa pengislaman seluruh kawasan Nusantara tidak seragam. Dia mencontohkan, di daerah pesisir yang umumnya memiliki budaya maritim dan cenderung terbuka terhadap kehidupan kosmopolitan, Islam masuk dengan cara yang lebih mudah dan dalam daripada di daerah pedalaman yang memiliki budaya agraris yang lebih tertutup.

Lebih jauh, berbeda dengan penduduk kota pelabuhan yang lebih mudah mengadopsi agama yang universal dan abstrak. Penduduk pedalaman lebih kukuh mengikatkan diri kepada arwah lokal dan dewa alam untuk kehidupan yang mereka yakini bergantung pada hubungan mereka dengannya.

Sementara itu, Rizem Aizid dalam bukunya berjudul "Sejarah Islam Nusantara" mencatat, bahwa Islam masuk ke Sumatera mengalami kesulitan dikarenakan di Sumatera masih ada kerajaan Buddha Sriwijaya yang berdiri.

Setelah Sriwijaya mengalami kemunduran, barulah Islam bisa masuk ke daerah-daerah Sumatera.

Kata “daerah-daerah” yang disebutkan oleh Aizid tadi lebih berorientasi kepada daerah perkotaan besar di Nusantara. Sebagai contoh, masuknya Islam ke Sumatera Utara, Aizid hanya menerangkan bahwa Islamisasi terjadi hanya di Barus, Aceh, dan Mandailing, yang notabene daerah-daerah itu merupakan daerah perkotaan, pelabuhan, dan daerah kerajaan, Islamisasi tidak merangkul kedaerah pedalaman.

Bersifat Evolusioner
Islamisasi Nusantara, menurut Azyumardi, merupakan suatu proses yang bersifat evolusioner. Manakala Islam segera memperoleh konversi banyak penguasa pribumi, Islam kemudian berkembang di tingkat rakyat bawah.

Dalam buku "Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana & Kekuasaan" Azyumardi Azra menyebut penetrasi Islam di Nusantara terbagi menjadi tiga tahap.

Tahap pertama, dimulai dengan kedatangan Islam yang kemudian diikuti dengan kemorosotan, serta keruntuhan Kerajaan Majapahit pada kurun abad ke-14 dan ke-15.

Dalam tahap pertama ini penyebaran Islam masih relatif terbatas di kota-kota pelabuhan. Namun, dalam waktu singkat, Islam menempuh jalannya memasuki wilayah pesisir lainnya dan pedesaan. Pada tahap ini para pedagang dan ulama-ulama yang sekaligus guru-guru tarekat dengan murid-murid mereka memegang peran penting dalam penyebaran tersebut.

Secara umum, Islam tasawuf unggul pada tahap ini, hal ini karena Islam tasawuf yang datang ke Nusantara, dengan segala pemahaman dan penafsiran mistisnya terhadap Islam dalam beberapa segi tertentu rupanya cocok dengan latar belakang masyarakat setempat yang dipengaruhi asketisme Hindu-Budha dan sinkretisme kepercayaan lokal.

Tahap kedua, sejak datang dan mapannya kekuasaan kolonialis Belanda di Nusantara awal abad ke-19.

Tahap ketiga, bermula pada awal abad ke-20 dengan terjadinya “liberalisasi” kebijaksanaan Pemerntahan kolonial, terutama Belanda di Nusantara.

Azyumardi juga percaya kepada kerangka Nock, bahwa, penerimaan masyarakat terhadap Islam, lebih tepat disebut adhesi, yakni konversi ke dalam Islam tanpa meninggalkan kepercayaan dan praktik keagamaan yang lama.

Sebagaimana yang diungkapkan dalam sebagian besar historiografi tradisional Nusantara, pada umumnya orang-orang setempat menerima Islam karena mereka percaya bahwa Islam akan memuaskan kebutuhan materi dan alamiah mereka.

Sedangkan menurut Ahmad Baso sebagaimana dikutip Azyumardi, Islam masuk ke Nusanatara bukan semata-mata hanya sekadar adhesi atau asal menerima saja dari Arab atau dari bangsa manapun.

Menurut Ahmad Baso, ada arus dari Arab yang di terima, tetapi Nusantara juga membawa arus ke sana yang mereka akan terima.

Instrumen arus itu berbasis arah angin. Angin barat di musim hujan membawa kapal-kapal negeri Arab ke Nusantara. Di sini, mereka membawa barang, manusia dan juga ide. Akan tetapi, ketika memasuki musim kemarau, arah angin berubah, angin akan bertiup dari timur ke barat. Maka giliran kapal-kapal dari Nusantara yang bergerak ke Timur Tengah atau Arab, membawa barang, manusia, termasuk ide-ide yang berasal dari Nusantara tersebut.

(mhy)Miftah H. Yusufpati

No comments: