Piagam Madinah: Bukan Sekadar Perjanjian dengan Kaum Yahudi

Piagam Madinah: Bukan Sekadar Perjanjian dengan Kaum Yahudi
Banyak pertanyaan seputar Piagam Madinah. Foto/Ilustrasi: Ist
Perjanjian antara kaum Yahudi di Madinah dengan Rasulullah SAW , yang juga melibatkan kaum Muhajirin dan Ashar dikenal dengan nama Piagam Madinah. Pertanyaannya sekarang, apakah Piagam Madinah dikenal dalam sumber-sumber historis dengan nama shahifah yang secara harfiah berarti “lembaran”, kitab atau yang secara harfiah berarti “tulisan”, atau nama lainnya?

Dr Muhammad bin Fariz al-Jamil, dalam bukunya berjudul "Nabi Muhammad dan Yahudi Madinah" menjelaskan nama shahifah muncul dalam semua riwayat, baik dari Ibnu Hisyam, Ibnu Salam, maupun Humaid bin Zanjawaih.

"Dalam riwayat Ibnu Ishaq yang dilaporkan Ibnu Hisyam, shahifah disebutkan enam kali," ujarnya dalam bukunya yang berjudul asli "An-Nabi wa Yahid al-Madinah, Dirasah Tabliliyah li Alagah ar-Rasul bi Yahud al-Madinah wa Mawaqif al-Mustasyriqin Minha" dan diterjemahkan Indi Aunullah.

Demikian pula dalam riwayat Syihab az-Zuhri yang dilaporkan Ibnu Salam, ia disebutkan enam kali.' Adapun az-Zuhri, yang dilaporkan Ibnu Zanjuwaih, menyebutkannya sebanyak tujuh kali.

Sementara itu, nama kitab muncul satu kali di awal semua riwayat dalam ketiga sumber di atas dengan bunyi, “Ini adalah kitab dari Nabi Muhammad ....”

Ia tidak muncul lagi dalam teks-teks riwayat terkait dokumen Madinah. Karena itulah, nama atau sebutan shahifah lebih sesuai dibanding selainnya karena muncul berkali-kali dalam semua teks perjanjian.

Riwayat dan Sejarahnya
Muhammad bin Fariz mengatakan persoalan lain terkait Piagam Madinah terungkap dalam pertanyaan berikut: apakah naskah Piagam Madinah ada satu atau dua? Jika ada dua, apakah keduanya ditulis dalam sekali waktu atau tidak? Jika tidak dalam waktu bersamaan, manakah yang ditulis lebih dahulu? Jika ditelisik lebih lanjut, apa alasan pendahuluan tersebut?

Menghadapi pertanyaan-pertanyaan ini, kata Muhammad bin Fariz, siapa saja yang mengikuti perkembangan berbagai peristiwa sirah nabawiyah di akhir fase Mekkah dan awal fase Madinah akan menduga hal pertama yang terjadi adalah penulisan sebuah dokumen antara orang-orang Muhajirin yang datang ke Madinah dan orang-orang Anshar penghuni kota ini, untuk mengatur hubungan mereka serta menjelaskan berbagai hak dan kewajiban masing-masing.

Abu Ubaid mengisyaratkan hal tersebut dalam al-Amwil sebagai berikut, “Dokumen yang ditulis Rasulullah antara kaum muslimin dari Quraisy dan penduduk Yatsrib beserta para pengikut mereka terjadi tak lama setelah kedatangan beliau ke Madinah, barangkali di bulan-bulan awal menetapnya sang Nabi di Madinah.”

Sebelum Abu Ubaid, Ibnu Ishaq merujuk hal tersebut saat menuturkan, “Rasulullah menulis sebuah dokumen antara kaum Muhajirin dan Anshar berisi perjanjian damai dengan orang-orang Yahudi.”

Dalam riwayat terakhir ini, terdapat isyarat bahwa penulisan dokumen antara kaum Muhajirin dan Anshar maupun perjanjian dengan orang-orang Yahudi dilaksanakan pada waktu bersamaan. Akan tetapi, di luar prediksi perkembangan berbagai peristiwa dan watak relasi antara kelompok-kelompok ini berjalan ke arah sebaliknya.

Dimaklumi bahwa Bai'ah al-Aqabah Kedua yang diikuti lebih dari 70 penduduk Yatsrib dari suku Aus dan Khazraj menjamin perlindungan atas Rasulullah ketika tinggal dan menjadi bagian mereka, bahkan jaminan ini digambarkan sebagaimana mereka melindungi para perempuan dan anak-anak sendiri. Juga, dimaklumi bahwa kaum Yahudi Yatsrib tidak terwakili dalam peristiwa pernyataan kesetiaan dan loyalitas kepada Nabi Islam itu.

Diriwayatkan bahwa Abu al-Haitsam bin at-Tayyihan' berkata, “Wahai Rasulullah, antara kami dan orang-orang itu (kaum Yahudi Madinah) terdapat ikatan. Sungguh, kami akan memutuskannya demi engkau. Jika kami melakukan hal itu kemudian Allah memberi engkau kemenangan, apakah Anda akan kembali ke kaummu dan meninggalkan kami?”

Seandainya ada perwakilan Yahudi yang hadir dalam perkumpulan itu, tentu tidaklah pas jika Abu al-Haitsam membicarakan masalah pemutusan hubungan dan pengumuman konflik di antara dua golongan besar di Madinah ini.

Nabi Muhammad sendiri di era Mekkah tidak memusuhi orang-orang Yahudi, pun tidak menyerukan kemarahan terhadap atau memutus hubungan dengan mereka, bahkan beliau berharap merekalah yang pertama kali beriman oleh sebab tergolong Ahli Kitab. Berdasar logika itu, penyertaan kaum Yahudi di sini bukan tanpa persoalan, malahan tidak mustahil penyebutannya disisipkan belakangan.

Bagaimanapun juga, Bai'ah al-Aqabah Kedua beserta klausul-klausul yang dimuatnya dari pihak Rasulullah maupun pihak warga Yatsrib, serta penunjukan para pemimpin untuk menjadi penjamin keamanan oleh beliau, sudah memadai.

Dalam arti, setelah kedatangan Nabi ke Madinah tidak dibutuhkan dokumen perjanjian baru antara kaum Muhajirin di satu pihak, dengan beliau sebagai pemimpin mereka, dan suku Aus dan Khazraj serta para pemuka mereka di pihak lain.

Belum lagi pengaturan yang ditetapkan sang Nabi dengan mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Anshar pada bulan-bulan pertama kedatangannya ke Madinah, pastinya ia punya pengaruh mendalam terhadap setiap individu muslim di Madinah. Karena berkat semangat persaudaraan dan ikatan keimanan ini, sedikit-banyak mereka telah berhasil mengatasi banyak perbedaan yang bisa jadi menyebabkan konflik internal.

Di sisi lain, Yahudi Madinah bukanlah salah satu pihak dalam Bai'ah alAqabah Kedua. Jelas, mereka tidak pernah mengajak Rasulullah tinggal bersama mereka di Yatsrib. Karena itu, masuk akal jika setibanya di Madinah, beliau segera mengupayakan kesepahaman dan perdamaian dengan mereka dengan menulis satu, atau barangkali lebih dari satu, dokumen perjanjian.

Al-Maqrizi (w. 845 H) dalam Imta' al-Asmd menulis bahwa Rasulullah berdamai dengan orang-orang Yahudi Madinah dan menuliskannya dalam sebuah dokumen. Mereka terdiri dari tiga kelompok: Bani Qainuga, Bani Nadhir, dan Bani Ouraizhah.

Perlu kita garis bawahi, kata Muhammad bin Fariz, dalam riwayat ini al-Maqrizi tidak menyebutkan kaum muslimin. Al-Maqrizi tidak menyebutkan pula maksud dokumen tersebut, tetapi patut dicatat bahwa makna muwida'ah adalah shulh dan silm (perdamaian). Pemaknaan ini seperti disebutkan contohnya dalam al-Nihdyah fi Gharib al-Hadits, “Nabi berdamai dengan Bani Fulan, yakni berdamai dengan mereka, dengan syarat mereka tidak memerangi dan mengganggu.”

Muhammad bin Fariz menjelaskan definisi muwada'ah itu kurang lebih sepadan dengan apa yang dinukil al-Balazhuri mengenai muwida'ah Rasulullah dengan orang-orang Yahudi. Dia melaporkan, “Saat tiba di Madinah, Rasulullah wida'a (berdamai) dengan orang-orang Yahudi di sana dan menulis dokumen perjanjian antar mereka."

"Beliau mengajukan beberapa klausul: mereka tidak boleh membantu musuhnya, mereka harus membantunya menghadapi pihak lain yang menyerang, dan ahl al-zhimmah (orang kafir yang membayar jizyah dan minta perlindungan orang muslim) tidak boleh diperangi.”

Sementara itu, ath-Thabari (w. 310 H) menuturkan bahwa ketika sampai di Madinah, Nabi Muhammad wida'a (berdamai) dengan orang-orang Yahudi di sana dengan dua syarat. Yaitu mereka tidak boleh membantu siapa pun yang memerangi beliau, dan jika musuh menyerang beliau maka mereka harus membantu melawannya.

Dibandingkan contoh-contoh muwadda'ah atau perjanjian tersebut, ujar Muhammad bin Fariz, kita mendapati bahwa perjanjian terkait orang-orang Yahudi yang termaktub dalam Piagam Madinah berbeda pada banyak segi.

"Hal ini menjadi salah satu alasan saya mengajukan hipotesis bahwa teks-teks perjanjian semacam ini disepakati Rasulullah bersama kabilah-kabilah besar Yahudi pada periode pra-Badar," kata Muhammad bin Fariz.

Juga tidak mustahil kalau isi perjanjian itu disepakati dengan masing-masing kabilah secara terpisah, mengingat afiliasi mereka yang berbeda terhadap kabilah-kabilah Arab di Madinah. Bani Quraizhah dan Bani Nadhir adalah sekutu kabilah Aus, sedangkan Bani Qainuga adalah sekutu kabilah Khazraj.

Menurut Muhammad bin Fariz, tak diragukan lagi bahwa peristiwa Bu'ats, yang terjadi tak lama sebelum Hijrah, memiliki pengaruh yang mendalam dan berkepanjangan terhadap perpecahan internal kaum Yahudi. Sehingga, tidaklah mudah menyatukan mereka dalam sebuah piagam tunggal seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Syihab az-Zuhri.

Analisis demikian mengantarkan kita pada hipotesis bahwa bagian terkait orang-orang Yahudi dalam Piagam Madinah ditulis setelah Perang Badar. Tak tersisa pilihan lain di hadapan kubu-kubu yang bertikai di kalangan Yahudi Madinah, barangkali juga dari kalangan orang-orang musyrik, kecuali harus mengakui realitas yang mewujud di Badar dan mengamini kepemimpinan mutlak Rasulullah atas masyarakat Madinah.

"Selain itu, harus diasumsikan bahwa bagian mengenai orang-orang Yahudi dalam Piagam Madinah baru ditulis dan diakui setelah penulisan bagian terkait kaum Muhajirin dan Anshar," ujar Muhammad bin Fariz.

Menurut Muhammad bin Fariz, keunggulan hipotesis ini barangkali akan jelas saat kita mendiskusikan penulisan bagian Piagam terakhir (dari pihak muslimin). Karena Bai'ah alAgabah Kedua beserta klausul-klausul yang dimuatnya, yang barangkali dalam bentuk tertulis, di samping menetapkan prinsip persaudaraan antara Muhajirin dan Anshar di Madinah, dengan sendirinya ia meniadakan kebutuhan penulisan dokumen baru hingga terjadinya Perang Badar.

Namun, tidaklah mustahil bahwa setelah Perang Badar keadaan berubah dan berbagai relasi dan kepentingan berbagai kubu saling tumpang tindih sehingga dibutuhkan penulisan Piagam Madinah antara Muhajirin dan Anshar, terutama karena kaum Anshar mulai saat itu menjadi salah satu kubu menghadapi kaum kafir Quraisy dan para sekutunya.

Dalam riwayat dari Ibnu Syihab az-Zuhri, disebutkan bahwa Rasulullah menulis dokumen berikut: “Ini adalah dokumen tertulis dari Nabi Muhammad untuk kaum mukminin dan muslimin Quraisy serta penduduk Yatsrib dan orang-orang yang mengikuti, menggabungkan diri, tinggal bersama, dan berjuang dengan mereka. Sesungguhnya, mereka semua adalah satu umat yang berbeda dari kelompok manusia yang lain.

Kaum Muhajirin dari Quraisy, sesuai kebiasaan mereka, bahu-membahu membayar tebusan darah seperti membayar tebusan tawanan secara baik dan adil ....”

Menurut Muhammad bin Fariz, dokumen ini kemudian memuat uraian panjang mengenai pembayaran tebusan darah di antara mukminin.

Dari beberapa kutipan dalam kitabal-Amwal karya Abu Ubaid, jelaslah bahwa yang dimaksud dengan dokumen yang diriwayatkan az-Zuhri sebenarnya sama dengan dokumen yang diriwayatkan kepada kita oleh Ibnu Ishaq. Ia juga sama dengan dokumen yang dinukil Abu Ubaid dari az-Zuhri, yang isinya kurang lebih sama dengan isi riwayat Ibnu Ishaq.

Tujuan mengutip teks singkat yang diriwayatkan oleh Abu Ubaid dari az-Zuhri di atas hanyalah menunjukkan dokumen yang ditulis antara kaum Muhajirin dan Anshar sepenuhnya terpisah dengan dokumen antara kaum muslimin dan orang-orang Yahudi.

Menurut Muhammad bin Fariz, maka patut diperhatikan bahwa dalam riwayatnya, az-Zuhri tidak menyatakan Nabi Muhammad menulis sebuah dokumen antara kaum Muhajirin, penduduk Madinah, dan orang-orang Yahudi, melainkan menyebutkan pihak-pihak yang terlibat dalam dokumen tersebut adalah kaum Muhajirin dari suku Quraisy dan orang-orang muslim dari penduduk Yatsrib.

"Penyebutan orang-orang Yahudi muncul belakangan, seolah-olah sebagai ajakan kepada mereka untuk bergabung dalam kesepakatan pasal 16," katanya.

Juga disebutkan dalam riwayat Anas bin Malik, bahwa Rasulullah menjalin aliansi antara Muhajirin dan Anshar di rumah Anas.'

Adapun makna pembentukan aliansi ini tak lain adalah penulisan piagam atau dokumen perjanjian di antara mereka, yang berisi kesanggupan semua pihak untuk mematuhi hak dan kewajiban masing-masing.

(mhy) Miftah H. Yusufpati

No comments: