Pada Awalnya Jin Sangat Takut Manusia, Mengapa Kini Berani Mengganggu?

Pada Awalnya Jin Sangat Takut Manusia, Mengapa Kini Berani Mengganggu?
Jin pada mulanya sangat takut kepada manusia? Foto/Ilustrasi: adamb
Pada awalnya jin amat takut kepada manusia. Hanya saja, karena kesalahan manusia, jin menjadi sangat berani dan sering mengganggu anak adam. Jin terus meningkatkan gangguannya, agar manusia semakin takut kepada dirinya.

Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan sebuah kisah bahwa dahulu jin takut kepada manusia, sebagaimana sekarang manusia takut kepada jin, atau bahkan lebih parah dari itu. Pada mulanya apabila manusia istirahat di suatu tempat, maka jin yang menghuni tempat ini bubar melarikan diri.

Hal itu tidak terjadi lagi, begitu pemimpin manusia mengatakan, "Kita meminta perlindungan kepada pemimpin jin penghuni lembah ini."

Maka jin berkata, "Kita lihat manusia takut kepada kita, sebagaimana kita juga takut kepada mereka." Akhirnya jin mendekati manusia dan menimpakan kepada mereka penyakit kesurupan dan penyakit gila.

Ada satu kisah lagi. Pada satu malam seekor serigala membawa lari seekor anak kambing dari kandangnya. Kontan saja si penggembala melompat dan berkata, "Hai penghuni lembah ini, tolonglah aku!"

Maka terdengariah suara seruan mengatakan, "Hai Sarhan (nama serigala itu), lepaskanlah anak kambing itu!" Maka anak kambing itu bergabung kembali dengan kumpulan ternak dengan berlari tanpa mengalami luka apa pun.

Barangkali serigala yang mengambil anak kambing itu adalah jelmaan jin untuk menakut-nakuti manusia agar manusia takut kepadanya. Jin itu mengembalikan anak kambing itu ketika manusia meminta tolong dan memohon perlindungan kepadanya, hingga manusia itu menjadi sesat, dihinakan oleh jin.

Perubahan perilaku jin ini disampaikan Allah SWT dalam surat al-Jinn ayat 6. Allah Allah SWT berfirman:

وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الإنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا

"Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan." ( QS Al-Jin : 6)

Menurut Ibnu Katsir, sudah menjadi kebiasaan orang-orang Arab di masa Jahiliah dulu. Mereka meminta perlindungan kepada pemimpin jin di tempat mereka beristirahat agar mereka tidak diganggu olehnya.

Kondisinya sama persis dengan seseorang yang akan memasuki kota musuh, mereka di bawah jaminan perlindungan orang besar yang berpengaruh di kota tersebut.

As-Saddi mengatakan bahwa dahulu bila seseorang melakukan perjalanan bersama keluarganya, dan di suatu tempat ia turun istirahat, maka ia mengatakan, "Aku berlindung kepada pemimpin jin lembah ini agar aku jangan diganggu atau hartaku atau anakku atau ternakku."

Nah, ketika jin melihat bahwa manusia itu selalu meminta perlindungan kepada mereka karena takut kepada mereka, maka justru jin-jin itu makin membuatnya menjadi lebih takut, lebih ngeri, dan lebih kecut hatinya.

Hal ini dimaksudkan agar manusia itu tetap takut kepada mereka dan lebih banyak meminta perlindungan kepada mereka, sebagaimana yang dikatakan oleh Qatadah sehubungan dengan makna firman-Nya: maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan (Al-Jin: 6). Yaitu makin menambah manusia berdosa, dan jin pun sebaliknya makin bertambah berani kepada manusia.

Qatadah mengatakan bahwa apabila dia meminta perlindungan kepada jin selain dari Allah, maka jin makin menambah gangguannya kepada dia, dan membuatnya makin merasa takut.

Lebih Tua
Ibnu Katsir saat menafsirkan Surat Al-Jinn ayat 27 mengutip riwayat hadis yang mengatakan bahwa jin diciptakan dari 70 bagian angin panas. Menurut riwayat lain, dari nyala api yang paling baik. Lalu, Amr ibnu Dinar, menyebut dari api matahari.

Allah SWT berfirman: 'Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas' ( QS Al-Hijr : 27).

Setidaknya diitemukan lima padanan kata yang sering digunakan Al-Quran untuk menunjuk makhluk halus dari kalangan jin yaitu jin, jaann, jinnah, iblis, syaithan.

Muhammad Quraish Shihab dalam buku "Mengenal Malaikat dalam Al-Quran", menjelaskan cukup rinci menerangkan istilah akar kata jin, yang pada maknanya adalah yang tersembunyi dan tertutup.

Semantik kata yang sama dengan jin, menurut Quraish Shihab, di antaranya adalah majnun (manusia yang tertutup akalnya), janin (bayi yang masih dalam kandungan, karena tertutup oleh perut ibu), al-junnah (tameng, ia menutupi seseorang dari gangguan), junnah (orang munafik yang menjadikan sumpah untuk menutupi kesalahan dan menghindarkan dari kecaman dan sanksi), kemudian janin (kalbu manusia, karena ia dan isi hati tertutup dari pandangan dan pengetahuan).

Al-Isfahany juga turut memberikan keterangan bahwa definisi jin secara etimologi berasal dari lafadz “janna” dalam surah Al-An’am ayat 76. Melalui bukunya "Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Quran", Al-Isfahany menafsirkan lafazd jin dalam ayat tersebut bermakna sebagian ruh yang tertutup bagi panca indera, di antara mereka ada yang baik dan ada pula yang jahat.

Mengenai ayat ini Jauhari dalam Tafsir Al-Jawahir berpendapat bahwa kata jaann dalam ayat tersebut adalah sekelompok jin yang telah ada sebelum Nabi Adam diciptakan. Hal ini dikukuhkan oleh kebiasaan Al-Quran yang memperhadapkan lafadz “insi” yang berarti kumpulan manusia dengan “jaanni” seperti dalam surah Ar-Rahman ayat 39.

Tugas Jin
Setiap ciptaan Allah pasti mempunyai tujuan atas penciptaan tersebut, termasuk pula makhluk yang bernama jin. Dalam surat Az-Zariyat ayat 56 disebutkan bahwa tujuan diciptakannya jin dan manusia adalah untuk beribadah, atau mengabdi kepada Allah.

Mengabdikan diri kepada Allah berarti jin dibebani (mukallaf) hukum syara’ dengan konsekuensi logis, bahwa apabila ia melaksanakan peritah Allah mereka akan diberikan pahala, demikian pula ketika mereka durhaka maka akan mendapat dosa dan akan menerima siksa di akhirat kelak.

Keterangan tugas jin sebagai makhluk yang taklif syariat juga ditegaskan Allah dalam surah Al-An’am ayat 130. Kemudian jika menelisik surah Ar-Rahman , lafadz “fabiayyi aalaai rabbikumaa tukadzdzibaan” yang berulang sebanyak 26 kali, khitabnya adalah mutsanna yaitu dari kalangan manusia dan juga jin. Memang tidak ada rasul yang diutus dari kalangan jin, namun mereka tetap dapat menerima ajaran yang disampaikan rasul tersebut sebagaimana dalam surah Jin ayat 1-2:

قُلْ أُوحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِنَ الْجِنِّ فَقَالُوا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا . يَهْدِي إِلَى الرُّشْدِ فَآمَنَّا بِهِ وَلَنْ نُشْرِكَ بِرَبِّنَا أَحَدًا

“Katakanlah (hai Muhammad): ‘Telah diwahyukan kepadamu bahwasannya: ‘telah mendengarkan sekumpulan jin (akan Al-Quran), lalu mereka berkata ‘Sesungguhnya kami telah mendengarkan Al-Quran yang menakjubkan, yang memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya, dan sekali-kali tidak akan mempersekutukan seseorangpun dengan Tuhan kami’.”

Al-Maraghi dalam Tafsir Al-Maraghi menjelaskan bahwa dalam ayat tersebut Rasulullah mengetahui para jin yang mendengar wahyu yang diturunkan kepadanya, tetapi tidak melalui kesaksian mata.

Al-Mawardi dengan mengutip riwayat dari Ibnu Abbas mengasumsikan bahwa jin beriman setelah Al-Quran diturunkan Nabi Muhammad.

Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar dengan mengutip pendapat Ar-Razi juga memberikan pandangan bahwa jin memahami bahasa manusia. Mereka mendengarkan pembacaan ayat-ayat Al-Quran dari Nabi. Adapun bagaimana cara mendapatkan dan mendengarkan bacaan tersebut memang tidak diterangkan lebih lanjut, dan hanya Allah yang mengetahui.

Jin dan Makhluk Gaib
Jin sering dicatut namanya ketika menyebut iblis atau setan. Sebetulnya pencatutan demikian tidak sepenuhnya keliru, namun menggeneralisir jin adalah iblis atau setan adalah kurang tepat.

Jin sendiri sama seperti manusia, ia terklasifikasi menjadi dua sifat yaitu jin muslim dan jin kafir. Pada manusia pun juga terdapat dua sifat, yaitu manusia yang beriman kepada Allah dan manusia yang durhaka kepada Allah.

Adapun iblis terdapat pengertian sendiri. Mufassir seperti Hasbi As-Shiddiqi dalam Tafsir al-Quran al-Majid an-Nur dan At-Thabari dalam Jami’ al-Bayan li Ta’wil al-Quran meyakini pendapat bahwa iblis adalah dari kalangan malaikat.

Mengutip Az-Zamakhsyari dan Al-Kawasyi, Hasbi As-Shiddiqi memberikan pandangan bahwa iblis ini adalah jin yang ada di antara beribu-ribu malaikat.

At-Thabari memberikan argumentasi bahwa secara bahasa kata jin dapat mencakup malaikat karena ketertutupan dan ketersembunyian malaikat dari jangkauan indra manusia. Dalil lain yaitu dengan adanya perintah sujud para malaikat kepada Adam.

Pendapat As-Shiddiqi dan At-Thabari tersebut agak rancu mengingat malaikat sendiri tercipta dari nur atau cahaya, sedang iblis dari api.

Pendapat dari Quraish Shihab menyatakan bahwa iblis bukan termasuk jenis malaikat. Quraish Shihab juga mengutip pendapat Mutawalli Sya’rawi dalam kitab Syaithan wa al-Insan bahwa kita harus mengenal setan-setan dari jenis jin dan setan-setan dari jenis manusia.

Kedua jenis ini dihimpun oleh sifat yang sama dan tugas yang sama, yaitu membendung kebenaran, mengajak kekufuran, menyebarkan kedurhakaan dan pengrusakan di bumi.

(mhyMiftah H. Yusufpati

No comments: