Kota Madinah sebagai Tanah Haram Termaktub di Piagam Madinah

Kota Madinah sebagai Tanah Haram Termaktub di Piagam Madinah
Kota Madinah tahun 1907. Madinah sebagai kota haram termaktub dalam Piagam Madinah. Foto/Ilustrasi: kartu pos grenville colline
Kota Madinah sebagai tanah haram atau suci ada dalam Piagam Madinah yakni pasal 39. Dr Muhammad bin Fariz al-Jamil, dalam bukunya berjudul "Nabi Muhammad dan Yahudi Madinah" menyebut pasal ini tak diragukan lagi punya signifikansi khusus, karena ia berkaitan dengan pengharaman (penyucian) Madinah, Yaitu berupa penetapan batas-batas geografis kota ini.

Selanjutnya dalam buku yang berjudul asli "An-Nabi wa Yahid al-Madinah, Dirasah Tabliliyah li Alagah ar-Rasul bi Yahud al-Madinah wa Mawaqif al-Mustasyriqin Minha" dan diterjemahkan Indi Aunullah itu, Muhammad bin Fariz al-Jamil menyebut bahwa secara kasat mata Piagam Madinah terdiri dari dua bagian, atau tepatnya dua dokumen.

Menurut dia, yang pertama berkaitan dengan kaum Muhajirin dan Anshar serta para pengikutnya, terdiri dari 23 pasal (1-23). Adapun yang kedua terdiri dari 24 pasal (24-47), dan semuanya berkenaan dengan kaum Yahudi .

Nah, pada pasal 39 dokumen kedua Piagam Madinah tak diragukan lagi punya signifikansi khusus, karena ia berkaitan dengan pengharaman (penyucian) Madinah. Yaitu berupa penetapan batas-batas geografis kota ini.

Selain itu, di dalamnya diharamkan berperang, menebang pohon, mengganggu burung atau binatang. Sebagaimana tertulis, “Bahwa Yatsrib itu haram (suci) tanahnya bagi peserta Piagam ini.”

Menurut Muhammad bin Fariz al-Jamil, As-Samhudi, yang bicara panjang lebar tentang kesucian kota Madinah dan menulis enam bab mengenainya, menyebutkan riwayat Ibnu Hajar al-Asqalani yang intinya menyatakan pengharaman Madinah terjadi setelah kembalinya Nabi Muhammad dari Khaybar.

"Namun, harus dicatat bahwa baik Ibnu Hajar maupun as-Samhudi adalah penulis belakangan. Sebelumnya, al-Waqidi membahas pengharaman kota Nabi ini dan mengaitkannya dengan Perang Badar pada tahun 2 H," ujar Muhammad bin Fariz al-Jamil.

Al-Waqidi menulis, “Setelah memeriksa pasukan dan memulangkan prajurit-prajurit yang terlalu muda, Rasulullah berangkat menuju Badar. Di tengah perjalanan, beliau sholat di Buyut as-Suqya. Hari itu beliau mendoakan penduduk Madinah, “Ya Allah, sesungguhnya Ibrahim, hamba-Mu, kekasih-Mu, dan nabi-Mu telah mendoakan penduduk Mekkah. Adapun aku, Muhammad, hamba-Mu dan nabi-Mu, berdoa untuk penduduk Madinah, agar Engkau berkati sha', mud, dan buah-buahan mereka."

Ya Allah, buatlah kami mencintai Madinah dan pindahkanlah wabah yang ada di sana ke Khum. Ya Allah, sungguh aku mengharamkan apa yang di antara dua tanah berbatunya (Madinah) seperti kekasih-Mu Ibrahim mengharamkan Mekkah.”

"Jadi, jelaslah bahwa deklarasi kesucian Madinah terjadi pada waktu yang relatif awal jika kita mengaitkannya dengan perjalanan menuju Badar, yakni sekitar 19 bulan setelah kedatangan Nabi Muhammad," ujar Muhammad bin Fariz al-Jamil.

Tarikh awal ini sepenuhnya bertentangan dengan pandangan beberapa peneliti modern. Robert Bertram Serjeant, misalnya, menyatakan kegagalan Pasukan Sekutu (Ahzab) dalam menghancurkan Madinah pada pengujung tahun 5 H adalah kesempatan terbaik untuk mendeklarasikan keharaman atau kesucian Madinah.

Dalam penelitian lain, Serjeant merevisi pandangannya dengan menyatakan bahwa pengharaman Madinah mesti terjadi setelah Perjanjian Hudaibiyah sekitar akhir tahun 6 H—sesuai dengan paragraf ketiga dari Dokumen F dalam susunan Piagam Madinah versinya.

Paragraf ini menyatakan, “Jaminan perlindungan tidak boleh diberikan kecuali seizin pihak yang berhak atasnya”. Bagaimanapun juga, kalimat ini menimbulkan persoalan karena Serjeant dan para peneliti lain memaknai “hurmah” di sini dengan “wanita”.

Serjeant kemudian menganalisis frasa tersebut sesuai pemahamannya, “Hurmah—yakni wanita”' tidak boleh diberi perlindungan kecuali seizin keluarganya.”

Lalu dia mengaitkan hal ini dengan ayat al-Ouran, “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila perempuan-perempuan mukmin datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka. Jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka)” (QS al-Mumtahanah (60)!: 10). Demikianlah, walau setelah itu dia merevisi pandangannya dengan mengaitkan ayat ini dengan Perjanjian Hudaibiyah.

Begitu juga Barakat Ahmed, peneliti yang tekun mengkaji relasi Nabi Muhammad dengan orang-orang Yahudi, dia nyaris sepakat dengan pandangan Serjeant. Dia menyimpulkan bahwa keharaman Madinah baru dideklarasikan pada tahun ke-7 dari hijrah beliau.

Tampaknya, dan ini patut digarisbawahi, baik Serjeant maupun Ahmed tidak mengetahui laporan al-Waqidi dan al-Magrizi mengenai waktu deklarasi keharaman Madinah di masa-masa awal hijrah sang Nabi!

Tidak diragukan lagi, kata Muhammad bin Fariz al-Jamil, yang dimaksud pengharaman Madinah adalah penetapan batasan geografis sekaligus larangan melakukan perang dan pertempuran antarkabilah dan klan serta penegasan terhadap kedamaian di dalam kota Madinah. Dengan kata lain, beliau membatasi faktor terkuat dalam penciptaan ketegangan dan perpecahan serta berbagai turunannya.

Biaya Bersama
Muhammad bin Fariz al-Jamil juga menyoroti beberapa pasal dalam dokumen kedua tersebut. Pasal 24, misalnya, mengajukan syarat untuk orang-orang Yahudi berupa, “Kaum Yahudi turut mengeluarkan biaya bersama kaum mukminin selama dalam kondisi diserang”.

Artinya, kedua pihak harus mengeluarkan biaya jika Madinah mendapatkan serangan dari luar. "Syarat ini dinilai adil. Lagi pula, kemungkinannya kecil bagi mereka untuk mau mendanai perang yang dilancarkan kaum muslimin di luar Madinah," ujar Muhammad bin Fariz al-Jamil.

Pasal 25 Ayat 1 menyatakan, “Yahudi Bani Auf adalah suatu umat dari kaum mukminin. Bagi orang-orang Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Juga bagi para sekutu dan diri mereka sendiri ....”

Tampaknya, kata Muhammad bin Fariz al-Jamil, yang dimaksud “umat” di sini adalah mereka memiliki hak-hak dan hidup bersama kaum muslimin. Namun, Abu Ubaid memiliki pandangan lain mengenai konsep “umat” ini.

Dia menulis tentang maksud "Yahudi Bani Auf adalah suatu umat dari kaum mukminin” adalah mereka membela dan membantu umat Islam menghadapi musuh dengan pembiayaan yang disyaratkan...”

Pasal 25 Ayat 2, isinya mengakui agama orang-orang Yahudi. "Piagam Madinah bisa dianggap sebagai konstitusi pertama yang mengakui kebebasan beragama," jelas Muhammad bin Fariz al-Jamil.

Denny Frederick mendiskusikan pasal ini, dan dia menyimpulkan bahwa orang-orang Yahudi merupakan umat di dalam umat yang memiliki agama tersendiri. Yang mencengangkan, ada seorang peneliti yang membaca teks terkait kebebasan beragama bagi kaum Yahudi itu dengan sewenang-wenang, dia menyatakan kata “din” (yang berarti “agama”) harus dibaca “dayn” (yang berarti “utang”), agar kalimat tersebut menjadi logis dan sesuai gramatikal, sehingga ia bukan deklarasi kebebasan beragama (toleransi), melainkan pengukuhan atas tanggung jawab kaum muslimin dan sekutu-sekutu Yahudi terkait utang piutang (finansial).

Namun di sisi lain, pemilik pandangan aneh ini tidak menjelaskan kekeliruan linguistik dan logis dalam kalimat terkait di Ayat 1 berikut, “Bagi orang-orang Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Juga bagi para sekutu dan diri mereka sendiri”!

Pasal 36 menegaskan, “Tidak seorang pun dari mereka dibenarkan untuk yakhruju (keluar/berperang) kecuali seizin Muhammad.”

Barangkali, kata Muhammad bin Fariz al-Jamil, yang dimaksud “mereka” dalam pasal ini adalah orang-orang Yahudi. Sementara itu, kata “yakhruju” tidak begitu jelas maksudnya, apakah maksudnya keluar dari kota Madinah dengan tujuan apa pun, ataukah maksudnya keluar dalam arti berperang?

Seorang peneliti mendukung penafsiran larangan keluar secara general, dia berkata, “Pasal 36 melarang orang-orang Yahudi keluar dari Madinah sebelum meminta izin kepada Rasulullah. Pembatasan gerakan ini barangkali untuk mencegah mereka melaksanakan aktivitas militer berupa penyerangan kabilah-kabilah di luar Madinah yang dapat membahayakan keamanan dan perekonomian Madinah.”

Peneliti yang lain memahami pasal ini dengan menafsirkan bahwa yang dimaksud “yakhruju” adalah memisahkan diri, lalu dia mencontohkan kelompok Khawarij (yang berarti “orang-orang yang keluar”) karena memisahkan diri dari kepemimpinan Ali bin Abi Thalib.” Tetapi tak diragukan lagi, ujar Muhammad bin Fariz al-Jamil. Penafsiran terakhir itu terlalu mengada-ada, meski patut dicatat bahwa penafsiran pertama tak terhindar sepenuhnya dari kejanggalan.

Pasal 37 menyatakan, “Bagi orang-orang Yahudi ada kewajiban biaya dan bagi kaum muslimin ada kewajiban biaya. Mereka (Yahudi dan muslimin) saling membantu dalam menghadapi musuh peserta piagam ini...”

"Pernyataan ini merupakan penegasan terhadap prinsip saling dukung dan saling bantu antar-kedua belah pihak, muslimin dan Yahudi, dalam menghadapi siapa saja yang berniat buruk," ujar Muhammad bin Fariz al-Jamil. Yakni terhadap setiap peserta piagam ini, maka itu semua pihak turut menanggung pembiayaan untuk menghalau keburukan tersebut.

Pasal 38, isinya pengulangan terhadap Pasal 24 yang mengatur pembiayaan bersama oleh pihak Yahudi dan muslimin selama mereka diserang.

Yahudi Akui Kenabian
Selanjutnya pasal 42 menyatakan, “Bila terjadi suatu peristiwa atau perselisihan di antara para pendukung piagam ini, yang dikhawatirkan akan menimbulkan bahaya, ia harus diserahkan kepada Allah dan Muhammad Rasulullah.”

Signifikansi pasal ini terlihat dalam pengakuan orang-orang Yahudi, sebagai salah satu pihak di dalam Piagam, terhadap kekuasaan Nabi. Juga pengakuan bahwa perselisihan apa pun yang terjadi antara mereka dan kaum muslimin harus diserahkan kepada keputusan Rasulullah. Melalui pasal ini, secara implisit kaum Yahudi mengakui kenabian Muhammad.

Al-Ali sebagaimana dikutip Muhammad bin Fariz al-Jamil, menulis, “Dengan pasal ini, Rasulullah menciptakan kekuasaan yudikatif umum yang berlaku untuk semua pihak. Kekuasaan ini tak lain sentralisme yang merujuk kepada Allah dan sang Rasul, sehingga ia memiliki corak sakral. Ia juga memiliki kekuasaan eksekutif karena perintah Allah wajib dipatuhi dan harus dilaksanakan, sementara perintah Rasul sejatinya berasal dari Allah maka sama-sama wajib dipatuhi.”

Pasal 43 mengecualikan kabilah Quraisy dan orang-orang yang membantu mereka dari hak perlindungan. “Sesungguhnya tidak ada perlindungan bagi Quraisy maupun bagi pendukung mereka,” begitu bunyinya.

Politik Madinah terhadap Quraisy dan para sekutunya ini ditentukan demikian karena permusuhan yang sedang memanas antara kedua pihak saat itu. Pasal ini juga memutus jalan bagi terwujudnya aliansi apa pun yang mungkin dijalin antara Quraisy dan Yahudi. Akibatnya, Quraisy kehilangan sekutu potensial di Yatsrib yang bisa mereka mintai bantuan dalam menghadapi negara Islam yang baru tumbuh di Madinah.

Setelah mendiskusikan beberapa pasal Piagam Madinah yang berkaitan dengan orang-orang Yahudi itu, barangkali ada yang bertanya: Lalu, signifikansi apa yang dapat diperlihatkan dari hasil diskusi pasalpasal itu?

Muhammad bin Fariz al-Jamil mejelaskan kita bisa menjawabnya sebagai berikut: Signifikansinya berupa pengakuan terhadap kaum Yahudi sebagai suatu umat di samping umat Islam dalam masyarakat muslimin pengakuan terhadap kebebasan beragama mereka, pewajiban orang-orang Yahudi untuk turut mengeluarkan biaya bersama kaum muslimin dalam kondisi ada serangan dari luar terhadap Madinah, penetapan pembatasan gerakan orang-orang Yahudi di luar Madinah, kecuali dengan izin Rasulullah.

Selanjutnya, deklarasi keharaman Madinah dengan menetapkan wilayah geografis yang di dalamnya tidak boleh terjadi perang, penebangan pohon, dan gangguan terhadap binatang atau burung, serta pengakuan pihak Yahudi terhadap otoritas tertinggi Nabi dalam semua perselisihan yang terjadi antar peserta Piagam.

"Menurut hemat saya, semua pencapaian ini tidak mungkin diwujudkan sebelum pecahnya Perang Badar yang berujung dengan kemenangan pihak muslimin," ujar Muhammad bin Fariz al-Jamil.

Kesimpulannya, Muhammad bin Fariz al-Jamil mengatakan, kaum muslimin merepresentasikan pihak yang kuat dalam kaitannya dengan klausul-klausul yang diterima oleh pihak Yahudi melalui Piagam Madinah ini.

Mereka tidak mungkin menerima menjadi subordinat negara Islam atau mengakui kekuasaan tertinggi Nabi Muhammad seandainya kaum muslimin tidak mendapatkan kemenangan telak di Badar. Juga seandainya kaum muslimin di Madinah—khususnya orang orang Anshar—dari kabilah Aus dan Khazraj tidak memberikan mandat mutlak kepada Rasulullah melalui dokumen yang ditulis antara Muhajirin dan Anshar, yang kemungkinan besar disepakati terlebih dahulu, niscaya beliau sulit meyakinkan orang-orang Yahudi untuk bergabung dalam perdamaian umum melalui Piagam Madinah.
mhy) Miftah H. Yusufpati

No comments: