Ketika Para Raja Nusantara Berusaha Meraih Gelar Sultan dari Timur Tengah

Ketika Para Raja Nusantara Berusaha Meraih Gelar Sultan dari Timur Tengah
Prof Azyumardi Azra penguasa di Nusantara berusaha meraih gelar sultan dari Timur Tengah. Foto/Ilustrasi: Lipi
Intelektual Islam, Prof Azyuamrdi Azra mengatakan, Islam Nusantara atau Islam Asia Tenggara merupakan bagian integral Islam global. Hal ini bisa dilihat dari kegigihan penguasa Nusantara yang ingin mendapatkan gelar dari penguasa Timur Tengah .

Dalam buku "Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana & Kekuasaan", Azyumardi menjelaskan, bahwa, ketika Islamisasi kepulauan Nusantara berlangsung dalam gelombang besar pada paruh kedua abad ke-13, pada saat itu juga adanya konversi penguasa ke Islam, etnisitas politik yang selama ini dikenal sebagai “kerajaan”, kini resmi disebut “kesultanan”.

Hal tersebut berdampak cukup besar dengan berdirinya institusi politik Islam pada akhir abad ke-13 dengan tegaknya Kesultanan Samudra Pasai. Gelar Sultan juga diambil alih untuk digunakan, selain sebutan lokal “raja”.

Perubahan seperti ini tampaknya tidak mengandung kesulitan apa-apa atau proses yang berbelit-belit. Memang kadang-kadang ada resistansi dari penguasa lokal ketika para penyebar Islam mengajak mereka masuk Islam. Tetapi, begitu mengucapkan dua kalimat syahadat, mereka pun mengambil alih nama-nama muslim tanpa kesulitan.

Kasus ini misalnya terlihat pada penguasa Pasai, Merah Silau, yang begitu diislamkan oleh Syekh Ismail segera mengambil nama dan gelar Sultan Malik Al-Salih.

Penguasa Muslim Nusantara mendapatkan gelar sultan tidak hanya dari para guru pengembara. Menurut Azyumardi, sebagian mereka, bahkan mengusahakan gelar itu dari penguasa poltik dan keagamaan Timur Tengah.

Penguasa Banten, Abd Al-Qadir (berkuasa 1626-1651), pada tahun 1638 menerima anugerah Sultan dari Syarif Mekkah sebagai hasil khusus yang dikirimnya ke Tanah Suci. Bahkan, Mataram yang sering dipandang sebagai benteng kebudayaan Jawa juga memandang perlu mendapatkan gelar Sultan dari Timur Tengah.

Kemudian disusul dengan Kesultanan Aceh yang mempunyai hubungan erat dengan penguasa Turki Usmani dan Syarif Mekkah. Begitu pula dengan kesultanan Palembang dan Makassar, yang juga menjalin hubungan khusus dengan penguasa Mekkah.

Dengan kata lain, kata Azyumardi, entitas dan muslim polities di kawasan Asia Tenggara ingin diakui sebagai bagian integral dari “Dar al-Islam”.

Penggunaan Istilah “Dar al-Islam” menurut Azyumardi, cukup meluas dalam tradisi politik Nusantara. Hikayat Raja-Raja Pasai, misalnya, menyebut nama resmi kesultanan Samudera Pasai sebagai “Samudera Dar al-Islam”.

Istilah itu juga digunakan kitab Undang-Undang Pahang untuk menyebut kesultanan Pahang. Sedangkan Al-Raniri, dalam salah satu karyanya, Bustan al-Salathin, juga menyebut penguasa Patani, Paya Tu Naqpa mengambil nama dan gelar Ismail Syah ketika ia masuk Islam.

Istilah “Syah” yang digunakan banyak penguasa Nusantara lainnya yang bertahta di Negeri Patani, diambil dari kata “Dar al-Salam”.

Jadi, Azyumardi melihat bahwa Islam Nusantara masuk salah satu bagian dari dunia Muslim lainnya. Hanya saja, Islam Nusantara merupakan salah satu wilayah peradaban Islam yang memiliki kekhasan sendiri yang berbeda dalam ekspresi sosio-keagamaan dan kultural-keagamaan dengan wilayah-wilayah yang lainnya.40

Dalam buku "Indonesia dalam Arus Sejarah: Kedatangan dan Perkembangan Peradaban Islam", Azyumardi menyebutkan, ekspresi yang berbeda tersebut lebih kepada kesatuan akidah, ibadah, dan muamalah.

Pada level ini kaum muslim Nusantara berada dalam cakupan ajaran-ajaran dasar yang bersifat universal dalam Islam. Jika ada perbedaan tertentu dengan kaum muslim di tempat lain, hal itu lebih pada ranting (furu), sesuai dengan adanya mazhab dan aliran dalam tradisi keagamaan dan pemikiran Islam.

Akan tetapi, lebih daripada sekeaar kesatuan keimanan dan pengalaman ajaran pokok Islam tersebut, kaum Muslim Nusantara juga terintegrasi dalam berbagai jaringan (networks) dengan kaum Muslim di kawasan lain, khususnya semenanjung Arabia.

Jaringan itu mencakup bidang politik, keilmuan, keulamaan, ekonomi dan perdagangan, serta kebudayaan.

Beberapa jaringan itu memiliki peran signifikan dalam pembentukan dan dinamika tradisi historis dan peradaban Islam di Nusantara. Jelas, perkembangan Islam di Nusantara menurut Azyumardi, tidak pernah terlepas dari dinamika Islam di kawasan lain.

Oleh karena itu, pandangan yang menganggap seolah-olah Islam Nusantara berkembang secara tersendiri serta terisolasi dari perkembangan dan dinamika Islam di tempat lain adalah keliru.

Ahmad Baso sebagaimana dikutip Azyumardi Azra juga mengatakan kekuatan Islam Nusantara bukan hanya terletak pada garis tekstual keislamannya, yakni seberapa banyak teks-teks yang mendukung argumen keagamaan dan praktik keagamaan umat Islam di Nusantara.

Kekuatan Islam di Nusantara terletak pada maqashid Islam (maksud atau tujuan utama Islam), yakni unsur-unsur utama pendukung tercapainya tujuan-tujuan syariat.

Unsur-unsur ini diperoleh melalui pendekatan totalitas terhadap segenap ajaran syariat, meneliti dan menelaah semua aspek kandungan syariat Islam, untuk melihat apa saja isi maksud dan tujuan diturunkannya ajaran-ajaran syariat itu, lalu tujuan itu dipilah, lalu diperas, hingga menjadi pokok-pokok maqashid syariat.

(mhy)Miftah H. Yusufpati

No comments: