Nasihat Imam Ibnu al-Jauzi

Santri mengikuti kajian Kitab Kuning di Ponpes Salafi Nurul Ihsan, Lebak, Banten, Kamis (14/4/2022). | ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas

Kitab

Buku ini merefleksikan pemikiran seorang ulama besar Baghdad abad ke-12.

HASANUL RIZQA

Ulama merupakan pewaris para nabi. Begitulah sabda Rasulullah SAW dalam sebuah hadis. Dalam membimbing umat, kalangan alim tidak meninggalkan apa pun kecuali ilmu dan keteladanan.

Pada abad ke-12 Masehi, seorang ulama lahir di ibu kota Kekhalifahan Abbasiyah, Baghdad. Dialah Imam Ibnu al-Jauzi. Pemilik nama lengkap Jamaluddin Abdurrahman bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Ubaidillah bin Abdulllah itu merupakan ahli fikih mazhab Hambali. Di samping itu, keturunan sahabat Nabi SAW Abu Bakar ash-Shiddiq tersebut juga menekuni bidang ilmu sejarah.

Pada dekade 1170-1180 M, ia berposisi sebagai kadi utama di Abbasiyah. Selama menduduki jabatannya itu, Ibnu al-Jauzi cukup kritis dan tegas terhadap aliran sufi dan kaum Syiah. Belakangan, sikapnya menuai respons dari berbagai pihak. 

Ibnu al-Jauzi cukup kritis dan tegas terhadap aliran sufi dan kaum Syiah. 

Akhirnya, dai tersebut sempat diasingkan ke Wasith oleh penguasa kala itu, Khalifah Nashirudinnillah. Saat berusia 87 tahun, tokoh yang berjulukan syaikhul Islam itu wafat di Baghdad.

Seperti umumnya ulama-ulama klasik, Ibnu al-Jauzi juga menghasilkan banyak karya di sepanjang hayatnya. Konon, jumlahnya mencapai seribu judul. Dalam bidang ilmu Alquran, ia menulis kitab tafsir, yaitu Zad al-Masir.

Dalam keilmuan sunnah, salah satu buah penanya adalah Al-Maudhu’at al-Kubra, yang berisi daftar dan kritik atas hadis-hadis palsu. Dai itu juga mengomentari Ihya Ulum ad-Din Imam al-Ghazali dalam bukunya, Minhajul Qashidin.

Dan, ada satu karyanya yang mungkin belum begitu sering disorot. Namun, legasinya itu justru menginspirasi para penulis era modern, termasuk Dr ‘Aidh Abdullah al-Qarni, sang pengarang buku La Tahzan. Karya yang dimaksud adalah Shaidul Khatir.

Buku ini telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa. Edisi bahasa Indonesia diterbitkan Maghfirah Pustaka, yakni Shaidul Khatir: Cara Manusia Cerdas Menang Dalam Hidup. Seperti tersirat pada judulnya, kitab itu termasuk dalam genre buku pengembangan diri.

Menurut Syekh ‘Aidh al-Qarni, Shaidul Khatir merupakan “buku paling bagus dan paling menarik” yang pernah ia baca. Dalam pandangannya, buah pena Ibnu al-Jauzi itu menyajikan tema-tema yang kontemplatif, tetapi dengan gaya bahasa yang sangat komunikatif dan ringan. “Buku ini merupakan buah kehidupannya,” tulis al-Qarni.

Secara umum, Shaidul Khatir merangkum perspektif penulisnya mengenai kondisi umat Islam pada masanya. Kaum Muslimin, dalam pandangannya, ketika itu masih dijangkiti pelbagai “penyakit". Patologi sosial itu membutuhkan rumusan dan sekaligus jawaban untuk diupayakan.

Beberapa sejarawan menyebutnya seorang ulama yang juga psikolog. Keahliannya dalam meneropong kondisi kejiwaan masyarakat tampak dari karyanya. 

Dengan Shaidul Khatir, Ibnu al-Jauzi bertindak sebagai dokter yang hendak menyembuhkan pasien. Memang, beberapa sejarawan menyebutnya seorang ulama yang juga psikolog. Keahliannya dalam meneropong kondisi kejiwaan masyarakat tampak dari karyanya itu.

“Dengan ketajaman mata hati dan mata penanya, dia merekam renungan-renungannya dalam bentuk tulisan pendek berupa refleksi terhadap suatu peristiwa yang mengganjal, menggembirakan, atau bahkan meresahkan pikirannya,” tulis penerjemah kitab ini.

Dalam buku ini, Ibnu al-Jauzi mengutarakan nasihat-nasihat mengenai jalan yang moderat untuk menjalani kehidupan. Sebagai contoh, dalam beberapa bab di Shaidul Khatir ulama tersebut menentang gaya hidup boros, bermalas-malasan, dan sikap berpangku tangan. Menurut dia, pola perilaku itu sangat bertentangan dengan tugas kekhalifahan manusia di muka bumi.

Ibnu al-Jauzi mengimbau umat Islam untuk selalu aktif mengisi dunia dengan aktivitas-aktivitas yang produktif. Senapas dengan kritiknya terhadap kaum sufi, ia menolak sikap pasif. Baginya, mengasingkan diri atau lari dari keramaian dunia bukanlah ajaran agama ini.

Untuk menghadapi berbagai permasalahan, Muslimin memerlukan hati, nurani, dan pikiran yang jernih. Tantangan hidup akan ada dan terus muncul selama hayat masih dikandung badan. Karena itu, kabur dari realitas adalah sia-sia belaka.

Seorang zahid yang sejati tidak hanya berkutat pada penampilan yang “kumal". Esensi kezuhudan terletak pada kejernihan hati.

Salah satu poin kritiknya adalah pemaknaan atas zuhud. Pada masanya, tidak sedikit orang yang salah sangka terhadap karakteristik tersebut. Padahal, lanjut Ibnu al-Jauzi, seorang zahid yang sejati tidak hanya berkutat pada penampilan yang “kumal". Esensi kezuhudan terletak pada kejernihan hati.

Yang lebih membuatnya prihatin, agama telah dijual dengan harga yang amat murah. Dalam arti, sekelompok orang mengamalkan jalan kehidupan yang tidak pernah diajarkan Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.

“Saya banyak menyaksikan orang alim yang berbuat maksiat kepada Allah dengan anggapan bahwa ilmu yang mereka miliki akan membantu menyelamatkan mereka. Ilmu yang mereka miliki justru sangat memusuhi kelakuan buruk mereka itu,” tulis Ibnu al-Jauzi.

Dalam tulisannya itu, sang ulama mengajak pembaca untuk mendekati sifat arif bijaksana. Karakteristik demikian dapat dilihat dari perspektif terhadap dunia. Kehidupan kini-di sini memang sementara, tetapi tidak berarti dapat diabaikan begitu saja.

Dalam Alquran pun, Allah SWT menyuruh manusia yang beriman untuk mengutamakan akhirat, tetapi jangan melupakan bagian di dunia. “Orang-orang arif akan menjadikan kebahagiaannya di dunia sebagai jalan pembuka kenikmatan di akhirat,” katanya.

Ia juga mengingatkan khalayak untuk selalu berpegang teguh pada Alquran dan Sunnah. Ia mencatat, tidak sedikit orang pada masanya yang mengaku-aku alim. Padahal, mereka telah berpaling dari ilmu-ilmu syariat. Bila keadaannya demikian, bagaimana pula dengan orang awam?

Isi buku

Shaidul Khatir tampil sebagai catatan renungan dan pemikiran Syekh Ibnu al-Jauzi. Buku tersebut terdiri atas seratusan bab. Masing-masing memuat tulisan pendek atau bernas mengenai topik tertentu. Secara keseluruhan, pembicaraan yang ada di dalam kitab ini berkaitan dengan masalah akidah, akhlak, sejarah Nabi SAW, dan kritik sosial.

Sebagai contoh, bab yang berjudul “Iman Tampak Saat Ujian Menerpa". Di dalamnya, Ibnu al-Jauzi mengutarakan pandangannya, “setiap kali cobaan datang menimpa seorang Mukmin, akan semakin bertambah imannya dan semakin kuat tawakalnya kepada Allah.”

Bagaimana kalau yang terjadi adalah sebaliknya? Menurut sang penulis, seorang Mukmin seyogianya selalu ingat akan sifat Allah Yang Maha Kuasa. Dengan begitu, ia akan menyadari bahwa tiada satu pun yang terjadi di luar kuasa dan ketentuan dari-Nya.

Maka dari itu, sikap terbaik yang ditunjukkan kala musibah datang ialah bersabar dan rela. “Mereka semua rela dengan-Nya” (QS al-Maidah: 119). Ibnu al-Jauzi mengatakan, dengan kedua sikap itu, tampaklah kadar kekuatan iman seseorang.  

Di bagian lain, sang penulis mengulas tentang bahayanya harta haram dan syubhat. Ia mencontohkan sebuah kasus, yakni ketika seorang alim menerima harta dari penguasa. Padahal, uang tersebut tidak jelas asal muasal maupun peruntukannya. Lantas, dana itu dipakai untuk membangun masjid.

Orang yang melepaskan harta kaum Muslimin pada tangan yang tidak berhak menerimanya jelas akan mendapatkan dosa

Padahal, lanjut al-Jauzi, yang semestinya dilakukan adalah mengembalikan harta itu ke baitul maal atau kas negara. Dengan mendirikan sebuah masjid, harta itu tidak secara otomatis menjadi halal. “Orang yang melepaskan harta kaum Muslimin pada tangan yang tidak berhak menerimanya jelas akan mendapatkan dosa,” tulisnya.

Wajib bagi si penerima untuk mengembalikan harta itu kepada pemiliknya atau ahli warisnya. Jika tidak mengetahui caranya, maka kembalikan harta itu ke baitul maal. Ingatlah sebuah hadis dari Rasulullah SAW, “Barangsiapa yang mendapat harta dengan jalan haram, kemudian ia menyambung tali silaturahim dengan harta itu, atau bersedekah dengannya, atau menginfakkannya di jalan Allah, pada hari kiamat nanti ia dan seluruh harta itu akan dikumpulkan dan dilemparkan ke dalam api neraka.”

Demikianlah kandungan Shaidul Khatir, karya yang sarat hikmah dari Syekh Ibnu al-Jauzi. Buku tersebut dapat menjadi teman perjalanan atau bacaan di kala senggang. Muatan hikmah dan perenungan di dalamnya merupakan ajakan yang tak lekang zaman untuk para pembaca agar selalu menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Tentunya, perbaikan akhlak itu selaras dengan menjalani kehidupan secara berimbang dan selalu menanamkan perasaan takut kepada Allah Ta’ala.

“Dunia adalah tempat berjalan menuju Sang Maharaja untuk berdekatan dengan-Nya dan tempat persiapan untuk nanti kita bersimpuh di hadapan kebesaran-Nya,” tulis sang alim.

DATA BUKU

Judul: Shaidul Khatir: Cara Manusia Cerdas Menang Dalam Hidup

Penulis: Imam Ibnu al-Jauzi

Penerjemah: Samson Rahman

Penerbit: Maghfirah Pustaka

Tebal: 581 halaman

No comments: