Kisah Mubahalah dan Pemberontakan Keturunan Ali bin Abi Thalib di Era Khalifah Harun Al-Rasyid
Pada era pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid (786-803) kejayaan Dinasti Abbasiyah dimulai. Hanya saja, situasi politik dan keamanan di sejumlah wilayah tetap saja terjadi pergolakan. Hampir saban tahun sejak tahun 175 H, selalu saja ada gejolak keamanan. Pemberontakan terjadi di sejumlah wilayah, mulai dari Mesir di barat, Suriah dan sekitarnya di utara, serta Khurasan di Timur.
Menariknya, berbagai pemberontakan ini berlangsung pararel dengan sejumlah ekspedisi militer Abbasiyah, yang dipimpin oleh Khalifah Harun Al-Rasyid sendiri. Sehingga membuat namanya kita tersohor di muka bumi.
Akbar Shah Najeebabadi dalam bukunya berjudul "The History Of Islam" menyebutkan pada tahun 176 H, sebuah revolusi pecah di wilayah yang bernama Daylam, sebuah daerah pedalaman di sebelah barat Pegunungan Elburz (Iran sekarang). Tokoh yang menginisiasi gerakan revolusi ini adalah Yahya bin Abdallah bin Hasan bin Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib , adik dari Idris bin Abdullah yang berhasil mendirikan Dinasti Idrisiyah di Maroko.
Mereka dulunya adalah sedikit orang anak keturunan Ali bin Abi Thalib yang berhasil melarikan diri dari pembantaian pasukan Abbasiyah terhadap anak keturunan Ali bin Abi Thalib pada masa pemerintahan Al-Hadi.
Bila Idris bin Abdullah berlari ke barat, maka Yahya bin Abdullah berlari ke timur. Dia kemudian membangun kekuatan baru di daerah Daylam. Lambat laun, kekuatan militernya membengkak. Gerakannya berhasil menarik simpati dari masyarakat di sekitar wilayah tersebut, sehingga dalam waktu cukup singkat kekuatan ini berakumulasi sangat cepat.
Dalam buku "The History of al-Tabari" dikisahkan bahwa ketika mendengar berita ini, Harun Al-Rasyid langsung tertekan sedemikian rupa. Hingga dia tidak meminum anggur kurma (nabidb) selama beberapa hari.
Memang anak keturunan Ali bin Abi Thalib menjadi kekuatan yang paling dikhawatirkan oleh para penguasa Abbasiyah. Alasannya tidak lain, karena hanya mereka yang memiliki agregat legitimasi paling tinggi di tengah kaum Muslim yang bisa menandingi kedudukan para khalifah kala itu. Setiap kali mendengar salah satu anak keturunan Ali bin Abi Thalib bangkit, rakyat umumnya langsung berkumpul di sekitar mereka.
Menurut Imam Al-Suyuthi dalam bukunya berjudul "Tarikh Khulafa’; Sejarah Para Khalifah" isu tentang adanya kebangkitan gerakan Yahya bin Abdullah ini sebenarnya sudah terdengar sejak satu tahun sebelumnya (175 H).
Seseorang bernama Abdullah bin Mush’ab Az-Zubairi menyebarkan berita provokatif bahwa Yahya bin Abdullah memintanya untuk mengobarkan pemberontakan terhadap Harun Al-Rasyid. Atas tuduhan itu, Yahya minta dilakukan mubahalah dengan disaksikan oleh Harun Al-Rasyid sendiri.
Harun menjabat tangan kedua orang itu lalu berkata pada Az-Zubairi, “Ya Allah, jika Engkau tau bahwa Yahya tidak mengajakku untuk memecah-belah umat dan melakukan pemberontakan terhadap Amirul Mukminin, jadikan aku hanya bergantung kepada daya upayaku sendiri dan jatuhkanlah siksa kepadaku dari sisi Mu. Amiin ya Rabbal Alaamiin.”
Kemudian Az-Zubairi menirukan perkataan Harun Al-Rasyid dengan gemetar. Yahya juga mengucapkan dengan terbata-bata. Selanjutnya, keduanya pergi dari tempat itu, dan ternyata Zubair mati pada hari itu juga.
Mendengar kabar kematian Az-Zubairi, untuk sementara waktu isu tentang ancaman pemberontakan Yahya menghilang. Tapi kali ini, ketika hampir semua masyarakat di kawasan sekitar Daylam menunjukkan keberpihakannya pada Yahya bin Abdullah, kecemasan Harun Al-Rasyid tidak bisa lagi dibendung. Dia kemudian memanggil saudara sesusuannya, Fadl bin Yahya, untuk menghadap.
Singkat kata, Harun memerintahkan kepada Fadl untuk segera bergerak memadamkan ancaman tersebut. Menurut Thabari, Fadl bin Yahya diperintahkan membawa sekitar 50.000 orang tentara terbaik yang berasal dari sejumlah wilayah seperti Jibal, al-Rayy, Jurjan, Jabaristan, Qumis, Dunbawand dan al-Ruyan.
Di samping itu, Fadl juga didampingi oleh jenderal-jenderal terpilih, dan staf-staf terbaik Abbasiyah, serta dibekali sejumlah uang yang cukup untuk membayar segala keperluannya selama ekspedisi tersebut.
Perjanjian Damai
Fadl bin Yahya bin Khalid berangkat ke Daylam bersama armada yang sangat besar. Tujuannya adalah untuk menghilangkan ancaman dari Yahya bin Abdullah yang kala itu sudah didukung oleh sebagian besar masyarakat.
Menurut Thabari, ketika itu kondisi cuaca sangat tidak bersahabat. Salju turun dan suhu menjadi sangat minim. Ini sebabnya ketika sudah mendekati wilayah Daylam, Fadl memerintahkan pasukannya untuk berhenti di daerah Rayy (Iran sekarang).
Di tempat itulah dia mulai memerintahkan pada juru tulisnya untuk menulis surat kepada Yahya bin Abdullah. Menurut Thabari, beberapa balasan surat antara kedua orang tersebut.
Pada intinya, Fadl bin Yahya meminta agar Yahya bin Abdullah menyerah dan mengakui legitimasi Harun Al-Rasyid. Dia juga berjanji, bila Yahya bersedia mematuhi keinginannya, maka Fadl akan memberikannya harta yang banyak dan juga pemukian yang layak.
Yahya bin Abdullah pun bersedia memenuhi pemintaan tersebut, tapi dengan sejumlah syarat. Salah satunya, dia ingin agar Harun Al-Rasyid mengeluarkan surat yang langsung ditulis oleh tangannya sendiri, berisi tentang perintah kepada Fadl bin Yahya untuk menjamin keselamatan hidup Yahya bin Abdullah.
Yahya juga meminta agar penandatanganan perjanjian damai yang diminta Fadl tersebut langsung dengan Harun Al-Rasyid. Dan yang terpenting, perjanjian tersebut harus dilakukan di hadapan para saksi, hakim, dan para pemuka Bani Hasyim.
Setelah mendapatkan semua persyaratan dari Yahya bin Abdullah, Fadl pun langsung mengirimkan surat kepada Harun Al-Rasyid tentang semua syarat yang diminta Yahya tersebut.
Mendapat persyarat damai dari Yahya, Harun Al-Rasyid sangat gembira. Seketika dia langsung menyanggupi untuk memenuhi semua persyaratan tersebut. Dia pun langsung menulis sendiri surat perintah kepada Fadl bin Yahya, yang isinya memerintahkan agar Fadl menjamin keselamatan Yahya.
Mendapat perintah langsung dari khalifah, Fadl langsung menyampaikan berita ini pada Yahya. Mereka pun menandatangani perjanjian yang isinya, bahwa Fadl akan menjamin keselamatan Yahya dengan cara apa pun, dan menyerahkan uang sebesar 1.000.000 Dirham sebagaimana yang dijanjikannya.
Setelah menandatangani perjanjian tersebut, kedua orang ini pun berangkat bersama ke Baghdad, untuk menandatangani perjanjian damai yang sesungguhnya dengan Harun Al-Rasyid.
Di Baghdad, Yahya bin Abdullah ternyata sudah ditunggu oleh khalifah. Dia disambut dengan tangan terbuka dan suka ria oleh Harun Al-Rasyid. Setelah semua persiapan saksi, hakim dan para pemuka Bani Hasyim berkumpul, maka penandatanganan perjanjian pun dimulai. Perjanjian ini juga ditandatangani oleh para saksi yang hadir.
Setelah perjanjian tersebut, Fadl diberikan promosi jabatan dan Yahya diberikan permukiman yang layak di Kota Baghdad. Sejak hari ini, Yahya bin Abdullah hidup di kota tersebut di bawah perlindungan khusus dari Fadl bin Yahya.
mhy)Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment