Keteladanan Bu Sukiman Wirjosandjojo

 

Bu Sukiman Wirjosandjojo bisa diteladani bagi para wanita. Ia sosok istri salehah, sabar, membantu perjuangan suami, dan peduli agama

NAMANYA Kustami. Putri ke-5 dari Dokter Keramat. Ayahnya adalah seorang dokter. Beliau seangkatan dengan Dokter Radjiman. Ia (Kustami) lahir di Barabai Kalimantan Timur pada tahun 1906. Asal keluarga ini sebenarnya dari Bagelen Purworejo kemudian sang ayah memilih hidup di Bogor.

Ketika bekerja dengan Pemerintah Hindia Belanda, sang ayah ditugaskan ke Kalimantan Timur. Kemudian, setelah cukup lama bertugas di sana, beliau memboyong kembali keluarganya ke Jawa. Dan waktu itu, Kustami dimasukkan ke sekolah Kawedri Jakarta.

Pada waktu itu, kehidupan keluarga Dokter Keramat sudah terbilang maju. Bahasa pengantar yang dipakai adalah Belanda. Maka, tidak mengeherankan jika Kustami pada waktu kecilnya tidak bisa bahasa jawa dan Indonesia. Namun Kustami baru bisa berbahasa Indonesia ketika aktif dalam organisasi Jong Java. Kemudian, ia baru bisa bahasa Jawa dengan luwes saat menetap di Yogyakarta.

Awal terjalinnya cinta antara Pak Sukiman dan Bu Kustami adalah dalam organisasi Jong Java. Rupanya, dua-duanya adalah sama-sama aktivis pergerakan. Waktu itu, awal mula bertemu, ada kongres Jong Java di kota Bogor. Sukiman mewakili Jong Java Jakarta, sementara Kustami hadir sebagai anggota cabang Jong Java Bogor.

Pada kesempatan itu, Sukiman muda sempat menyampaikan pidato. Inilah awal mulanya pandangan Kustami sehingga kemudian jatuh hati. Pidatonya memang biasa saja dan nadanya datar-datar saja. Saat itu menjelaskan tentang persatuan dan cara membinanya. Namun, yang membuat Kustami tertarik adalah makna di balik isi pidatonya yang bisa menggugah hati dan membangkitkan semangat untuk merapatkan barisan dan persatuan.

Singkat cerita, mereka pun berkenalan. Tanpa ada hubungan khusus pacaran sebagaimana pada saat ini. Tanpa menunggu waktu lama, orang tua Sukiman pun datang meminang putri Dokter Keramat ini. Kemudian, diselenggarakanlah perikahan antara Sukiman dan Kustami pada tahun 1923.

Saat awal-awal dianugerahi anak pertama yang bernama Sakri Sunarto (kemudian setelahnya: Bagus Sukardono dan Sritani), Kustami sudah mendapat ujian. Ia harus merelakan suainya untuk melanjutkan studi ke negeri Belanda. Sebagai seorang istri, ia memberi dorongan moral kepada sang suami supaya bisa menggapai cita-citanya.

Hubungan yang biasa dikenal dengan LDR (Long Distance Relationship), memang cukup berat. Namun, bisa dijalani Kustami dengan sabar. Kerinduan yang membuncah difokuskan untuk merawat anak kesayangan. Keduanya juga tak lupa mengirim surat untuk melepas rindu. Masing-masing dari kedunya berusaha untuk menjaga kesetiaan hubungan.

Dalam posisi demikian, ada gambaran menarik dari buku “Dr. Sukiman Wirjosandjojo Hasil Karya dan Pengabdiannya” (1982: ) karya Muchtarudin Ibrahim yang menunjukkan kesetiaan dan keteguhan Kustama selama ditinggal suami studi, “Ia menunjukkan sebagai isteri yang setia pada pesan suami. Semua godaan yang mengusik hatinya dibuangnya jauh-jauh.” Ia berharap semoga sang suami berhasil dalam studinya dan bisa kembali ke tanah air.

Setelah kembali ke tanah air, Sukiman memboyong istri dan anaknya ke Ngabean Yogyakarta. Beberapa kali sempat pindah, sampai akhirnya tinggal di daerah Pakualaman VI, jalan Sultan Agung no. 32). Secara materi, pada waktu itu Kustami dan suaminya bisa dibilang berkecukupan. Pak Kiman waktu itu aktif di Rumah Sakit Muhammadiyah. Selain itu, di sebelah timur rumahnya, didirikan sebuah Poliklinik kepunyaan Dr. Sukiman. Kabarnya, Sukimanlah yang pertama merintis Poliklinik di Indonesia.

Dalam menjalankan biduk rumah tangga, Kustami tidak membiarkan Pak Kiman berjuang sendiri. Ia juga giat dalam bidang usaha. Ada banyak macam usaha yang dijalankannya, seperti: membuka kursus menjahit, memasak dan merangkai bunga. Dari sini Bu Kustami namanya terkenal dan punya murid Banyak. Kabarnya, muridnya sampai ada yang dari Aceh. Dengan kursus ini, beliau memiliki kontribusi dalam mendidik dan melatih kaum wanita dalam berbagai keterampilan.

Bu Sukiman Wirjosandjojo

Meski terdidik dalam pendidikan Barat modern, bukan berarti Nyonya Sukiman dan suami tidak memperhatikan agamanya. Terkait hal ini, Bu Kustami aktif di organisasi keagamaan Aisyiah, Muhammadiyah. Beliau ikut pengajian juga di situ. Sehingga ia terus belajar dan menutupi kekurangannya dalam bidang agama. Di antara yang ditekankan dalam keluarganya adalah shalat. Di antara nasihat sang suami, “Janganlah kamu mati sebelum sembahyang.”

Dari sini, dari hayat Bu Kustami, kita banyak menemukan keteladanan di antaranya: sebagai istri salehah yang setia dan sabar, membantu perjuangan suami, aktivis pergerakan, pegiat sosial, peduli agama dan aktiv di organisasi Aisyiah Muhammadiyah, pendidik yang ulung bagi anak-anaknya dan yang tidak kalah penting adalah mempunyai peran dalam pemberdayaan wanita.

Sebagai tambahan informasi, pada acara Kapita Selecta Dakwah #18 dengan tajuk “Dr. Soekiman Wirjosandjojo (1989-1974), Sikap Perwira Muslim Patriot” yang diadakan secara live dalam Channel Youtube Labda (Laboratorium Dakwah) Pesantren Budi Mulia pada 24 Mei 2021, ada sedikit gambaran menarik dari cucuk Pak Kiman yang dipanggil Nonny mengenai neneknya (Kustami) yang biasa dipanggil eyang putri.

Dalam acara ini, Bu Nonny lebih berfokus pada cerita tentang Kustami, istri Pak Sukiman Wirjosandjojo. Menurutnya, selama pernah merasakan hidup bersama eyang putrinya, Bu Kustami banyak kiprahnya dalam mendukung perjuangan Pak Kiman.

Ada banyak hal yang beliau pelajari dari Bu Kustami. Suatu hari beliau berkata, “Perempuan di muslim, itu menjadi pendamping suami, tapi bukan menjadi konco wingking. Sehingga, suami itu bisa sukses.” Dari eyang puterinya, ia mendapat pelajaran bahwa keuangan keluarga harus dipegang perempuan (istri).

Pelajaran lain: perempuan harus bisa memasak, bisa merawat anak, bersih, bisa memimpin dalam keluarga. Istilahnya, isteri urusan dalam negeri, sedangkan suami di luar negeri (maksudnya rumah tangga). Hal lain yang masih membuat Nonny terkesan pada eyang puterinya adalah jiwa sosial Bu Kustami sangat tinggi.

Di antara kepedulian sosialnya adalah membentuk bank wanita pertama yang namanya Bank Wanimah. Karena lokasi rumah sebelah pasar, maka dengan bank itu, beliau membantu si mbok-si mbok itu melakukan simpan-pinjam di situ dan sekalian diajari memegang uang supaya mereka bisa berbisnis dengan baik.

Biasanya dalam bentuk beras, uang atau pun baju. Kemudian dimasukkan dalam kantong dan dibagikan satu-persatu. Pelajarannya, “Kita harus berbagi meskipun kita tidak punya.”

Itulah gambaran singkat dari hayat Bu Sukiman Wirjosandjojo. Semoga bisa diteladani para wanita yang sedang menjadi istri bagi suaminya. Menjadi istri bukan berarti menutup diri tanpa peran sosial, tapi tetap bisa berkiprah membantu perjuangan suami, mendidik anak, peduli agama dan sosial juga memberdayakan wanita. Rahimahallah rahmatan waasi’ah.*/Mahmud Budi Setiawan

Rep: Admin Hidcom
Editor: -

No comments: