Perang Pemikiran

 

Salah satu bukti perang pemikiran adalah terlibatnya tiga sahabat serangkai –orientalisme, misionarisme, dan kolonialisme Barat, saling bekerjasama dengan sangat intensif dan sistematis

Hamid Fahmy Zarkasyi

BANYAK orang menganggap bahwa berbagai pergolakan yang terjadi di negeri-negeri Islam hari ini- seperti serangan terhadap Af- ghanistan, Iraq, dan intervensi ke Palestina– semata-mata pergolakan fisik. Banyak pula yang menganggap, pergolakan ini adalah serangan kapitalisme global terhadap negara-negara berkembang-termasuk Islam-melalui sistem ekonomi dan politik.

Namun, tidak banyak orang tahu, di balik serangan fisik dan ekonomi itu yang sungguh-sungguh terjadi adalah serangan pemikiran atau ghazwul-fikri. Termasuk, perang melawan “terorisme”, sebagaimana sangat digencarkan oleh Barat (baca: Amerika Serikat).

Istilah ghazwul-fikri (perang pemikiran) sebenarnya harnyalah ekspresi kasar dari perbedaan pemikiran. Secara luas, perbedaan pemikiran yang terjadi antara dua atau lebih bangsa atau peradaban disebabkan oleh perbedaan cara memandang kehidupan atau worldview (pandangan hidup).

Itulah yang menyebabkan gesekan antar peradaban yang diskenariokan oleh Samuel P Huntington dengan teori clash of civilization (benturan peradaban), atau Peter Berger menyebutnya collision of conscious- ness (tabrakan persepsi).

Pada tingkat individu, benturan itu mengakibatkan pergolakan pemikiran dalam diri seseorang. Perang pemikiran pada tingkat inidividu inilah yang hari ini begitu dirasakan umat Islam Indonesia.

Tidak dapat dipungkiri bahwa umat manusia terkoak-kotak menjadi bangsa-bangsa dan peradaban. Masing-masing memiliki karakter yang berbeda. Yang menjadi masalah, perbedaan itu sengaja “dipertemukan” oleh Barat.

Barat dengan dagangan demokratisasi dan kebebasan (liberalisme)-nya jelas tak akan bertemu dengan nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, benturan peradaban seperti itu memang tak bisa dipungkiri.

Menurut Huntington, dalam bukunya “If Not Civilizations, What? Samuel Huntington Responds to His Critics” asas peradaban yang menjadi faktor benturan antara Islam dan Barat adalah faith and fanily keimanan dan keluarga), serta blood and belief (darah dan kepercayaan). Selain itu, identitas peradaban Barat, khususnya di AS sendiri yang ia sebut America’s core culture,seperti agama Kristen, nilai-nilai dan moralitas Protestan, etika kerja, Bahasa Inggris, tradisi hukum bangsa Inggris, keterbatasan kekuasaan pemerintahan, serta khazanah seni dan sastra, filsafat, dan musik Eropa.

Ini ditambah dengan kepercayaan bangsa Amerika tentang prinsip-prinsip kebebasan, persamaan, individualisme, perwakilan pemerintahan, dan kekayaan pribadi. Namun, hal di atas ditolak Ronald Inglehart dan Pippa Nors.

Sebab, menurut Norris, Islam, Kristen, dan Yahudi, masih da menerima demokrasi. Benturan Barat-Islam yang sebenarnya justru berkaitan dengan kesetaraan gender dan kebebasan seks.

Jadi, yang terjadi adalah sexual clash of civilization (benturan peradaban seks). Misalnya berkaitan dengan perceraian, aborsi, kesetaraan gender serta hak kaum gay dan lesbian.

Bisa saja generasi muda Barat menjadi semakin liberal dalam soal seks, namun itu tak akan terjadi pada dunia Islam. Memang, antara Islam dan Barat mempunyai persamaan. Namun perbedaannya jauh lebih besar. Dan perbedaan utamanya adalah soal pandangan hidup.

Pada tingkat praktik, banyak aspek budaya Barat yang jelas bertentangan bahkan menggugat prinsip keagamaan umat Islam. Mulai dari politik, ekonomi, budaya, pendidikan, kehidupan sosial, status pria-wanita, prinsip-prinsip persamaan, dan lain-lain.

Di tingkat keilmuan, banyak konsep Barat yang sangat tidak sesuai dengan Islam. Misalnya konsep tentang religi, demokrasi, manusia, moral, dan politik yang sangat berbeda dengan konsep din, syura, insan, akhlaq, dan siyasah.

Nah, di era globalisasi ini, peradaban Islam dan Barat saling mengembangkan pengaruhnya ke seluruh dunia. Pada saat yang sama, Barat memaksakan kehendaknya. Terjadilah konflik.

Orientalisme, Kristen, dan Penjajah

Salah satu bukti perang pemikiran adalah terlibatnya tiga sahabat serangkai: orientalisme, misionarisme, dan kolonialisme Barat. Mereka ini bekerjasama dengan sangat intensif dan sistematis.

Kebijakan melawan “terorisme” ala AS, misalnya, bukanlah kebijakan yang keluar dari Presiden Bush sendirian. Itu sesungguhnya kebijakan yang dikeluarkan oleh saran para ilmuwan. Bahkan hampir semua kebijakan Barat (baca AS) dalam menyerang Afghanistan dan Iraq serta negeri-negeri Islam lain, sesungguhnya hasil saran para orientalis. Kebijakan AS atas usulan Huntington dan Bermard Lewis semuanya merujuk kepada kajian orientalis.

Fakta sejarah menunjukkan bahwa gerakan kolonialisme selalu disertai atau didahului oleh kegiatan misionaris Kristen yang berkaitan dengan orientalisme. Kerjasama ketiganya terbukti telah lama terjadi.

Simak saja pengakuan misionaris Belanda, Alb C Kruyt dan OJHGraaf van Limburg Stirum, seperti dikutip Aqib Suminto dalam buku Politik Islam Hindia Belanda (1985), “Diakui bahwa kristenisasi merupakan faktor penting dalam proses penjajahan dan zending Kristen merupakan rekan sepersekutuan pemerintah kolonial, sehingga pemerintah akan membantu menghadapi setiap rintangan yang menghambat perluasan zending.”

Kristenisasi model penghancuran pemikiran umat Islam seperti ini sudah lama dilakukan. Pertama kali diikrarkan oleh Samuel Zwemmer, seorang orientalis Yahudi yang menjabat direktur organisasi misionaris dan pendiri Jurnal the Muslim World. Pada Konferensi Misionaris di Kota Yerussalem, Palestina (1935), Zwemmer mengatakan, “Misi kolonialisnme dan misionaris terhadap Islam bukanlah menghancurkan kaum Muslimin. Namun mengeluarkan seorang Muslim dari Islam agar dia menjadi orang Muslim yang tidak berakhlak. Dengan begitu akan membuka pintu bagi kemenangan imperialis di negeri-negeri Islam.”

Harry Dorman dalam bukunya, Towards Understanding Islam, mengungkapkan pernyataan seorang misionaris, “Boleh jadi dalam beberapa tahun mendatang, sumbangan besar misionaris di wilayah-wilayah Muslim akan tidak begitu banyak memurtadkan orang Muslim, melainkan lebih banyak menyelewengkan Islam itu sendiri. Inilah bidang tugas yang tidak bisa diabaikan.”

Dalam nata rantai kebudayaan Barat gerakan misi seperti itu, kata Ali Gharisah dalam buku Wajah Dunia Islam Kontemporer (Pustaka Al-Kautsar, 1989) selalu punya tugas ganda.

Pertama, menghancurkan peradaban lawan (baca: peradaban Islam). Kedua, membina kembali dalam bentuk peradaban Barat. Ini perlu dilakukan agar Muslinm dapat berdiri pada barisan budaya Barat yang akhimya muncul menjadi generasi Muslim yang memusuhi agamanya sendiri.”

Keberhasilan gerakan orientalis, misionaris, dan kolonialis terbukti sukses. Di antaranya adalah pertama, suksesnya penyebaran paham teologi pluralis yang dimaksudkan untuk menghilangkan sitat ekslusif umat Islam. Umat Islam diharapkan tidak lagi bersikap fanatik, atau merasa paling benar tentang ajaran agamanya.

Kedua, penyebaran gagasan kawin antar agama. Malangnya, gagasan ini mendapat sambutan positif dari sekelompok “cendekiawan Muslim” yang didukung Universtias Paramadina. Buku yang berjudul Fiqih Lintas Agama adalah contoh hasil pemikiran yang disebarkan Barat.

Ketiga, penerbitan buku-buku Kristen dan sekuler. Terkadang, buku-buku seperti ini judulnya kelihatan Islami, meski di dalamnya sangat membela sekularisme, pluralisme agama, dan kesetaraan gender.

Keempat, gerakan orientalisme, antara lain dengan”membantu” membuat kajian-kajian dalam berbagai disiplin ilmu. Sudah tentu, prinsip, metode, dan pendekatannya khas Barat. Dan tidak murni kajlan keilmuan, melainkan kajian yang dinmanfaatkan untuk pro- gram misionaris Kristen dan imperialisme Barat ke negara-negara Timur (Edward Said, Orientalism, New York: Vintage, 1979). Kajian-kajian seperti inilah yang kemudian banyak dikutip ilmuwan IsDSa diduga, ketika menjadi sarjana, mereka lebih memusuhi agamanya sendiri.

Kelima, program pemberian beasiswa melalui agen-agen pemerintah. Beasiswa bahkan ditawar-tawarkan ke perguruan tinggi swasta dengan standard TOEFL dan syarat yang dipermudah. Di Ohio State University, misalnya, hari ini beberapa mahasiswa Islam asal Indonesia sedang dikader oleh William Liddle, orientalis yang juga pakar bidang politik Indonesia.

Meskipun tidak semua mahasiswa terpengaruh sepenuhnya dengan cara berpikir orientalis, ini jelas merupakan progam perang pemikiran.

Barat telah menawarkan beasiswa untuk studi Islam sejak tahun 1980-an. Hasil dari pengiriman dosen 20 tahun yang lalu, kini mempunyai dampak sangat besar terhadap kajian Islam di kampus-kampus IAIN. Jangan heran jika kemudian para mahasiswa bidang studi Islam lebih gemar menekuni ide-ide marxisme, sosialisme, modernisme, postmodernisme, dan relativisme daripada menggali khazanah pemikiran Islam sendiri.

Mereka lebih suka menekuni hermeneutika daripada tafsir dan ta’wil ulama salaf. Mereka lebih suka mempertanyakan cara-cara pengambilan hukum fikih para ulama terdahulu, bahkan berani menuduh ulama salaf banyak dipengaruhi oleh ambisi politik.

Keenam, proyek pembagian buku gratis. AS meletakkan buku-buku literatur Barat di berbagai perpustakaan perguruan tinggi Islam dengan nama “The American Corner”. Juga membagi-bagi buku ke pondok-pondok pesantren. Tentu saja, buku yang dibagikan dipilih sesuai dengan kepentingan Barat.

Ketujuh, membiayai LSM. Melalui berbagai lembaga penyandang dana, AS mendanai kegiatan LSM yang getol mengangkat isu melawan Islam “fundamentalis”, globalisasi, pluralisme, kesetaraan gender, liberalisme, dan semacamnya. Hampir semuanya menggugat pemikiran umat Islam yang sudah mapan.

Kualitas limu

Perang pemikiran sangat berbeda dengan perang fisik. Karena itu, cara dan strateginya tidak sama. Kata Imam Al-Ghazali, “Rusaknya amal disebabkan oleh rusaknya ilmu. IImu tanpa amal adalah gila, dan amal tanpa ilmu adalah sombong.”

Itulah sebabnya, strategi pertama dalam menghadapi perang pemikiran adalah peningkatan kualitas individu Muslim, dan yang terutama adalah peningkatan keilmuan. Diperlukan cendekiwan Muslim yang menguasai khazanah pemikiran Islam di berbagai bidang secara apresiatif sekaligus menguasai pemikiran dan peradaban Barat, namun tetap menjadi seorang

Muslim sejati yang tak terbaratkan dan tak mudah dibingungkan oleh gagasan nyeleneh. Semua lembaga Islam, baik pendidikan, dakwah, ekonomi, dan lain-lain perlu memikirkan secara serius langkah kaderisasi umat.

Tujuannya, agar 20 tahun yang akan datang kadernya tidak lagi menjadi cendekiawan Muslim yang justru menghujat agama dan ulamanya sendiri. Memang, perang seperti ini memerlukan rentang waktu yang lebih lama. Namun setidaknya kita bisa melakukannya sejak sekarang.*

Penulis Rektor Universitas Darussalam (Unida) Gontor adalah pengasuh Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor, Ponorogo. Artikel ditulis tahun 2005

Rep: Admin Hidcom
Editor: -

No comments: