Keabadian Karya Hamzah Fansuri

 Hamzah Fansuri

Hamzah Fansuri adalah seorang sastrawan, pemikir, ulama dan budayawan terkemuka di Aceh. Ia hidup antara awal abad ke-16 sampai abad ke-17 Masehi. Hingga berabad-abad kemudian, karya-karya besarnya terus digeluti dan semakin diakui sebagai khazanah kesusastraan terpenting, khususnya di wilayah Nusantara.

Muakhor Zakaria

 DALAM menulis karya prosa maupun esai, memang tidak ada aturan baku bagi penulisnya, seakan mereka bebas melanglang buana menembus angkasa raya. Gaya apa saja boleh dilakukan sesuka sinyo, bagaikan ladang akrobat yang tak mau mengikatkan diri dalam batasan ruang dan waktu.

Ini yang membuat saya merasa kesulitan untuk bersaing “melawan” mereka. Tema-tema garapannya padahal sederhana, tetapi mereka mampu mengemasnya sedemikian canggih dan menarik, kadang menimbulkan kejutan-kejutan yang tak terbayangkan dalam paragraf-paragraf tertentu.

Bagi saya, kejutan menakjubkan itu tak ubahnya sebagai penemuan artefak berharga dalam petuangan dan pengembaraan yang dilakukan para arkeolog.  Kalau cuma menulis untuk jurnal ilmiah, bagi saya enteng-enteng saja.

Tinggal mengumpulkan referensi yang seabrek, berdasarkan data dan fakta yang terhampar luas di mana-mana. Kalaupun referensi itu ditelusuri melalui internet, tinggal dikroscek saja kebenarannya dengan data-data lain sehingga dapat dianggap valid dan akurat.

Akan tetapi, menulis prosa atau esai, waduh, kadang menampilkan hal-hal yang ringan dan sepele, namun sangat menggelitik forum diskusi di kalangan akademisi dan mahasiswa, yang serta-merta semarak membahasnya dalam ruang-ruang diskusi mereka. Wawasan mereka yang multidimensional, kadang “menjebak” saya selaku dosen dan pengajar mereka, apabila saya bertumpu hanya pada satu dimensi saja.

Pengamatan seorang penulis sastra atau esai perihal dunia sekelilingnya, atau mengenai hal-hal aktual yang dipersoalkan, memang menunjukkan genuinitas dari karakteristik penulisnya. Kadang mereka menulis tentang sejarah arkeologi masa lalu, atau membahas novel atau film-film lawas, namun kejutan-kejutannya sungguh membuat kepala saya geleng-geleng, kadang tertawa, atau bahkan tanpa disadari air mata tahu-tahu sudah berlinang.

Boleh jadi penulisnya seorang akademisi seperti Supadilah, Enzen Okta, atau Pujiah Lestari, mungkin juga pengasuh pesantren seperti Chudori Sukra dan Eeng Nurhaeni, atau bahkan novelis seperti Beni Arnas atau Hafis Azhari. Mereka kadang memerhatikan hal-hal ringan yang menurut saya sepele-sepele saja, tetapi kemudian para pembaca berdecak kagum, seraya iri hati, mengapa saya tidak membahas hal-hal seperti itu dalam tulisan saya? Sontoloyo doang!

Tulisan Hamzah Fansuri

Sebagaimana Hamzah Fansuri, siapapun bebas mengarahkan larya sastra atau esainya ke arah mana saja yang ia kehendaki. Kadang esainya terkesan sangat personal dan sederhana, tetapi masih cukup untuk menggelitik perasaan kita yang hidup di era milenial ini.

Hamzah Fansuri adalah seorang sastrawan, pemikir, ulama dan budayawan terkemuka di Aceh. Ia hidup antara awal abad ke-16 sampai abad ke-17 Masehi.

Argumen-argumen yang dikemukakan dalam banyak tulisannya merujuk dari karya sastranya yang bertajuk “Ikatan-ikatan Ilmu an-Nisa”. Di dalam karya ini, sang sastrawan telah diperintahkan oleh Sultan Alauddin untuk mengarang sebuah sajak lalu mendedikasikan karya tersebut sebagai pembanding atau kritik atas jejak-langkah pemerintahannya.

Hingga berabad-abad kemudian, karya-karya besarnya terus digeluti dan semakin diakui sebagai khazanah kesusastraan terpenting, khususnya di wilayah Nusantara. Pengalaman kesufian sebagai seorang ulama, dituangkannya dalam bentuk prosa, esai dan syair-syair.

Ia juga dikenal sebagai tokoh sufi yang pertama kali mengenalkan Islam di wilayah Aceh. Keabadian karyanya terus diakui berbagai kalangan, karena Fansuri mampu menyuguhkan rasionalitas hukum-hukum syariat, sehingga anjuran-anjuran agama dianggap logis dan masuk akal untuk diamalkan.

Konsep kesufian Fansuri yang menganggap bahwa kesejatian itu hanya ada dalam alam akhirat, menimbulkan kontroversi bahkan penolakan di kalangan pemerintahan. Meskipun konsep filsafat tasawuf yang diselaraskan dengan budaya lokal (local wisdom) telah mencuri perhatian berbagai kalangan dari zaman ke zaman.

Ketika hedonisme dan degradasi moral semakin merambah di tubuh kekuasaan, tak ayal mereka menganggap Fansuri sebagai batu sandungan. Sampai kemudian, Hamzah Fansuri tetap aktif berkarya di tempat persembunyian dan pengasingannya.

Cuci otak gaya penguasa

Sultan Iskandar Tsani kemudian mengangkat Ar-Raniri sebagai mufti yang sah di bawah kekuasaannya. Raniri sendiri memanfaatkan momentum itu sebagai ajang pamer dan gagah-gagahan.

Ia mengikuti perintah atasannya untuk menulis karya guna menyerang dan menyudutkan kepiawaian Fansuri. Baginya, karya-karya Hamzah Fansuri mengandung ajaran-ajaran sesat dan kafir.

Seluruh ajaran dan pemikirannya harus dihapus, dimusnahkan, dan dibumihanguskan sampai ke akar-akarnya. Petuah-petuah ini berlaku hanya dalam beberapa jenak di momen-momen awal saja. Tetapi, Hamzah Fansuri yang produktif dengan karya-karya sastranya, siapa yang mau coba-coba menghapusnya? Penguasa mana yang coba-coba ingin merintanginya?

Siapa pula yang peduli pada karya-karya Ar-Raniri yang bersifat senimentil itu, dalam konteks saat ini? Sementara, kepiawaian dan ketokohan Hamzah Fansuri semakin dikenal luas, terlebih di kalangan sastrawan, ulama dan budayawan negeri ini.

Berkat perjuangan dan produktivitas karya-karya Fansuri, ilmu tasawuf semakin dikenal luas di seantero Nusantara. Bahkan, bahasa Melayu yang digunakan dalam mengarang puisi dan syair beliau, dimanfaatkan sebagai bahasa perdagangan, pemerintahan, dan pengantar ilmu pengetahuan hingga saat ini.

Puisi-puisi spiritual modern yang lahir di tanah Melayu dan Nusantara, banyak mengacu dan terilhami dari karya-karya beliau. Hingga saat ini, Hamzah Fansuri banyak meninggalkan jejak karya-karya besar di bidang kesusastraan, baik berbentuk prosa maupun puisi-puisi sufistik.

Beliau dikenal sebagai peletak dasar kesusastraan Melayu, melalui karya-karya yang dilahirkannya. Bahkan, melalui karyanya pula, bahasa Melayu kelak menjadi bahasa nomor empat sebagai pengantar pendidikan Islam di seluruh dunia, setelah bahasa Arab, Turki, dan Persia. Subhanallah.*

Rep: Insan Kamil
Editor: -

No comments: