An-Nūr

Ilustrasi “Mouth Speaks” karya Paulo Zerbato

Setelah api fitnah membakar kemana-mana, Allah padamkan seketika dengan air sejuk berupa Surah An-Nūr ayat 11 sampai 20

Ananda Abdul Fattah

AUS dan Khazraj bergelar Al-Anshār (para penolong Rasulullah dan orang-orang yang berhijrah) dan sudah dipersaudarakan dengan Al-Muhajirūn (Orang-orang yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya).

Namun, dalam kitab Ash-Shahābiyāt hawla Ar-Rasūl, pada bab Biografi ‘Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq, Syaikh Mahmud Al-Mishri menggambarkan Aus dan Khazraj hampir saling bunuh akibat fitnah yang disebarluaskan Abdullah bin Ubay bin Salul dan kawan-kawan.

Ketika kemelut fitnah tuduhan zina terhadap Ummul Mu’minin ‘Aisyah Ash-Shiddiqah binti Ash-Shiddiq dan Sahabat Shafwan ibnul-Mu’aththal as-Sulami sudah sangat memuncak, Rasulullah ﷺ naik ke mimbar lalu bersabda:

“Wahai seluruh kaum Muslimin, siapakah yang mau menolongku dari seorang lelaki yang telah menyakiti keluargaku? Sungguh aku tidak mengetahui tentang keluargaku melainkan kebaikan. Mereka (orang yang menyebar isu) telah menceritakan kepadaku tentang seorang lelaki yang tidak aku ketahui tentangnya selain kebaikan (maksudnya Shafwan). Dan tidaklah ada orang yang menemui istriku kecuali ia bersamaku.”

Sa’ad bin Muadz Al-Anshāri berdiri lalu berkata, “Wahai Rasulullah, kami akan menolongmu darinya. Bila dia dari Bani Aus akan kami penggal lehernya. Bila dia dari saudara-saudara kami Bani Khazraj kami akan laksanakan apapun perintah Anda.”

Abdullah bin Ubay bin Salul yang sedang dibicarakan berasal dari Bani Khazraj. Seketika berdirilah Sa’ad bin ‘Ubadah Al-Anshāri dari Bani Khazraj, “Demi Allah kamu tidak bisa membunuhnya dan tidak akan mampu membunuhnya.”

Maka berdirilah Usaid bin Hudhair, sepupu Sa’ad bin Muadz, lalu dia berkata kepada Sa’ad bin ‘Ubadah, “Engkau bohong, sungguh kami akan membunuhnya karena kamu orang munafik yang sedang memperdebatkan tentang orang-orang munafik.”

Keadaan semakin memanas, sampai mereka hampir saling membunuh sementara Rasulullah ﷺ masih berdiri di tempat khutbahnya. Lalu Rasulullah ﷺ menenangkan mereka. Mereka diam. Rasulullah ﷺ pun diam.

Hikmah

Kita yang membaca berbagai catatan sejarah tentang peristiwa yang disebut hadits ifki (pembicaraan yang mengandung fitnah) ini ikut tegang tapi tidak sampai merasakan tekanan yang dahsyat. Karena kita tahu happy ending-nya.

Di mana setelah lebih dari sebulan, api fitnah membakar kemana-mana, Allah padamkan seketika dengan air sejuk berupa Surah An-Nūr ayat 11 sampai 20.

Sedangkan Rasulullah ﷺ, Ibunya orang-orang beriman ‘Aisyah yang waktu itu masih berusia remaja belasan tahun, dan Abu Bakar Ash-Shiddiq ayah ‘Aisyah serta para sahabat, benar-benar diuji kelurusan akal dan kekokohan jiwanya.

Sebab, kemudian kita menyaksikan dengan jelas, bahwa Allah sedang mentarbiyah beliau-beliau dan kita semua di zaman sesudahnya, bagaimana menghadapi fitnah dahsyat sejenis itu: tuduhan zina atas istri utusan Allah. Seakan-akan mau meledak tanah-tanah suci menerima fitnah dahsyat itu, yang telah dikobarkan lisan-lisan orang munafiq.

Dari rangkaian peristiwa hadits ifki itu kita melihat, betapa sempurnanya ketergantungan hidup Rasulullah ﷺ dan terutama para Sahabat kepada petunjuk Wahyu yang merupakan sumber syari’at Islam.

Rasulullah ﷺ pasti sangat mencintai dan pasti sangat percaya kepada ‘Aisyah. Tapi pada saat yang sama Rasulullah ﷺ tak ingin mendahulukan sikap pribadinya sebagai suami sebelum turun Wahyu yang memberi petunjuk yang nyata.

Abu Bakar Ash-Shiddiq dan istrinya juga pasti sangat kenal, sangat cinta, dan sangat percaya kepada putrinya ‘Aisyah. Namun ketika dimintai penguatan dan pembelaannya oleh ‘Aisyah, Abu Bakar pun berusaha bersikap tawazun (yang luar biasa berat dalam keadan itu), antara menyayangi putrinya untuk segera mengatakan “tidak mungkin putriku berzina!”, ATAU menahan diri, tidak mau mengambil sikap final sebelum Rasulullah ﷺ mendapatkan Wahyu Allah.

‘Aisyah remaja yang sudah menjadi Ibunya orang-orang beriman pun menghadapi ujian paling dahsyat. Bayangkan, jika suami Anda seorang Utusan Allah dan Ayah Ibu kandung Anda, sama-sama memilih sikap rasional (menunggu, mengikuti dan meletakkan syariah yakni menunggu turunnya Wahyu) di atas hubungan pribadi dan emosi keluarga.

Kalau mengikuti perasaan sebagai keluarga, tentu Rasulullah ﷺ akan bersikap “Right or wrong is my wife”. Apalagi dari khutbah beliau nampak jelas tidak ada keraguan kepada istrinya maupun kepada Shafwan yang juga tertuduh.

Begitu pula Abu Bakar dan istrinya, sangat wajar jika maju ke depan lalu mengatakan kepada Rasulullah ﷺ, “Wahai menantuku, aku dan istriku sebagai jaminan kebenaran dan kesucian putriku atas fitnah ini.”

Tidak. Itu tidak dilakukan oleh Abu Bakar dan istrinya, karena keduanya faham bahwa Wahyu akan menuntun mereka mengambil sikap yang terbenar.

Apa lagi reputasi penyebar fitnah juga sudah dikenal luas sifat-sifat nifaq dan ambisiusnya. Sampai-sampai Rasulullah ﷺ meminta tolong agar penyebar fitnah itu “diselesaikan”. Tapi demi melihat potensi perpecahan di kalangan Anshār begitu besar, beliau memilih diam dan menahan diri.

Sama sekali bukan karena tipisnya kepercayaan Rasulullah ﷺ, Abu Bakar dan istrinya kepada ‘Aisyah. Melainkan karena Gunung Iman itu sudah demikian kokoh membentuk adabnya terhadap syariah.

Sehingga keyakinannya terhadap kebenaran dan keberkahan mengikuti tuntunan syariah menawarkan prospek yang jauh lebih menjanjikan dan lebih menggiurkan daripada sekedar buru-buru membela kehormatan pribadi dan keluarga.

إِنَّ ٱلَّذِينَ جَآءُو بِٱلْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِّنكُمْ ۚ لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَّكُم ۖ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ لِكُلِّ ٱمْرِئٍ مِّنْهُم مَّا ٱكْتَسَبَ مِنَ ٱلْإِثْمِ ۚ وَٱلَّذِى تَوَلَّىٰ كِبْرَهُۥ مِنْهُمْ لَهُۥ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kalian juga. Janganlah kalian kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kalian bahkan ia adalah baik bagi kalian. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.”

لَّوْلَآ إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ ٱلْمُؤْمِنُونَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتُ بِأَنفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا۟ هَٰذَآ إِفْكٌ مُّبِينٌ

“Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohon itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata”.

لَّوْلَا جَآءُو عَلَيْهِ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَآءَ ۚ فَإِذْ لَمْ يَأْتُوا۟ بِٱلشُّهَدَآءِ فَأُو۟لَٰٓئِكَ عِندَ ٱللَّهِ هُمُ ٱلْكَٰذِبُونَ

“Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Olah karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta.”

وَلَوْلَا فَضْلُ ٱللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُۥ فِى ٱلدُّنْيَا وَٱلْءَاخِرَةِ لَمَسَّكُمْ فِى مَآ أَفَضْتُمْ فِيهِ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Sekiranya tidak ada kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kamu tentang berita bohong itu.”

إِذْ تَلَقَّوْنَهُۥ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُم مَّا لَيْسَ لَكُم بِهِۦ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُۥ هَيِّنًا وَهُوَ عِندَ ٱللَّهِ عَظِيمٌ

“(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar.”

وَلَوْلَآ إِذْ سَمِعْتُمُوهُ قُلْتُم مَّا يَكُونُ لَنَآ أَن نَّتَكَلَّمَ بِهَٰذَا سُبْحَٰنَكَ هَٰذَا بُهْتَٰنٌ عَظِيمٌ

“Dan mengapa kamu tidak berkata, diwaktu mendengar berita bohong itu: “Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini, Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar”.”

يَعِظُكُمُ ٱللَّهُ أَن تَعُودُوا۟ لِمِثْلِهِۦٓ أَبَدًا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

“Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman.”

وَيُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمُ ٱلْءَايَٰتِ ۚ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

“dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

إِنَّ ٱلَّذِينَ يُحِبُّونَ أَن تَشِيعَ ٱلْفَٰحِشَةُ فِى ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِى ٱلدُّنْيَا وَٱلْءَاخِرَةِ ۚ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.”

وَلَوْلَا فَضْلُ ٱللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُۥ وَأَنَّ ٱللَّهَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ

“Dan sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua, dan Allah Maha Penyantun dan Maha Penyayang, (niscaya kamu akan ditimpa azab yang besar).” (Kalimat-Kalimat Allah dalam Al-Quran surah An-Nūr ayat 11-20).*

Rep: Admin Hidcom
Editor: Bambang S

No comments: