Kisah Abdullah Ayah Nabi Muhammad SAW, Pemuda Tampan yang Wafat di Usia Muda

Kisah Abdullah Ayah Nabi Muhammad SAW, Pemuda Tampan yang Wafat di Usia Muda
Kafilah dagang Mekkah: Abdullah wafat di Madinah, sepulang berdagang dari Gaza. (Foto/Ilustrasi: Ist)
Abdullah putra Abdul Muthalib , ayahanda Nabi Muhammad SAW , semasa muda amatlah tampan. Di kening Abdullah ada cahaya kenabian, sehingga banyak perempuan Quraisy yang menginginkan dirinya. Beliau menikahi Aminah saat berusia 24 tahun dan tak lama setelah itu beliau wafat.

Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul " Sejarah Hidup Muhammad " menceritakan usia Abdul Muttalib sudah hampir mencapai 70 tahun, ketika itu umur Abdullah anaknya sudah 24 tahun.

Usia 24 tahun itu sudah tiba masanya untuk dikawinkan. Pilihan Abdul Muthalib jatuh kepada Aminah binti Wahb bin Abd Manaf bin Zuhra. Wahb adalah pemimpin suku Zuhra ketika itu yang sesuai pula usianya dan mempunyai kedudukan terhormat.

Pergilah Abdul Muthalib dan Abdullah mengunjungi keluarga Zuhra. Mereka menemui Wahb dan melamar puterinya. Menurut Haekal, sebagian penulis sejarah berpendapat, bahwa ia pergi menemui Uhyab, paman Aminah, sebab waktu itu ayahnya sudah meninggal dan dia di bawah asuhan pamannya.

Pada hari perkawinan Abdullah dengan Aminah itu, Abdul-Muttalib juga menikah dengan Hala, puteri pamannya. Dari perkawinan ini lahirlah Hamzah, paman Nabi dan yang seusia dengan dia.

Abdullah dengan Aminah tinggal selama tiga hari di rumah Aminah, sesuai dengan adat kebiasaan Arab bila perkawinan dilangsungkan di rumah keluarga pengantin puteri. Sesudah itu mereka pindah bersama-sama ke keluarga Abdul Muttalib.

Tak berapa lama kemudian Abdullah mesti pergi dalam suatu usaha perdagangan ke Suriah. Beliau meninggalkan isteri, Siti Aminah, yang kala itu dalam keadaan hamil.

Cahaya Kenabian
Sementara itu, Abul Fayyadh Al-Khats'ami sebagaimana dikutip dalam buku "Uyun Al-Hikayat Min Qashash Ash-Shalihin wa Nawodir Az-Zahidin" karya Imam Ibnul Jauzi meriwayatkan, pada suatu ketika Abdulah berjalan melewati seorang perempuan dari suku Khats'am yang bernama Fathimah binti Murr. Dia adalah perempuan yang sangat cantik, masih muda, dan sangat menjaga kemuliaan dirinya.

Dia juga perempuan yang terpelajar dan membaca banyak buku. Karena itu, para pemuda Quraisy banyak berbicara tentang dirinya. Kemudian perempuan itu melihat cahaya kenabian pada wajah Abdullah. Maka dia bertanya kepada Abdullah, “Pemuda, siapa namamu?” Abdullah pun menerangkan siapa dirinya.

Perempuan itu kembali berkata kepadanya, “Apakah engkau mau meniduriku, dan nanti saya berikan engkau seratus ekor unta?”

Abdullah memandangnya, kemudian berkata, “Jika engkau mengajakku melakukan perbuatan yang terlarang, maka kematian lebih saya pilih. Jika itu perbuatan yang dilakukan dalam kehalalan, maka harus dipikirkan terlebih dahulu. Tentang bagaimana hari esok, apa yang engkau rencanakan.”

Kemudian Abdullah pergi menemui istrinya. Dia menceritakan tentang perempuan dari Khats'amiah itu, serta kecantikannya dan tawarannya.

Berikutnya dia kembali menemui perempuan Khatsamiyah, namun kali ini perempuan itu tidak menyikapinya dengan antusias, sebagaimana yang dia lakukan dahulu. Maka Abdullah bertanya kepadanya, “Apakah engkau sungguh-sungguh dengan tawaranmu dahulu?”

Perempuan itu menjawab, “Waktu itu saya menawarkannya kepadamu. Sedangkan hari ini tidak. Karena saya tidak ada keinginan lagi terhadapmu. Kemudian perempuan itu bertanya, “Apa yang engkau telah lakukan selepas bertemu denganku sebelumnya?”

Dia menjawab, “Saya meniduri istriku, Aminah binti Wahab.”

Perempuan itu berkata, “Demi Tuhan! Saya bukanlah orang yang peragu. Tapi waktu itu saya melihat cahaya kenabian di wajahmu. Maka saya ingin agar cahaya itu masuk ke tubuhku. Namun Tuhan berkehendak lagi, dan meletakkannya sesuai yang Dia kehendaki.”

Bukan Hal yang Luar Biasa
Haekal mengakui tentang ini masih terdapat beberapa keterangan yang berbeda-beda: adakah Abdullah kawin lagi selain dengan Aminah; adakah wanita lain yang datang menawarkan diri kepadanya?

"Yang pasti, Abdullah adalah seorang pemuda yang tegap dan tampan. Bukan hal yang luar biasa jika ada wanita lain yang ingin menjadi isterinya selain Aminah," ujar Haekal.

Tetapi setelah perkawinannya dengan Aminah itu, kata Haekal, hilanglah harapan yang lain walaupun untuk sementara. Siapa tahu, barangkali mereka masih menunggu ia pulang dari perjalanannya ke Syam untuk menjadi isterinya di samping Aminah.

Dalam perjalanannya itu Abdullah tinggal selama beberapa bulan. Dalam pada itu ia pergi juga ke Gaza dan kembali lagi. Kemudian ia singgah ke tempat saudara-saudara ibunya di Madinah sekadar beristirahat sesudah merasa letih selama dalam perjalanan.

Sesudah itu ia akan kembali pulang dengan kafilah ke Mekkah. Akan tetapi kemudian ia menderita sakit di tempat saudara-saudara ibunya itu. Kawan-kawannyapun pulang lebih dulu meninggalkannya di Madinah. Dan merekalah yang menyampaikan berita sakitnya itu kepada ayahnya setelah mereka sampai di Mekkah.

Begitu berita sampai kepada Abdul Muthalib ia mengutus Harith- anaknya yang sulung - ke Madinah, supaya membawa kembali bila ia sudah sembuh. Tetapi sesampainya di Madinah ia mengetahui bahwa Abdullah sudah meninggal dan sudah dikuburkan pula, sebulan sesudah kafilahnya berangkat ke Mekkah.

Kembalilah Harith kepada keluarganya dengan membawa perasaan pilu atas kematian adiknya itu. Rasa duka dan sedih menimpa hati Abdul Muthalib, menimpa hati Aminah, karena ia kehilangan seorang suami yang selama ini menjadi harapan kebahagiaan hidupnya.

Demikian juga Abdul Muthalib sangat sayang kepadanya sehingga penebusannya terhadap Sang Berhala yang demikian rupa belum pernah terjadi di kalangan masyarakat Arab sebelum itu.

Peninggalan Abdullah sesudah wafat terdiri dari lima ekor unta, sekelompok ternak kambing dan seorang budak perempuan, yaitu Umm Ayman - yang kemudian menjadi pengasuh Nabi. Boleh jadi peninggalan serupa itu bukan berarti suatu tanda kekayaan; tapi tidak juga merupakan suatu kemiskinan.

Di samping itu umur Abdullah yang masih dalam usia muda belia, sudah mampu bekerja dan berusaha mencapai kekayaan. Dalam pada itu ia memang tidak mewarisi sesuatu dari ayahnya yang masih hidup itu.

Pada saat Abdullah wafat, sang istri, Aminah sedang mengandung. Kemudian, seperti wanita lain iapun melahirkan. Selesai bersalin dikirimnya berita kepada Abdul Muthalib di Kakbah, bahwa ia melahirkan seorang anak laki-laki.

Alangkah gembiranya orang tua itu setelah menerima berita. Sekaligus ia teringat kepada Abdullah anaknya. Gembira sekali hatinya karena ternyata pengganti anaknya sudah ada.

Cepat-cepat ia menemui menantunya itu, diangkatnya bayi itu lalu dibawanya ke Kakbah. Ia diberi nama Muhammad. Nama ini tidak umum di kalangan orang Arab tapi cukup dikenal. Beliaulah nabi dan rasul penutup.

(mhy) Miftah H. Yusufpati

No comments: