Toleransi Islam, Garansi Ottoman untuk Yahudi, dan Pengakuan Orientalis

 Islam meletakkan dasar dan praktik toleransi bagi peradaban dunia.  (ilustrasi)

Islam meletakkan dasar dan praktik toleransi bagi peradaban dunia. (ilustrasi)

Foto: google.com
Islam meletakkan dasar dan praktik toleransi bagi peradaban dunia
Islam memberikan penghargaan terhadap prinsip toleransi. Bahkan, kaum non-Muslim menikmati toleransi yang begitu besar di bawah aturan penguasa Muslim. 

Pengakuan ini disampaikan orientalis Barat, Sir Thomas Walker Arnold dalam The Preaching of Islam A History of Propagation of the Muslim Faith. 

Padahal, di saat yang sama, Eropa masih belum mengenal toleransi sama sekali. Barat baru menyemarakkan tenggang rasa antar dan internal umat beragama belakangan ini pada zaman modern. 

Lebih lanjut, Sir Thomas mengungkapkan, ketika berabad-abad lamanya dinasti-dinasti Muslim berkuasa, banyak sekte Kristen yang dibiarkan hidup, berkembang, dan bahkan dilindungi aturan negara. Amat jarang kasus persekusi yang dilakukan orang Islam terhadap komunitas non-Muslim. 

Menurut orientalis Inggris tersebut, keyakinan yang diajarkan Alquran, Tidak ada paksaan dalam agama berperan amat penting. 

Reza Shah-Kazemi melalui karyanya, The Spirit of Tolerance in Islam, mengemukakan beberapa dinasti yang menunjukkan pentingnya toleransi dalam peradaban Islam. 

Ambil contoh Kekhalifahan Abbasiyah yang mempersembahkan kepada peradaban dunia Bait al-Hikmah. Perpustakaan itu dibesarkan Sultan Harun al-Rasyid di Baghdad. Di dalamnya, berlangsung kegiatan-kegiatan ilmiah, mulai dari penerjemahan teks-teks asing ke dalam bahasa Arab hingga riset dan observasi. 

Sang sultan mengedepankan prinsip toleransi dan meritokrasi di atas identitas. Buktinya, dia mengangkat I'yan Syu'ubi, seorang Persia yang anti- Arab, sebagai kepala perpustakaan. Hal itu disinggung Prof Abdul Hadi WM dalam Cakrawala Budaya Islam. 

Tidak sedikit pula orang Yahudi yang bekerja sebagai penerjemah teks-teks Yunani Kuno ke bahasa Ibrani dan Arab di Bait al-Hikmah. Ada juga sarjana-sarjana dari India yang aktif berkontribusi di sana. Contoh lainnya dari makna toleransi ala Islam ditunjukkan Ottoman dari Turki. 

Reza mengutip pendapat beberapa sejarawan yang menyatakan, selama hampir tujuh abad (1280-1924), Kesultanan Ottoman menjadi negeri yang amat multikultural dan multiagama. Di dalamnya, pelbagai komunitas beda agama dan budaya hidup berdampingan, bekerja sama, dan saling toleran satu sama lain. 

Rumah-rumah ibadah kaum Muslim, Kristen, dan Yahudi berdiri berdekatan. Demikian pula dengan pusat-pusat studi masing-masing pemeluk agama. Kemajemukan itulah yang memperkaya khazanah dan peradaban negeri ini. 

Dinasti Ottoman adalah contoh klasik tentang bagaimana seharusnya masyarakat yang plural. Di dalam negeri (daulah) Islam itu, orang-orang non-Muslim juga berhak menikmati pelbagai fasilitas publik, semisal sekolah, rumah sakit, per pustakaan, dan peradilan terbuka. 

Semangat toleransi antarumat beragama tecermin dalam aturan perundang-undangan, terutama sejak era sang penakluk Konstantinopel, Sultan Mehmet II (1451- 1481). Setiap komunitas agama di izinkan untuk memerintah secara otonom (selfgovernment). Sebagai imbalannya, mereka diharuskan membayar pajak jizyah yang besarannya variatif.   

Mengutip pemaparan Imam al-Mawardi dalam Ahkam Sulthaniyah, jizyah di tetapkan atas golongan ahli kitab, yakni orang Yahudi dan Kristen, serta kaum Majusi yang statusnya disamakan dengan keduanya.

Para ahli fikih masih berbeda pen dapat tentang ukuran jizyah. Bagaimanapun, Abu Hanifah membagi orangorang yang terkena jizyah ke dalam tiga kelompok sesuai kemampuan materinya, yakni kelas kaya, kelas menengah, dan kelas fakir miskin. 

Kelompok pertama hingga ketiga berturut-turut mesti membayar per tahun 48 dirham, 24 dirham, dan 12 dirham. Menurut Yusuf Qardhawi dalam Fiqih Jihad, be saran itu tidak begitu besar bila dibandingkan manfaat yang diperoleh mereka, yakni perlindungan penuh atas kebebasannya beragama. 

Lagi pula, kaum Muslim pun ikut diwajibkan membangun negara melalui zakat, baik atas harta, aset, ternak, pertanian, maupun buah-buahan yang dimilikinya. Mengutip sejarawan Barat, Adam Mertz, jizyah menyerupai pajak pertahanan negara Oleh karena itu, kaum wanita, anak-anak, orang buta, penyandang disabilitas, pendeta yang terus-menerus beribadah di gereja, dan orang kehilangan akal tidak dibebani dengan jizyah. Kalau dibanding dengan Eropa pada Abad Pertengahan, toleransi yang dijalankan penguasa Muslim jelas lebih unggul.   

Reza menjelaskan, Kesultanan Ottoman melindungi komunitas Yahudi. Sebaliknya, di daerah-daerah yang dikuasai kerajaan-kerajaan Kristen Eropa, antisemitisme sangat kuat terjadi. Bahkan, kaum Yahudi juga menjadi incaran persekusi kelompok-kelompok fanatikus Kristen.  

Pemuka Yahudi pun mengakui besarnya perlindungan penguasa Muslim. Sebagai contoh, Reza mengutip surat Rabbi Isaac Tzarfati kepada Dewan Yahudi Eropa Tengah. Tokoh Yahudi itu berhasil menyelamatkan diri dari persekusi di Eropa Tengah dan tiba di wilayah Ottoman menjelang 1453 M. Rol

No comments: