Cara 'Utbah bin Abu Jahal Menceraikan Ruqayyah Putri Rasulullah SAW

Begini Cara Utbah bin Abu Jahal Menceraikan Ruqayyah Putri Rasulullah SAW
Ilusrasi Abu Lahab, paman sekaligus bekas besan Nabi. (YouTube)
“Demi bintang yang terbenam, aku menyatakan diri kafir," teriak 'Utbah bin Abu Lahab, kepada mertuanya, Nabi Muhammad SAW , dengan kasar dan pongah. Pada hari itu, 'Utbah mengikrarkan cerai dengan Ruqayyah Putri Rasulullah SAW . Tindakan ini diambil 'Utbah lantaran desakan Abu Lahab menyusul turunnya surat Al-Lahab ayat 1-5.

"Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari sabut."

Setelah ayat ini turun, emosi Abu Lahab benar-benar meledak dan berkata kepada anaknya, "Hubungan kita terputus jika kau tidak menceraikan anak perempuan Muhammad!"

Mendapat instruksi demikian, Utbah pun langsung menceraikan Ruqayyah. Padahal pasangan ini belum sempat berbulan madu. Ruqayyah menikah dengan sepupunya itu ketika ia masih belum berusia 10 tahun.

'Utbah pun langsung mendatangi Rasulullah SAW sebelum mengikuti ayahnya ke Syam. Ia mengeluarkan pernyataan talak kepada putri beliau. Tak cukup mengutarakan kemarahannya, 'Utbah juga meludah di hadapan Rasulullah SAW. Menanggapi sikap 'Utbah tersebut Nabi Muhammad SAW hanya diam saja. Tidak ada kata-kata dan sikap kasar yang ditunjukkan beliau. Beliau hanya berdoa kepada Allah, “Allahumma sallith 'alaihi kalban min kilabik (Ya Allah, biarkan dia dikuasai oleh salah seekor anjing-anjing-Mu)."

Muhammah Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Sejarah Hidup Muhammad" menceritakan tak lama setelah kejadian itu, tersiar kabar bahwa 'Utbah diterkam oleh seekor singa dalam perjalanannya ke Syam. 'Utbah meraung-raung kesakitan sambil berkata, “Bukankah sudah kukatakan bahwa Muhammad adalah orang yang paling jujur?" Dia pun akhirnya meregang nyawa.

Dua putri Rasulullah SAW adalah menantu Abu Lahab. Selain Ruqayyah, putri kedua Rasulullah SAW, yang bersuamikan 'Utbah, Ummu Kultsum , putri ketiga beliau, menikah dengan 'Utaibah.

'Utbah dan 'Utaibah adalah putra Abu Lahab dari hasil perkawinannya dengan Arwa binti Harb. Sang Istri tercatat sebagai kakak seayah Abu Sufyan ibn Harb. Selain 'Utbah dan 'Utaibah, putra lainnya adalah Mu'attib. 'Utbah anak tertua sehingga Abu Lahab seringkali dipanggil Abu 'Utbah.

'Utaibah yang mempersunting Ummu Kultsum juga melakukan hal yang sama dengan saudaranya. Dia menceraikan istrinya sesuai perintah ayahnya.

Setelah kedua putri Rasulullah SAW tersebut diceraikan, mereka dinikahi oleh Utsman ibn 'Affan RA dalam waktu yang berbeda. Utsman menikahi Ruqayyah terlebih dahulu. Namun, Ruqayyah meninggal pada 2 H. Setelah itu, Utsman menikahi Ummu Kultsum yang juga meninggal selang lima tahun kemudian (7 H).

Sayang Keluarga
Sejatinya, Abu Lahab lumayan sayang dengan keluarga. Hanya saja, ia sangat tamak akan harta dan tahta. Dia sangat ambisius dan takut kehilangan kedudukannya.

Haekal mengatakan sebelum Muhammad diangkat menjadi rasul, hubungan beliau dengan Abu Lahab baik-baik saja, bahkan begitu mesra. Abu Lahab sangat senang memiliki keponakan yang disayangi oleh semua anggota keluarganya, terutama ayahnya, 'Abdul Muthalib, dan adiknya, Abu Thalib.

Kedekatan itu semakin erat saat Abu Lahab menerima kedua putri Rasulullah SAW sebagai menantunya.

Abu Lahab berharap hubungan pernikahan tersebut dapat mempererat hubungannya dengan Rasulullah SAW. Dr Bassam Muhammad Hamami dalam "Biografi 39 Tokoh Wanita Pengukir Sejarah Islam", menceritakan kala itu, para tokoh pembesar keluarga Abdul Muthalib berdatangan ke rumah Rasulullah untuk dapat berbesan dengan putri paman mereka, Muhammad SAW.

Sesepuh mereka Abu Thalib pun datang mendekat kepada Rasulullah seraya berkata, "Wahai keponakanku, engkau telah menikahkan Zainab dengan Abu al-Ash ibn Rabi dan ia merupakan menantu terbaik, tetapi para sepupumu yang lain merasa engkau pun harus memberikan kepada mereka seperti yang telah engkau berikan terhadap lbnu Rabi'. Mereka juga tidak kalah mulia dan terhormat dari Ibnu Rabi'."

Rasulullah pun menjawab, "Engkau benar wahai pamanku." Seperti kebiasaan Rasulullah dalam menikahkan para putrinya, beliau meminta izin kepada dua putrinya, Ruqayyah dan Ummu Kultsum, tentang pernikahan mereka dengan putra paman mereka Abdul 'Uzza, 'Utbah dan 'Utaibah putra Abu Lahab.

Kedua putri Rasulullah itu bukankah putri yang berani menentang perintah ayah mereka atau menimbulkan kesulitan bagi keluarga dan sanak familinya. Diam dan tenang adalah jawaban mereka.
Beberapa hari kemudian, pernikahan mereka pun berlangsung dengan tenang dan tentram. Ruqayyah dinikahi oleh Utbah ibn Abi Lahab sementara Ummu Kultsum dinikahi oleh saudaranya, Utaibah. Sang ayah yang penyayang, Muhammad, memberkahi pernikahan ini.

Beliau serahkan perlindungan kedua putrinya tersebut kepada Allah SWT. Demikian pula Sayyidah Khadijah yang melepaskan kedua putrinya dengan tetesan air mata. la pun lebih banyak meluangkan waktu untuk memberi perhatian kepada sang suami yang terpercaya dengan menjamin ketenangan dan kedamaian saat beliau melakukan ibadah kepada Allah SWT.

Di samping itu, Khadijah merawat putrinya terakhir yang tinggal bersamarnya, yang menjadi penghibur dan penyejuk hati baginya. la adalah Fathimah yang pada saat itu masih kecil, manja, dan dicintai oleh sang ayah.

Pada awalnya, Sayyidah Khadijah , kurang berkenan dengan pernikahan itu. Soalnya, beliau membenci perilaku ibu Utbah, Ummu Jamil binti Harb. Istri Abu Lahab itu terkenal berperangai buruk dan jahat. Ia khawatir putrinya akan memperoleh sifat-sifat buruk dari ibu mertuanya itu.

Kondisi itu benar adanya. Begitu Rasulullah SAW diutus menjadi rasul dan menerima wahyu, benih-benih konflik mulai timbul. Perasaan tidak senang mulai tampak pada diri Abu Lahab yang juga membawa-bawa keluarganya dalam permusuhan itu. Hubungan yang semula baik lambat laun menjadi renggang, bahkan putus. Dari yang semulanya keluarga dekat, Abu Lahab pun menjadi musuh bebuyutan.

Abu Lahab merasa terancam. Dia tidak ingin diri dan keluarganya kelak menjadi korban dari perubahan yang dilakukan Rasulullah SAW. Oleh karena itu, menurutnya, tidak ada jalan lain, kecuali mencabut akar perubahan itu sebelum kian tumbuh menjalar.
(mhy)
 Miftah H. Yusufpati

No comments: