Cara Melemahkan Indonesia

Di antara cara melemahkan Indonesia adalah diusahakan melemahkan potensi-potensi muslim pejuang, pada saat yang sama bekerjasama menyokong proses liberalisasi dan sekularisasi

. Adian Husaini

INDONESIA adalah negeri Muslim terbesar di dunia. Ada lembaga ekonomi internasional yang menyebutkan bahwa Indonesia akan menjadi salah satu kekuatan ekonomi keempat di dunia, pada tahun 2050.

Karena itu, sangatlah wajar, jika ia mendapat perhatian khusus dari berbagai pihak, khususnya yang memandang Islam dan Indonesia sebagai potensi ancaman bagi berbagai kekuatan global. Secara analitis, beginilah cara-cara untuk mencegah tampilnya Indonesia menjadi kekuatan muslim yang besar.

Pertama, Indonesia akan dicegah untuk tampil sebagai kekuatan besar yang mengarah untuk menjadi rival baru bagi kekuatan-kekuatan besar dunia. Karena itu, bisa dipahami, jika proyek globalisasi neo-liberal yang berdampak pada ketergantungan dan kelemahan Indonesia, akan terus dipertahankan. Jeratan utang terhadap Indonesia mungkin saja terus dipertahankan. Bahkan, bukan hanya dari satu pihak, tetapi dari berbagai kekuatan global.

Kedua, secara khusus, diusahakan untuk melemahkan potensi-potensi muslim pejuang dan pada saat yang sama bekerjasama serta menyokong proses liberalisasi dan sekularisasi Islam di Indonesia. Karena itu bisa dipahami, mengapa pihak-pihak tertentu diposisikan sebagai teman, dan pihak lain diposisikan sebagai lawan. Sebagian diberikan kucuran dana melimpah, dan sebagian lagi dipersepsikan sebagai musuh. Inilah cara lama yang dikenal sebagai “devide et impera!” Dengan cara begini, Indonesia akan terus sibuk bergaduh dengan sesama warga bangsa sendiri; tidak sempat memproyeksikan dan berjuang mewujudkan masa depan bersama yang gemilang.

Ketiga, umat Islam dididik dengan pola sekulerisme-materialisme-hedonisme, sehingga jiwanya lemah dan mudah dikendalikan. Jiwa perjuangan dikikis. Inilah gambaran yang pernah diberikan oleh Nabi Muhammad ﷺ Akan tiba suatu masa dimana kalian (umat Islam) dikeroyok oleh berbagai kaum, seperti halnya suatu hidangan yang dikelilingi orang-orang yang kelaparan. Sahabat bertanya: Apakah (kita menjadi seperti itu) kerana jumlah kita yang sedikit ketika itu, wahai Rasul Allah? Rasul ﷺ menjawab: Tidak, ketika itu jumlah kamu banyak, tetapi kamu adalah buih, seperti buihnya air laut. Ketika itu, Allah mencabut rasa takut dari hati-hati musuh kalian, dan Allah menanamkan “al-wahnu” dalam hati kalian. (Sahabat bertanya): apa itu al-wahnu, wahai Rasul Allah? Rasul ﷺ menjawab: (al-wahnu) ialah cinta dunia dan takut mati). (HR Abu Dawud).

Peta global ini sangatlah baik untuk dipahami dan dicermati, agar mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif tentang berbagai fenomena yang terjadi di Indonesia. Maka, tidaklah sulit dipahami, mengapa banyak intelektual dan tokoh berebut menyebarkan paham-paham yang ‘diridhoi’ oleh kekuatan-kekuatan besar.

Jika dicermati, tampak nyata, bagaimana sebagian kalangan Muslim terjebak dalam skenario global ini, sadar atau tidak, apa pun motifnya. Banyak yang bersemangat untuk membongkar-bongkar konsep-konsep dasar Islam tanpa menyadari bahwa mereka sedang bekerja untuk meruntuhkan sebuah bangunan bernama “Islam” yang dibawa oleh Nabi terakhir, Nabi Muhammad ﷺ.

Berbagai paham yang jelas-jelas meruntuhkan sendi dasar Islam disebarluaskan, seperti paham yang menyatakan, bahwa bukan hanya Islam agama benar dan yang diterima oleh Allah SWT. Padahal, taat kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, tentulah tidak sama dengan taat kepada tuyul.

Para orientalis telah paham benar, bahwa kekuatan terbesar umat Islam adalah pada ajaran Tauhid yang terwujud dalam bentuk akhlak mulia. “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaknya,” begitu sabda Rasulullah ﷺ.

Menurut Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, kerusakan itu berawal dari kerusakan bahasa, yang disebut sebagai proses “de-Islamization of language”. Yakni, rusaknya makna kata-kata kunci dalam Islam, sehingga umat Islam tidak lagi memahami makna yang sebenarnya dari kata-kata penting itu, seperti kata “Islam”, “ilmu”, “adil”, “hikmah”, “adab”, dan sebagainya.

Ironisnya, jika organisasi atau para tokoh Islam sendiri terlibat dalam usaha semacam ini. Banyaknya penggunaan istilah yang rancu dan kacau telah turut mengaburkan makna istilah-istilah penting dalam Islam. Pembongkaran konsep dasar tentang al-Quran, seperti konsep “al-Quran sebagai produk budaya”, sadar atau tidak telah meruntuhkan satu pondasi bangunan Islam tentang konsepsi al-Quran sebagai Kalamullah.

Maka, jangan heran, jika sebagian kalangan di luar Islam, memberikan dukungan terhadap penyebaran paham sekularisme untuk umat Islam di Indonesia. Sebab, sekularisme dan liberalisme sudah terbukti sebagai “senjata pemusnah massal” untuk agama-agama di Eropa.

Jika senjata pemusnah itu diterapkan di Indonesia, tentu diharapkan, banyak kaum Muslim yang menjadi korban. Apalagi, jika yang menggunakan senjata itu adalah mereka yang seharusnya menjaga “benteng Islam” dari serangan musuh.

Kita perlu memahami dinamika perkembangan kaum Muslim, pemikiran keislaman, dinamika gerakan-gerakan destruktif terhadap Islam. Secara umum terlihat betapa masih timpangnya pemikiran dan sikap kaum Muslim Indonesia terhadap persoalan mendasar yang kita hadapi.

Satu aspek tertentu mendapatkan perhatian dan curahan energi yang luar biasa besarnya. Tetapi, untuk aspek keilmuan, yang berdampak langsung kepada masalah keimanan dan masa depan peradaban Islam, masih terlalu sedikit energi yang dicurahkan.

Misalnya, aspek kaderisasi atau pendidikan ulama. Ulama adalah pewaris Nabi. Ulama itulah yang sepatutnya memimpin umat Islam, agar mampu menghadapi berbagai tantangan kehidupan.

Karena itu, jika ingin merusak Islam, maka rusaklah ulamanya! Inilah yang diingatkan Imam al-Ghazali ratusan tahun lalu: “Rakyat rusak karena penguasa rusak. Penguasa rusak karena ulamanya rusak. Dan ulama rusak, karena cinta harta dan kedudukan.”

Maka, sebaliknya, untuk memperbaiki dan membangkitkan umat Islam, perbaikilah ulamanya! Ulama itu adalah produk pendidikan. Ulama hebat tidak begitu saja turun dari langit, atau muncul dari dalam perut bumi begitu saja.

Inilah yang dimaksud oleh Prof. Syed Naquib al-Attas, bahwa masalah terbesar yang dihadapi oleh umat Islam saat ini adalah masalah ilmu. Dan akar masalah umat Islam adalah “hilang adab”; tidak tahu lagi mana yang penting dan tidak penting; tidak tahu bagaimana memahami dan menyikapi masalah dengan tepat, sehingga keliru pula dalam memberikan solusi yang tepat terhadap masalah yang dihadapi umat dan bangsa kita.

Dan patut kita catat benar, bahwa masalah utama itu ada dalam diri kita; ada dalam hati kita sendiri! Jika jarum kita jatuh di kamar, meskipun gelap, maka harus kita cari di dalam kamar. Bukan kita cari di halaman, karena halaman kita terang. Itulah salah satu kisah populer tentang Nasrudin Hoja. Semoga Allah menolong kita semua. Aamiin.*/Bandung, 14 Januari 2022

Penulis Ketua Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia

Rep: Admin Hid
Editor: -

No comments: