Benarkah Umat Islam Hancurkan Axendria Saat Taklukkan Mesir?

 Umat Islam justru berkontribusi dalam memajukan Alexandria Mesir. Suasana kawasan Benteng Qaitbay yang terletak di tepi laut Mediterania, Kota Alexandria, Mesir.  (Republika/Agung Supriyanto)

Umat Islam justru berkontribusi dalam memajukan Alexandria Mesir. Suasana kawasan Benteng Qaitbay yang terletak di tepi laut Mediterania, Kota Alexandria, Mesir. (Republika/Agung Supriyanto)

Umat Islam justru berkontribusi dalam memajukan Alexandria Mesir
S Labib, R Guest, dan CE Bosworth dalam ensiklopedia Historic Cities of the Islamic World menjelaskan dinamika peradaban yang mengisi sejarah Alexandria. 

Sejak abad ketiga SM, perpustakaan besar yang menampung lebih dari 700 ribu manuskrip telah berdiri di kota tersebut. 

Situs tempat kegiatan ilmiah, termasuk penerjemahan teks-teks klasik dari kebudayaan Yunani, Persia, dan Yahudi itu bertahan hingga abad keempat Masehi.

Kekaisaran Romawi menguasai Mesir dan menjadikan Alexandria kota terbesar kedua setelah Roma (Italia). Agama Kristen mulai mendominasi aktivitas intelektual dan kebudayaan di sana. 

Sejak abad ketujuh, Islam tampil sebagai kekuatan baru di Semenanjung Arab. Nabi Muhammad SAW mengirim sejumlah utusan ke berbagai penjuru, baik Arab maupun non-Arab untuk mengajak para pemimpinnya kepada agama ini. 

Di Alexandria, Raja Muqauqis menerima duta Rasulullah SAW dengan penuh kehormatan. Melalui surat balasannya, penguasa Mesir itu menyampaikan kepada Nabi SAW bahwa dia sungguh beriman akan datangnya utusan Allah setelah Nabi Isa AS, tetapi kedatangannya di Suriah, bukan Arab. Walaupun enggan memeluk Islam, dia mengirimkan banyak hadiah ke Madinah. 

Kekaisaran Persia merebut Mesir dari Romawi Timur (Byzantium) pada permulaan abad ketujuh. Akan tetapi, pemerintahan nya tidak bertahan lama, menyusul penaklukan bangsa Arab atas Persia pada 632. 

Mesir akhirnya dikuasai Islam sejak 642 M. Empat tahun kemudian, penguasa Muslim mulai mengendalikan seluruh Alexandria. Banyak orang-orang Yunani yang lantas hijrah ke wilayah Asia Barat yang masih dikendalikan Byzantium.

Bagaimanapun, balatentara Muslim tidak pernah membumihanguskan Mesir. Cerita tentang penakluk Arab, Amr bin Al Ash, yang memerintahkan pemusnahan atas perpustakaan Alexandria tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan lebih sebagai propaganda orientalis. 

Orang-orang Arab justru mengakui pencapaian peradaban yang terdapat di Alexandria. Sebagai contoh, sistem tata kota, istana-istana, pemandian umum, dan kanal-kanal di sana telah berlaku sejak zaman Yunani Kuno. Jalan-jalan di kota ini pada waktu itu tampak seperti garis-garis pada papan catur bila dilihat dari atas. 

Pada musim dingin air hujan yang mengguyur Alexandria  dapat mengalir dengan lancar menuju laut. Sementara itu, pada musim panas, saluran-saluran menyup lai kebutuhan air dari Sungai Nil kepada seluruh penduduk. 

Hal lainnya yang diakui para penakluk Arab adalah sistem pertahanan. Alexandria  dikelilingi benteng-benteng pelindung yang kokoh. Pada awal masuknya Islam ke Mesir, keadaan tembok itu dibiarkan sebagaimana adanya.

Khalifah Al Mutawakkil dari Dinasti Abbasiyah kemudian membangun benteng- benteng baru di dekat yang sudah ada sejak zaman Hellenis-Romawi. Penguasa-penguasa Muslim berikutnya, seperti Ahmad bin Tulun, Shalahuddin Al Ayyubi, Sultan Baybars, atau Sultan Al Ashraf Sha'ban dari Dinasti Bahri, juga memperkuat Alexandria dengan cara serupa.

Jembatan Timur-Barat

Sejak awal berdirinya, Alexandria dimaksudkan sebagai titik temu kebudayaan- kebudayaan dunia. Pada awalnya, kota ini me madukan unsur-unsur Yunani Kuno (Hellenisme) dengan Timur (Semitic).

Setelah bangsa Arab datang, geliat masyarakat setempat sedang dalam titik nadir. Akan tetapi, para dinasti Muslim ikut merawat apa yang tersisa dari peradaban Hellenistik di kota itu.

Sejak zaman Khalifah Umar bin Khattab hingga pecahnya Perang Salib, dinasti-dinasti Islam mengembangkan kebudayaan yang inklusif di Alexandria. Josef W Meri dalam ensiklopedia Medieval Islamic Civilization memaparkan beberapa keistimewaan kota ini.

Sepanjang Abad Pertengahan, banyak sarjana dan sufi terkenal yang berasal dari Alexandria. Misalnya, pakar hadis Abu Tahir Al Silafi (wafat 1180), sufi Ibnu Atha'illah As Sakandari (wafat 1309), dan Al Busiri penulis Kasidah Burdah yang berisi puji-pujian kepada Rasulullah SAW. 

Sejak menaklukkan kota ini, para cendekiawan Muslim mulai mengenal cakrawala pengetahuan yang dirintis bangsa Yunani Kuno. Berabad-abad sebelum kedatangan Islam, Alexandria  merupakan pusat studi alkimia (alchemy) di dunia. 

Bidang tersebut mulanya bersifat protosains lantaran menggabungkan pelbagai kajian mulai dari kimia, fisika, astrologi, kedokteran, hingga mistisisme. 

Ada dua tujuan yang hendak dicapai seorang alkemis klasik. Pertama, keberadaan eliksir (philosopher stone) yang diyakini mampu mengubah zat apa pun menjadi emas. 

Kedua, komposisi ramuan (universal panacea) yang dipercaya dapat menyembuh kan segala macam penyakit. Meskipun dua hal itu sampai saat ini cenderung menjadi mitos, alkimia terbukti merintis cikal- bakal studi kimia modern. 

Kitab Al Fihris(katalog) merangkum bibliografi kesusastraan Arab dan teks-teks yang dialihbahasakan dari budaya-budaya luar. Karya Ibnu Al Nadhim, penulis Muslim abad ke-10, itu menyebutkan bahwa peradaban Islam mulai menggeluti studi alkemi sejak permulaan abad kedelapan. Pada waktu itu, Khalid bin Yazid berhasrat menemukan eliksir universal.

Untuk itu, bangsawan Umayyah tersebut membentuk suatu tim yang terdiri atas para filsuf dan ilmuwan dari Alexandria. Mereka bertugas menerjemahkan teks-teks klasik dari Yunani Kuno yang tersedia di Suriah dan pelbagai perpustakaan di wilayah Islam.

Kontribusi terpenting umat Islam atas studi kimia tidak lepas dari pengaruh Jabir bin Hayyan (wafat 815). Mengutip Husain Heriyanto dalam Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam, ilmuwan yang lahir di Khurasan itu merintis dasar-dasar metode riset kimia secara ilmiah dan eksperimental.

Sebelum eranya, para alkemis kuno dari Alexandria, India, dan Cina pada umum nya mengandalkan cara-cara spekulatif tanpa pembuktian ilmiah. Sosok yang dikenal Barat sebagai Geber itu justru menegaskan, eksperimen adalah aspek terpenting dari kimia.

Di Alexandria  pula, peradaban Islam mulai berkenalan dengan ilmu pengobatan dan filsafat pemikiran yang dikembangkan bangsa Yunani Kuno. Karya para pemikir dari masa silam, seperti Hippocrates, Plato, Aristoteles, Sokrates, Pytagoras, Archimedes, dan Galen diterjemahkan para pakar di perpustakaan yang ditata para sultan Muslim.

Alexandria  menjadi salah satu sentra perkembangan sains dan literasi di samping kota-kota lainnya, semisal, Jundisyapur (Persia) dan Harran (Suriah).

Pada abad ketujuh ilmuwan Abdul Malik al-Kinanu dari Kuffah (Irak) belajar di Perpustakaan Alexandria. Setelah itu, dia bekerja pada Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Atas sarannya, penguasa Bani Umayyah itu memindahkan pusat kajian kedokteran dari Alexandria ke Antiokhia (perbatasan selatan Turki).

Secara garis besar, ilmu pengobatan Islam pada zaman keemasan mengem bang kan lebih lanjut pencapaian-pencapaian dari berbagai peradaban yang datang sebelumnya, terutama Yunani Kuno, Persia, dan India.

Di Iran, pakar matematika Abu al-Wafa Buzjani (wafat 998) mengomentari Almagest karya Claudius Ptolemeus yang terbit di Alexandria  pada 140 SM. Komentar itu dituangkannya dalam buku berjudul al-Kamil. Untuk diketahui, kitab Almagestmemaparkan astronomi kuno yang berhaluan geosentrisme (bumi sebagai pusat semesta). 

Sementara itu, al-Kamil bereksplorasi lebih lanjut dengan mengoreksi teori gerak Bulan versi Ptolemeus, serta mengajukan gagasan bahwa Bumi dan planet-planet lainnya mengitari matahari (heliosentrisme). Beberapa penemuannya belakangan diklaim sejumlah ilmuwan Barat, antara lain, Copernicus (1473-1543).   

sumber : Harian Republika

No comments: