Jejak Kejayaan Islam di Uzbekistan

Uzbekistan merupakan negara antar benua yang terletak sebagian di Asia Tengah dan Eropa Timur, Siapa sangka di negeri ini tersimpan sejuta sejarah peradaban Islam di masa lampau?

Hidayatullah.com | PERJALANAN saya menuju Uzbekistan bertolak dari Surabaya, lalu transit beberapa saat di Kualalumpur, Malaysia. Selanjutnya terbang ke Tashkent, ibukota negara yang letaknya sebagian di Eropa Timur dan Asia Tengah itu.

Namun saya beserta rombongan tidak berlama-lama di ibukota. Tujuan kami yang utama adalah daerah pedalaman. Di sanalah tersimpan banyak jejak sejarah Islam.

Kami kemudian melanjutkan perjalanan dengan pesawat domestik menuju Urgench. Ini sebuah kota yang terletak di sebelah barat Uzbekistan. 

Khurasan

Selanjutnya kami menuju kota Khiva. Saat itu musim dingin, cuaca hingga – 3 derajat celcius. Udara terasa menusuk hingga tulang sum-sum. Beruntung kami telah mempersiapkan beberapa pakaian hangat.

Sehari lebih kami berada di Khiva, dan sempat berkeliling kota. Mengelilingi kota ini seakan kembali ke masa ratusan tahun silam.

Kota ini merupakan situs warisan dunia yang dipenuhi dengan berbagai peninggalan bersejarah. Ada sisa-sisa bangunan istana, masjid, dan kejayaan kota yang pernah dilalui rute perdagangan Jalur Sutera. Dulu tempat ini menjadi pemberhentian terakhir para pedagang untuk menuju Iran.

Kota Khiva dikelilingi oleh padang pasir Kyzylkum dan Karakum. Jejak kejayaan Islam antara lain tergambar dari sisa-sisa bangunan bersejarahnya. Bangunan-bangunan tersebut tertata rapi, harmonis, sehingga melahirkan komposisi perkotaan dengan arsitektur Islam yang indah.

Di kota ini juga terdapat benteng yang berdiri di padang pasir. Di dalam benteng, kami disuguhi dengan pemandangan indah kota tua yang dikenal dengan sebutan Itchan Kala. Kawasan ini dilindungi oleh dinding batu bata yang terbuat dari lumpur setinggi 10 meter.

Daerah Uzbekistan dahulu merupakan salah satu tempat yang di zaman Nabi Muhammad SAW termasuk dalam kawasan Khurasan. Sekarang kawasan itu sudah terpecah-pecah menjadi beberapa negara, seperti Iran, Afghanistan, Tajikistan, Uzbekistan, dan Turkmenistan.

Khurasan bahkan pernah disebut oleh Rasulullah ﷺ dalam sebuah Hadits yang shahih, terdapat dalam kitab Jami’ush-Shagir karya Jalaluddin as-Suyuthi:

“Jika kalian melihat panji-panji hitam datang dari arah Khurasan, maka sambutlah ia meskipun kamu terpaksa merangkak di atas salju. Sesungguhnya di tengah-tengah panji itu ada khalifah Allah yang mendapat petunjuk.” (Riwayat Ibnu Majah).

Namun indahnya Islam itu kini tinggal bekas-bekasnya. Padahal dulu di sini, di bagian dari Uzbekistan, pernah menjadi markas pemerintahan Islam.

Menurut pengamatan saya, masyarakat di daerah itu sekarang sepertinya sudah tidak terlalu mengenal ajaran Islam yang sebenarnya. Kalau orang Indonesia menyebutnya semacam Islam KTP.

Ketika kami berada di benteng, terlihat sedang diadakan beberapa acara pernikahan. Dari gaya pakaian dan model acaranya, pernikahan mereka ala Eropa. Bukan resepsi pernikahan syar’i sebagaimana sudah sering kita jumpai di Indonesia.

Wanita di kota itu pun yang berjilbab sangat sedikit. Tapi secara umum, masyarakat di Khiva sangat ramah. Sayangnya kami terkendala bahasa sehingga komunikasinya menjadi terbatas. Kebanyakan mereka hanya berbicara dengan bahasa Uzbek.

Di dalam benteng itu juga kami menyaksikan sebuah pemandangan yang aneh. Ada kuburan tokoh dan masyarakat setempat yang modelnya menggunung ke atas tanpa ada galian.

Menurut penuturan orang setempat, pada zaman dulu di bawah tanah Khiva terdapat banyak sekali sumber air. Setiap kali digali, selalu muncul air. Hal inilah yang membuat model kuburan di sana seperti itu. Jenazah hanya ditimbun tanah tanpa menggali liang lahat. 

Kampung Imam Bukhari

Setelah dari Khiva, kami melanjutkan perjalanan ke kota Bukhara. Tak kalah dengan Khiva, kota ini juga menyimpan banyak warisan sejarah dunia.

Bukhara adalah salah satu negeri dari negeri-negeri seberang sungai (bilad ma warau an-nahr). Sungai yang dimaksud adalah sungai-sungai panjang yang mengairi negeri-negeri Asia Tengah.

Orang-orang Yunani menyebutnya Sungai Oxus. Orang Arab mengenalnya dengan nama Jeyhun. Pujangga Persia memujanya dengan Mulyan. Ada pula yang menamainya dengan Amu Darya, Sungai Amu, Panj, dan Vaksh.

Di masa kejayaannya, kota ini menjadi salah satu pusat perekonomian negara bekas jajahan Uni Soviet itu. Di sini juga menjadi tempat belajar, pusat kebudayaan, dan ilmu agama. Di kota kecil ini jugalah tempat kelahiran ahli Hadits ternama, Imam Bukhari.

Kami mengunjungi beberapa situs sejarah, beberapa madrasah dan masjid kuno nan megah. Di antaranya adalah Masjid Kalon atau Mir Arab yang dibangun pada tahun 1127.

Di tengah kompleks masjid ini terdapat menara tinggi menjulang. Masjid Kalon tergolong megah karena bisa menampung sampai 10.000 orang dalam sekali ibadah. Masjid ini juga memiliki 288 kubah di sekeliling bangunan.

Menurut catatan sejarah, masjid ini dibangun oleh Arslan Khan. Kalon sendiri diambil dari bahasa Tajik yang artinya hebat.

Bangunan ini memiliki 14 ornamen unik yang mengelilingi masjid. Kami juga menemukan 105 anak tangga yang bisa diakses di seluruh bangunan.

Alhamdulillah kami sempat menunaikan shalat Shubuh di Masjid Kalon. Imam shalatnya masih muda, baru berusia 20 tahun. Suaranya merdu, bacaannya fasih, wajahnya tampan, masih kuliah di sebuah madrasah. Katanya, pemuda lajang ini siap menikah dengan Muslimah dari Indonesia hehe…

 

Samarkhand

Setiap singgah ke masjid atau situs bersejarah Islam Uzbekistan, tak lupa kami selalu meminta nasihat kepada ulama setempat. Juga mempelajari berbagai macam dokumen sejarah.

Perjalanan selanjutnya adalah ke Samarkhand. Kami sempat singgah di sebuah desa bernama Durman, untuk menunaikan shalat Zhuhur dan Ashar di sebuah masjid.

Selesai shalat, kami melihat-lihat koleksi kitab di masjid tersebut. Salah satu yang menarik perhatian adalah kitab Sunan at-Tirmidzi.

Di cover depan kitab itu tertulis ucapan Imam at-Tirmidzi:

“من كان في بيته هذا الكتاب، فكأنما في بيته نبي يتكلم”

“Barangsiapa yang di rumahnya terdapat kitab ini (Sunan at-Tirmidzi), maka seakan-akan di rumahnya ada nabi yang berbicara.”

Allahu akbar! Subhanallah! Kami jadi tersadar bahwa betapa kita di Indonesia sangat kurang dalam mengajarkan kitab-kitab Hadits rujukan semacam ini.

Alangkah indahnya jika di majelis-majelis taklim dihidupkan kembali pengajian-pengajian kitab-kitab Hadits rujukan semisal Kutubus-Sittah (Enam Kitab Induk Hadits). Dengan demikian, kita serasa berguru di majelis-majelis ilmu para ulama. Umat pun akan lebih dekat kepada kitab Hadits yang langsung dari sumbernya, sehingga seakan kita hidup bersama Rasulullah Muhammad ﷺ walaupun masa kita sudah jauh dari masa beliau.

Perjalanan ke Uzbekistan memberi banyak hikmah. Dari Uzbekistan kami bisa belajar tentang sejarah peradaban Islam sekaligus tadabbur alam. Sebelum kembali ke Indonesia, kami sempat mengelilingi Tashkent dan menikmati dinginnya salju di sebuah gunung di sana.*/ Diceritakan Ustadz Abdullah Sholeh al-Hadrami, mubaligh asal Malang, setelah melakukan rangkaian perjalanan ke beberapa kota di Uzbekistan, artikel dimuat di Majalah Suara Hidayatullah

Rep: Admin Hid
Editor: -

No comments: