Imam Syafi'i Tak Pernah Mengatakan Allah Di Atas 'Arsy (2/Tamat)

Imam Syafii Tak Pernah Mengatakan Allah Di Atas Arsy (2/Tamat)
Ilustrasi Imam Syafii (kanan) ketika bertemu dengan Imam Ahmad bin Hanbali di salah satu majelis ilmu pada masa kepemimpinan Khalifah Harun Al-Rasyid. Foto/tangkapan layar Film Ahmad bin Hanbal
Imam Syafi'i (wafat 204 H) adalah salah satu imam besar dari imam 4 mazhab yang ada. Beliau adalah seorang imam besar yang ahli Qur'an, ahli Hadis, ahli Ushul Fiqih yang terkemuka pada masanya.

Dalam satu kitabnya, ulama bernama Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i ini menegaskan bahwa Allah tidak bertempat. Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Beliau tidak pernah mengatakan Allah bertempat di atas 'Arsy seperti yang diyakini beberapa kalangan muslim lainnya.

Akidah yang tersebar di kalangan muslim saat ini sering menyebut bahwa Allah bertempat di atas 'Arsy. Mereka berhujjah dengan dalil Surat Thaha Ayat 5 : "Ar-Rahmaanu 'alal 'Arsyis Tawaa" artinya: Yang Maha Pengasih bersemayam di atas 'Arsy (singgasana).

Imam Syafi'i yang juga ulama Salaf perintis Mazhab Syafi'i berkata:

إنه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه المكان ولا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته (إتحاف السادة المتقين بشرح إحياء علوم الدين, ج 2، ص 24)

"Sesungguhnya Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Kemudian Dia menciptakan tempat, dan Dia tetap dengan sifat-sifat-Nya yang Azali sebelum Dia menciptakan tempat tanpa tempat. Tidak boleh bagi-Nya berubah, baik pada Dzat maupun pada sifat-sifat-Nya." (Lihat az-Zabidi, Ithaf as-Saadah al-Muttaqiin…, j. 2, h. 24).

Dalam salah satu kitab karyanya Al-Fiqh Al-Akbar(selain Imam Abu Hanifah; Imam Syafi'i juga menuliskan Risalah Aqidah Ahlussunnah dengan judul al-Fiqh al-Akbar), Beliau berkata:

واعلموا أن الله تعالى لا مكان له، والدليل عليه هو أن الله تعالى كان ولا مكان له فخلق المكان وهو على صفته الأزلية كما كان قبل خلقه المكان، إذ لا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته، ولأن من له مكان فله تحت، ومن له تحت يكون متناهي الذات محدودا والحدود مخلوق، تعالى الله عن ذلك علوا كبيرا، ولهذا المعنى استحال عليه الزوجة والولد لأن ذلك لا يتم إلا بالمباشرة والاتصال والانفصال (الفقه الأكبر، ص13)

"Ketahuilah bahwa Allah tidak bertempat. Dalil atas ini adalah bahwa Dia ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Setelah menciptakan tempat Dia tetap pada sifat-Nya yang Azali sebelum menciptakan tempat, ada tanpa tempat. Tidak boleh pada hak Allah adanya perubahan, baik pada Dzat-Nya maupun pada sifat-sifat-Nya. Karena sesuatu yang memiliki tempat maka ia pasti memiliki arah bawah, dan bila demikian maka mesti ia memiliki bentuk tubuh dan batasan, dan sesuatu yang memiliki batasan mestilah ia merupakan makhluk, Allah Maha Suci dari pada itu semua. Karena itu pula mustahil atas-Nya memiliki istri dan anak, sebab perkara seperti itu tidak terjadi kecuali dengan adanya sentuhan, menempel, dan terpisah, dan Allah mustahil bagi-Nya terbagi-bagi dan terpisah-pisah. Karenanya tidak boleh dibayangkan dari Allah adanya sifat menempel dan berpisah. Oleh sebab itu adanya suami, istri, dan anak pada hak Allah adalah sesuatu yang mustahil." (Al-Fiqh al-Akbar, h. 13)

Penjelasan Surat Thaha Ayat 5
Pada bagian lain dalam kitab yang sama tentang firman Allah di Surat Thaha ayat 5 (Ar-Rahman 'Alal-'Arsy Istawa), Imam Syafi'i berkata:

إن هذه الآية من المتشابهات، والذي نختار من الجواب عنها وعن أمثالها لمن لا يريد التبحر في العلم أن يمر بها كما جاءت ولا يبحث عنها ولا يتكلم فيها لأنه لا يأمن من الوقوع في ورطة التشبيه إذا لم يكن راسخا في العلم، ويجب أن يعتقد في صفات الباري تعالى ما ذكرناه، وأنه لا يحويه مكان ولا يجري عليه زمان، منزه عن الحدود والنهايات مستغن عن المكان والجهات، ويتخلص من المهالك والشبهات (الفقه الأكبر، ص 13)

"Ini termasuk ayat mutasyabihat. Jawaban yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki kompetensi di dalamnya adalah agar mengimaninya dan tidak --secara mendetail-- membahasnya dan membicarakannya. Sebab bagi orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh dalam kesesatan tasybih. Kewajiban atas orang ini --dan semua orang Islam-- adalah meyakini bahwa Allah seperti yang telah kami sebutkan di atas, Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku bagi-Nya waktu, Dia Maha Suci dari batasan-batasan (bentuk) dan segala penghabisan, dan Dia tidak membutuhkan kepada segala tempat dan arah, Dia Maha suci dari kepunahan dan segala keserupaan." (al-Fiqh al-Akbar, h. 13).

Secara panjang lebar dalam kitab yang sama, Imam Syafi'i juga membahas bahwa adanya batasan (bentuk) dan penghabisan adalah sesuatu yang mustahil bagi Allah. Karena pengertian batasan (al-hadd; bentuk) adalah ujung dari sesuatu dan penghabisannya.

Dalil bagi kemustahilan hal ini bagi Allah adalah bahwa Allah ada tanpa permulaan dan tanpa bentuk, maka demikian pula Dia tetap ada tanpa penghabisan dan tanpa bentuk. Karena setiap sesuatu yang memiliki bentuk dan penghabisan, secara logika dapat dibenarkan bila sesuatu itu menerima tambahan dan pengurangan, juga dapat dibenarkan adanya sesuatu yang lain yang serupa dengannya.

Untuk diketahui, Imam Syafi'i adalah ulama yang memiliki sanad keilmuan yang tersambung sampai ke Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Beliau memiliki banyak guru di antaranya yang masyhur adalah Imam Malik, Imam Sufyan bin Uyainah (wafat 198 H) dan Imam Muslim bin Khalid az-Zanji (wafat 180 H).

Imam Dzahabi (wafat 748 H) mengatakan bahwa Imam Syafi'i ketika menafsirkan ayat Al-Qur'an seolah-olah beliau sedang menyaksikan bagaimana dulu ayat tersebut diturunkan. Imam Ibnu Katsir juga mengatakan bahwa Imam Syafi'i adalah orang yang paling tahu tentang makna ayat Al-Qur'an. Bahkan Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata: "Saya tidak menemukan seorang yang lebih pandai dan lebih mengerti terhadap kitab Allah daripada Imam Syafi'i."

Wallahu A'lam
(rhs)
Rusman H Siregar

No comments: