Darmotjahjono, Tokoh Muhammadiyah Solo yang Membuat KO Tokoh Theosofi

tokoh muhammadiyah solo
Ilustrasi Orang Jawa
DALAM majalah Suara Muhammadiyah No. 4, Thn. 95 (1979), ada kisah menarik tentang tokoh Muhammadiyah Solo yang bernama Darmotjahjono yang membuat KO orang theosofi.

Sudah menjadi kebiasaan Pak Darmo, seusai menyampaikan materi kepada audiens, mereka diberi kesempatan untuk bertanya. Nah, saat itu, yang bertanya adalah seorang tokoh theosofi. Berlangsunglah dialog di antara mereka berdua.

Kata Tokoh Theosofi, “Saya kira ajaran Islam kalah luhur dengan ajaran theosofi yang melarang segala bentuk pembunuhan. Sedang Islam justru mengadakan pembunuhan hewan kurban yang dianggap ibadah. Mengapa membunuh sesama makhluk Tuhan tidak dilaranga dalam Islam?”

Pak Darmo pun merespon balik, “Apakah orang-orang theosofi benar-benar tidak membunuh?”

“Ya, demikianlah!” tukas tokoh theosofi.

Pak Darmo melanjutkan, “Tetapi kalau hanya minum wedang teh saja boleh ya?”

“Ya, tentu saja,” jawabnya dengan mantap.

Barulah kemudian jawaban telah diberikan oleh Pak Darmo, “Nah ketahuilah, dalam minum wedang itu kita telah membunuh setidaknya merusak pohon teh. Selain itu kita semua tahu bahwa dalam air penuh binatang tidak kasat mata (mikroskopik); dan itu terbunuh pada saat wedang (air) kita rebus.”

Pak Darmo melanjutkan, bahwa menyembelih binatang halal, memetik padi, kelapa dan sebagainya dibolehkan oleh Islam karena dunia ini diperuntukkan untuk kesejahteraan manusia.

Setelah mendengar jawaban itu, orang thesofi itu tak bisa berkutik. Ia telah KO. Dan pada pertemuan yang lain, ia tak lagi membayang-bayangi, tak berani menyelinap ke pengajian Pak Darmo, Tokoh Muhammadiyah Solo.

***

Bapak R. Darmotjahjono merupakan Ketua Muhammadiyah Cabang Surakarta pada tahun 1959-1962. Pada periode IV (1962-1965), beliau terpilih jadi Ketua II Pimpinan Muhammadiyah Cabang Surakarta.

***

Pandangan theosofi yang diangkat dalam cerita ini, bagi orang awam mungkin terasa meyakinkan. Tapi, ketika direnungkan secara mendalam, melalui logika dan nilai-nilai dalam agama Islam, maka sangat lemah argumentasinya.

Saya jadi ingat dialog A. Hassan dengan orang atheis di Surabaya, mengenai keadilan dan kezaliman. Intinya, jika digigit nyamuk, apa yang akan ia lakukan. Orang atheis menjawab, nyamuk itu akan dibunuh.

Kata A. Hassan, itu bukan perlakuan yang adil. Mengapa? Karena kalau pakai hukum manusia saja, harusnya gigit dibalas dengan gigitan, bukan dengan pembunuhan. Maka orang atheis itu pun tertawa demikian juga para hadirin. Padahal, pada waktu ada larangan untuk tertawa atau berisik selama perdebatan.

Artinya, argumen yang dibangun orang atheis itu sangat mudah dipatahkan. Demikian juga argumen orang theosofi dalam kisah yang disebutkan dalam Majalah Suara Muhammadiyah di atas. Untuk menghadapi syubhat dari mereka, maka perdalam lagi ilmu agama Islam sampai ke akar-akarnya melalui guru yang kredibel.*/Mahmud Budi Setiawan

Rep: Admin Hidcom
Editor: -

No comments: